logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

5-6

"Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres.
"Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia.
"Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas.
"Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati.
"Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.
Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja.
"Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya.
"Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."
Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi tak kuasa menolak permintaan gadis itu. Delia selalu meminta ini itu pada Mawar, membuat perempuan tersebut frustasi dan kelelahan.
Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh, terdengar deru mobil, membuat senyuman Delia mengembang lalu bergegas ke pintu utama. Maura dan Mawar mengikuti langkah gadis kecil itu. Semuanya menyambut Hamdan yang pulang.
Saat Mawar hendak menerima kecupan di kening oleh Hamdan, suara Delia berseru melarang.
"No, Ayah. Ayah gak boleh bersentuhan sama wanita yang bukan muhrim. Itukan yang Ayah ajarkan pada Delia," ujar gadis kecil itu.
Mendengarnya, Hamdan terasa bagai terhantap batu besar.
"Maaf, Sayang. Ayah lupa, ayo sini Ayah gendong," kata Hamdan.
Dia segera berjongkok setelah memberikan tas kerja pada Maura.
"Ayah, Lia kangen." Gadis kecil itu menghadiahi kecupan di wajah Hamdan.
Hamdan terkekeh lalu balas mengecup wajah Delia bertubi-tubi. Hamdan terdiam saat matanya menangkap benjolan di kening sang buah hati. Dia langsung menatap tajam istri pertamanya.
"Kenapa bisa benjol kening anakku?" hardik Hamdan dengan nada tinggi. Maura mendengkus karenanya.
"Ayah, ini bukan salah Bunda," bela Delia. Tangan kecilnya memegang wajah Hamdan agar memandangnya.
"Terus ini salah siapa?" tanya Hamdan dengan lembut. Ia tak menyadari riak wajah Mawar yang ketakutan.
"Mbak Mawar, dia masuk bukannya ketuk pintu dulu malah langsung bukan pintu, jadi deh jidat Lia begini," terang Delia.
Hamdan menatap kesal ke arah Mawar. Wanita tersebut lansung menunduk.
"Lain kali hati-hati!" nasehat Hamdan membuat Delia cemberut.
"Ayah, ini. Kenapa Mbak Mawar tidak diomelin, sedangkan Bunda tadi diomelin sama Ayah. Ayah gak adil."
Delia memukul dada Hamdan membuat lelaki itu mengadu.
"Maaf, Sayang, ya sudah. Ayo kita masuk!"
Hamdan menggandeng lengan Maura, membuat Mawar iri. Wanita itu hanya mengikuti dari belakang.
"Seperti benar-benar seperti pembantu saja," keluh Mawar.
Hamdan duduk di sofa sedangkan Delia di pangkuannya. Maura pergi menaruh tas kerja Hamdan ke kamar. Baru saja Mawar hendak duduk, Delia langsung melarang.
"Eittt, nanti, Mbak, jangan duduk dulu. Ayah, Ayah haus tidak?" tanya Delia membuat Hamdan mengeryitkan alisnya tapi masih menjawab.
"Haus, Sayang."
"Mau kopi atau jus?" tanya Delia sekali lagi. Bersamaan dengan itu Maura datang dan duduk di samping suaminya, ia tersenyum saat menampak pandangan iri dari mata Mawar.
"Kopi saja," sahut Hamdan. Ia masih kebingungan dengan pertanyaan sang putri.
"Mbak Mawar, buatin kopi, teh manis sama ambilin aku susu kotak aja. Ehhh, jangan lupa bawa cemilan juga," pinta Delia. Hamdan melongo.
Maura tersenyum geli lalu menatap Mawar yang memberengut kesal, mungkin karena di suruh anak kecil.
"Ayo cepat buatkan, Mawar! Jangan bengong aja," tegur Maura membuat Mawar menghentak-entakan kaki lalu berjalan pergi.
Saat Mawar melakukan pekerjaan sambil menggerutu, tanpa ia sadari salah menuangkan air mendidih. Akhirnya cairan itu mengetahui kaki membuat Mawar menjerit. Semua yang mendengar langsung tergopoh-gopoh ke dapur.
BAB 6
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."
Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah.
"Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi.
"Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi.
"Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.
Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu.
"Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya.
"Ya sudah, kamu main aja sama Ayah. Bunda buatkan makanan kesukaan kalian," ujar Maura mengecup pipi gembul Delia.
"Makasih Bunda," ucap Ayah dan anak itu secara bersamaan, Maura membalas dengan senyuman lalu bergegas ke dapur.
"Belum juga kukerjain, udah celaka sendiri. " Maura hanya menggelengkan kepala, lalu melakukan pekerjaannya.
Selesai memasak Maura langsung menghidangkan di meja makan. Wanita itu tersenyum melihat hasil karyanya, memanggil Hamdan dan Delia. Mereka duduk di kursi, Maura meminjam Handphone Hamdan dulu. Pria itu fokus sekali dengan benda pipih tersebut.
"Yah, minjem handphone dulu," pinta Maura menyodorkan tangan di hadapan Hamdan.
"Buat apa, Bun?" tanya Hamdan buru-buru kembali ke layar ponsel, ia sedang bercakap di chat dengan istri keduanya.
"Sudah Yah, sini aja napa," kata Maura sedikit geram karena biasanya Hamdan selalu memberikannya.
"Iya nih, Bun. Jangan marah-marah napa," seru Hamdan memberikan handphone itu ke Maura.
Maura tersenyum sinis saat melihat isi whatsapp Hamdan. Sekarang ia paham kenapa lelaki itu takut memberikan benda pipih ini padanya. Memencet tolong menelepon lalu dipasangkan ke telinga.
"Ternyata ini yang kamu takuti saat aku meminjam handphone," ucap Maura datar menatap suaminya dengan sulit diartikan.
"Maafkan Ayah, Bun. Ayah cuma khawatir," tutur Hamdan terdengar oleh Mawar karena telepon sudah tersambung, saat Maura bertanya pada suaminya.
"Mawar, cepat ke meja makan! Kita makan malam," perintah Maura.
"Tapi, Mbak. Kakiku kasih," keluh Mawar sebenarnya tak terlalu sakit semenjak diolesi salep, tapi ia sedang malas ke meja makan.
"Cepat ke meja makan, atau kamu tidak makan malam ini!" ancam Maura lalu mematikan sambungan telepon.
"Ini Mass." Maura menyodorkan handphone suaminya lagi dan diterima Hamdan.
"Sayang, aku antarkan makanan ke Mawar ya. Kasian dia," ucap Hamdan hendak menyendok nasi ke piring.
"Tidak! Biarkan dia datang ke sini, kalau tidak berarti dia memilih enggak makan malam. Jangan selalu memanjakannya," tutur Maura membuat Hamdan terdiam, dari mana istrinya tau bahwa dia memanjakan Mawar.
Mawar memilih menunggu di kamar, ia sangat yakin bahwa Hamdan akan membawakan makan malam untuknya. Setengah jam berlalu, Mawar memutuskan untuk ke meja makan. Perut sudah tidak bisa diajak kompromi, sehabis membersihkan diri. Melangkah perlahan melewati ruang tengah, terlihat keluarga itu tengah tertawa bahagia tanpa memikirkan dia yang kelaparan.
"Astaga, mereka sama sekali tidak mengkhawatirkanku, Mas Hamdan juga sama," keluh Mawar, ia memutuskan lekas ke meja makan untuk mengisi perut.
Maura yang mengambilkan cemilan untuk keluarga kecilnya tersenyum sinis saat melihat Mawar lahap sekali mengisi perut.

Comentário do Livro (185)

  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    18d

      0
  • avatar
    Nur Ayu

    bagus novel nya

    19/04

      0
  • avatar
    SuryadiSitimariyam

    bagus crritanya

    18/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes