logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 10 Sepuluh

Ujian sudah berlangsung seminggu. Wahyu sudah bebas ujian karena dia ikut sesi pertama, tinggal menunggu sesi kedua selesai dan dia tinggal mengurus latihan turnamen nya.
Wahyu masih sering mengunjungi kampus, sekitar jam 11 dia berangkat dan pulang sebelum pukul 5. Banyak orang yang bertanya kenapa dia masuk, Wahyu hanya menjawab terlalu bosan jika di rumah.
Tidak ada kerjaan, rumah sudah selalu bersih karena Wahyu bukan orang yang suka menumpuk sampah di rumah. Tidak ada yang melatih nya karena Henry sibuk bernegosisasi dengan dosen nya –karena nilai nya masih kurang untuk lulus semester-.
Sebenarnya di kampus, Wahyu juga tidak ada pekerjaan. Tugas sudah dia selesaikan semua, jadi tidak ada dosen yang mengkomplain atau memburu nya untuk segera mengumpulkan tugas. Hanya berjalan jalan di koridor dan sesekali melewati gedung kedokteran.
Wahyu berjalan di koridor, sesekali mengintip beberapa kelas yang mengikuti ujian. Tangan nya dia masukkan ke dalam saku jins nya, kepala nya tersemat topi hitam polos –karena hari ini benar benar panas menurutnya-, kemeja bewarna silver bagian depan dia masukkan ke dalam celana. Dia tidak membawa tas, karena itu tidak perlu. Untuk berjaga jaga, Wahyu membawa buku dan bolpen di mobil nya.
Arga berjalan di depan, tentu dengan tas di punggung nya. Dia harus menyerahkan tugas nya pada dosen, saat dia berada di kantor tadi, dosen yang dia cari sedang menunggu kelas yang ujian. Karena itu dia mengikuti langkah kaki Wahyu. Berharap dia bisa menyerahkan tugas dan segera pulang secepat mungkin.
“Pak Yusuf di mana sih?” Arga menggerutu. Dia sudah lelah berjalan. Apalagi cuaca yang panas membuat tubuh nya berkeringat lebih banyak.
“Kenapa nggak kamu tungguin di kantor aja? Susah banget jadi orang.”
“Biar cepet! Pengen langsung pulang aku, rindu rebahan.”
Wahyu tertawa, dia menatap punggung Arga yang terlihat lesu dari belakang. “Baru juga bangun tidur, yakali mau rebahan lagi.”
Arga berbalik menghadap Wahyu. Berjalan dengan langkah mundur. “Kamu nggak tau gimana bawel nya emak tiap kali nyuruh belajar waktu ujian. Beuh, nggak kuat ini hati.”
“Kamu nggak tau gimana bawel nya kakek tiap kali nyuruh aku perhatiin postur tubuh aku waktu berenang. Salah dikit, mulut beliau langsung berbusa.” Wahyu menimpali, dia tersenyum saat bayangan kakek nya sekilas terlintas di pikiran nya.
“Segitu serem nya?”
“Enggak serem sih, cuman tegas.”
“Yakin nggak mau pulang ke Jakarta?” Arga bertanya. Wahyu diam. Dia berubah pikiran sekarang. Wahyu ingin pulang, ingin berkumpul bersama keluarga nya walau nanti dia akan di latih mati-matian oleh kakek nya.
“Pulang. Nanti, kangen aku sama orang rumah.” Wahyu menjawab. Dia berhenti di depan kelas, memperhatikan Nameera yang berkutat dengan kertas ujian nya. Tidak mempedulikan walau ada beberapa teman yang terus memanggil nama nya.
Jujur sekali. Dia tidak ingin memberikan jawaban pada teman nya.
Wahyu yang melihat nya tersenyum.
“Kamu gila?” Arga berceletuk. Dia memandang Wahyu aneh. Arga mendekat, ikut melihat apa yang Wahyu lihat. “Nameera? Kamu gila cuman karena Nameera?”
Wahyu tersadar. Dia mengusap wajah nya dengan satu tangan, lalu setelah itu senyum nya menghilang. Dia berjalan sambil berbisik berkali-kali. “Jaga pandangan mu! Jaga pandangan mu!”
***
Pukul 12.04
Waktu nya adzan dhuhur.
Wahyu sudah ada di masjid sejak setengah jam yang lalu, sibuk membaca al-Qur’an nya sebelum beberapa orang datang untuk melaksanakan shalat. Beberapa orang yang mengenal nya mulai menyapa nya. Entah itu satu fakultas dengan nya atau tidak.
Wahyu tersenyum. Menerima uluran tangan mereka yang meminta bersalaman. Sebagai bentuk sopan santun dan saling menghormati satu sama lain nya.
Tidak ada yang tidak mengenal Wahyu. Apalagi setelah dia selalu ada di masjid satu jam lebih awal untuk membaca al-Qur’an terlebih dahulu. Sikap nya juga berubah, dia menjadi lebih menghormati perempuan. Tidak sembarang memandang mereka walau sesekali mereka sendiri yang memandangi nya dengan tidak pantas.
Wahyu orang yang ramah. Sangat ramah. Dia mengajak bicara siapapun yang ada di dekat nya, sekedar basa-basi bertanya bagaimana hari yang mereka lalui.
Karena itu mereka menyukai nya.
“Assalamualaikum.” Wahyu berbalik saat ada seseorang yang menyentuh pundak nya lalu tersenyum setelah nya. Itu Halim, senior nya di fakultas Manajemen Bisnis. Menjabat sebagai ketua UKM kerohanian islam. Dia selalu memakai celana longgar dan kemeja polos, belum lagi kopiah yang ada di atas kepala nya.
“Waalaikumsalam.” Wahyu menjawab salam, dia menjabat tangan Halim.
“Ujian kamu sudah selesai?” Halim bertanya. Tidak terdengar medok sama sekali, memang. Karena dia sama seperti Wahyu. Anak kota yang rela pergi jauh untuk mencari pengalaman.
Dulu Wahyu sempat bertanya alasan Halim lebih memilih belajar di Solo ketimbang di Bekasi. Halim dengan kalem nya menjawab, jika dia sudah jatuh cinta dengan kota Solo. Kota yang terlalu indah jika di tinggalkan. Wahyu setuju, dia sudah merasakan nya. Kota Solo sudah berulang kali membuat nya jatuh cinta.
“Sudah, aku kesini cuman karena nggak ada kerjaan di rumah.” Wahyu duduk di barisan paling depan, Halim mengikuti, duduk di samping nya. Menunggu waktu nya iqomah.
“Nggak mau pulang ke Jakarta emang?”
“Awal nya nggak mau. Tapi tadi kepikiran buat pulang, kangen sama orang rumah.”
“Nameera gimana?”
Wahyu menoleh, menyerngit bingung. “Huh?”
“Udah dapetin hati nya Nameera?” Halim tertawa pelan saat melihat wajah kikuk Wahyu.
Wahyu lupa. Halim adalah salah satu orang yang dulu melamar Nameera tapi di tolak. Arga yang mengatakan nya.
“Nameera terlalu sulit kan?” Halim tersenyum. Walau tidak mau mengakui, tapi Wahyu merasa Halim lebih tampan saat tersenyum, apalagi saat kedua lesung pipi nya terlihat. Perempuan yang melihat nya pasti ingin mengabadikan nya dengan kamera ponsel mereka.
Halim terlalu sempurna. Orang yang sopan, ramah, selalu tersenyum pada siapapun yang dia ajak bicara, selalu menundukkan pandangan nya saat melihat perempuan yang berjalan di depan nya dengan pakaian yang tidak sopan. Laki-laki sesempurna ini melamar Nameera, dan dia menolak nya.
“Dia perempuan sholehah yang semua orang idam-idamkan. Aku nggak berhasil melamar nya dulu, ayah nya menolak ku mentah-mentah sedetik setelah mata nya bertatapan dengan Nameera. Hanya bertatapan, Nameera tidak mengatakan apapun. Dan beliau sudah tau jika Nameera tidak menyukai ku.”
“Tapi beliau tetap menyambutku ramah. Meminta maaf kepada orang tua ku yang sengaja aku panggil untuk membantu ku melamar Nameera, tetap bertanya hal-hal lain kepada orang tua ku, mungkin supaya mereka tidak kecewa karena lamaran nya di tolak.”
“Aku tau kamu sudah berubah, Yu.” Halim tersenyum, dia masih menatap Wahyu.
“Sikap kamu menjadi lebih baik, aku selalu mendapati kamu berdiam diri di masjid dengan al-Qur’an di tangan kamu, kamu selalu menjaga tubuh mu agar tidak bersentuhan dengan perempuan yang bukan mukhrim nya.”
“Wajah mu terlihat lebih bercahaya dari biasa nya. Kamu selalu menjaga pandangan mu saat bersama Nameera, walau kamu masih melirik nya sesekali.” Wahyu menatap nya sekilas, lalu tersenyum malu setelah nya.
“Semua orang membicarakan mu. Bahkan teman sekelas ku selalu mengucapkan nama mu dengan kagum. Atlet renang yang banting haluan menjadi pelatih atlet.”
“Tidak mudah mengambil keputusan kayak gitu.” Wahyu menoleh, menatap sepenuh nya pada Halim yang masih tetap tersenyum. Dia sesekali juga ingin mengeluh.
Dia sudah terbiasa menjadi atlet sejak lama, sudah terbiasa latihan mati-matian menjelang turnamen, sudah terbiasa dengan rasa tegang yang selalu menghinggapi nya saat berdiri di kotak start.
Dan saat dia memilih untuk berkutat dengan buku pelajaran, pikiran nya mengarah kemana-mana. Rasa nya ada yang kurang, Wahyu merasa bukan disini tempat nya berada. Rasa kehilangan terus berada di pikiran nya saat dia menerawang bagaimana jika dia sudah tidak lagi merasakan bagaimana rasa senang jika berdiri di atas podium dengan trofi di tangan nya.
“Aku tau, kamu akan terbiasa nanti.” Halim tersenyum. Menenangkan nya.
***
Wahyu keluar masjid paling akhir, lagi.
Dia duduk di teras, menyibakkan rambut nya kebelakang lalu mengenakan topi nya saat panas matahari menyilaukan mata nya, memakai sepatu nya cepat lalu berdiri. Hendak langsung berjalan, dia urungkan niat nya dan mundur ke belakang beberapa langkah saat melihat perempuan bergamis berdiri di depan nya, terseyum manis ke arah nya dengan tangan yang memegang kopiah, terlihat baru.
“Mas Wahyu kan?” Dia bukan Nameera. Nameera tidak mungkin mengajak nya berbicara terlebih dahulu, dia tidak akan tersenyum jika bukan Wahyu yang tersenyum terlebih dahulu. Wahyu tau bagaimana Nameera. Yang menjadi pertanyaan nya, siapa perempuan yang berdiri di depan nya ini?
“Aku Yuliana, bisa kamu panggil Ana. Jurusan Arsitektur semester 1.” Ana memperkenalkan diri. Tangan nya terangkat, menyodorkan kopiah yang belum Wahyu terima.
“Buat kamu.” Ana masih tersenyum. Wahyu mendorong kopiah nya pelan, menolak nya. “Aku udah punya di rumah.”
“Buat kamu. jangan pakai topi, pakai peci. Insya allah baik buat kamu.” Wahyu menerima nya, membuat Ana semakin melebarkan senyuman nya. “Makasih.”
Wahyu melepas topi nya, dia lipat menjadi lebih kecil dan dia masukkan ke saku celana belakang nya. Wahyu mengangkat rambut bagian depan nya, memperlihatkan dahi nya lalu memakai kopiah nya. Berkaca di layar ponsel nya sekilas, membenarkan kopiah nya yang terlihat miring.
Tidak melihat bagaimana Ana dan ketiga teman nya yang berdiri di belakang nya menatap Wahyu dengan tatapan memuja. Mengagumi keindahan yang tuhan ciptakan. Sempurna sekali.
“Di dalem nya aku kasih pelet.” Wahyu terdiam, mata nya bergerak melirik Ana yang tengah menyengir seolah dia tidak memiliki dosa sama sekali.
“Bercanda kan?” Wahyu berbisik, dia masih tidak bergerak. Tangan kiri memegang ponsel, tangan kanan memegang kopiah nya. Lalu saat mendengar suara tawa halus dari Ana, baru Wahyu bernapas lega.
“Nggak mungkin kalau aku mau ngasih pelet, apalagi bilang dulu ke kamu. Kalau mau pelet ya udah tinggal pelet, nggak usah bilang-bilang ke target nya.” Wahyu hanya tersenyum menanggapi ucapan Ana.
“Keren, mas. Lebih cocok pakai peci daripada topi. Tapi ini baju nya-“ Ana terdiam saat Wahyu melangkah mundur menjauhi nya, menatap nya dengan tatapan terkejut karena hendak menyentuh laki-laki yang bukan muhrim nya.
Tangan Ana masih terjulur. Tadi dia hanya ingin mengeluarkan baju bagian depan yang sengaja Wahyu masukkan ke celana. Hanya itu. Ana pikir itu tidak terlalu masalah.
Tapi pikiran setiap orang berbeda-beda. Mereka akan mulai membicarakan apapun yang berkaitan dengan nama mereka berdua. Menyebarkan gosip yang tidak berguna lain nya lalu mulai menyebabkan fitnah.
“Mau ngapain kamu?” Wahyu bertanya pelan, dia masih terdiam menatap Ana tidak percaya.
“Baju kamu.” Wahyu mengusap wajah nya, menyadarkan nya untuk tetap menjaga penampilan nya. Berbisik pada diri sendiri untuk tidak memandang remeh siapapun, jangan membuat orang tersinggung siapapun itu, terlebih seorang perempuan.
Wahyu mengeluarkan baju bagian depan nya, menepuk nya pelan karena terlihat sedikit kusut. Dia melepas kopiah nya, lalu dia letakkan di lantai teras masjid. Lalu berjalan pergi setelah tersenyum kecil pada Ana.

Comentário do Livro (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes