logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

5. Ikatan

Mentari menyapa malu-malu melalui celah dinding papan. Kicauan burung terdengar begitu riang. Tidak pernah Namida merasakan kesyahduan seperti ini. Hutan benar-benar menjadi tempat yang bisa menenangkan pikiran yang semrawut.
Perempuan cantik itu mencoba mencari keberadaan Guntur di dalam kamar. Namun, sepertinya lelaki itu sedang sibuk di dapur. Hal itu diperkuat dengan bau harum yang memenuhi indra penciumannya. Bau masakan yang begitu kuat. Dengan perlahan-lahan Namida bangkit dari ranjang kayu. Menimbulkan bunyi derit ketika tubuhnya bergerak.
Si kecil Rawa masih terlelap setelah puas menyusu. Mengecup dahi Rawa penuh sayang sebelum akhirnya Namida keluar dari kamar. Berjalan pelan menuju dapur di mana aroma harum menguar.
"Hei, sudah bangun?" Guntur menyapa Namida sambil menaruh sendok di dalam piring. Namida tersenyum. Wajahnya memerah mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mudahnya Namida menawarkan diri untuk melayani kesepian lelaki gagah di depannya ini. Walau tidak sampai bersetubuh, tapi apa yang ia lakukan, sedikit banyaknya menyisakan malu di hati.
"Masak apa?" Namida berusaha membuang pikiran anehnya. Mendekati Guntur dan melongok ke dalam kuali.
"Aku bikin opor ayam. Kamu pasti suka." Guntur memaksakan diri tersenyum. Wajahnya terlihat aneh. Tangannya memeluk pinggang Namida lembut. Sedikit jengah, Namida mencoba menjaga jarak. "Kenapa?" Guntur bertanya heran. Namida merunduk.
"Aku malu. Kamu pasti sudah berpikir aku ini perempuan murahan, bukan?" Dia memainkan ujung bajunya. Rasa malu begitu besar di dalam hatinya. Guntur membelai lengannya.
"Bisa kita tidak membahas apa yang terjadi semalam?" Mata mereka saling bersitatap. "Ini masih pagi. Awali dengan senyuman manis. Kamu jangan banyak pikiran. Bisa?" Sorot mata pria itu tanpa ekspresi. Walau dari nada suaranya, Namida tahu kalau Guntur merasa terganggu dengan pertanyaannya.
Namida tersenyum tipis. Bersyukur Guntur tidak membahas kejadian memalukan yang terjadi kemarin malam.
"Baiklah. Aku tidak akan membahasnya. Aku ingin mandi. Kalau Rawa bangun, apa kamu bisa membantuku untuk menemaninya barang sejenak?"
Guntur menjawabnya dengan anggukan. Kembali memaksakan senyum, lalu mencium kening Namida. Perempuan itu merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Lelaki ini tidak bisa tersenyum, sepertinya sudah begitu lama dia tidak melengkungkan bibirnya itu sekadar untuk tersenyum.
"Mandilah! Sehabis ini aku akan ke kota. Tinggallah di sini." Guntur meminta dengan setengah berbisik.
"Ada apa di kota?" Walau bukan urusannya, Namida tetap bertanya. Ada kecemasan jika Guntur tidak kembali lagi ke rumah.
"Ada urusan. Aku pulang sore. Selama itu, semua kebutuhanmu sudah kusiapkan. Makanan pun tersedia. Kamu hanya perlu istirahat yang cukup." Guntur tersenyum.
"Baiklah, aku mandi dulu." Namida meninggalkan Guntur yang sibuk memasukkan masakannya ke dalam mangkok. Dia berjalan sambil berpikir keras, dari kemarin malam, Guntur menyajikan makanan yang terlihat mewah untuk ukuran orang miskin sepertinya. Apalagi kalau melihat potongan badannya yang macho dan jantan. Mungkinkah Guntur sedang bersembunyi di kawasan ini? Seakan-akan dia ingin menghilang dari keramaian.
Rumah ini hanyalah terbuat dari papan. Dari warna kayunya terasa sekali kalau rumah ini sudah lama dibangun. Dan Namida merasa hanya ini satu-satunya bangunan yang berdiri di kedalaman hutan ini.
Dengan hati-hati Namida mendorong pintu kamar mandi. Kamar mandi ini ternyata mendapatkan pasokan langsung dari sebuah bambu yang dialiri air sungai. Dengan jemarinya, Namida menekan ke bawah sedikit dinding yang terbuat dari anyaman bambu, sehingga membuat celah untuk bisa mengintip ke luar.
Hmm, sebuah sungai. Pantas aku merasa ada bunyi air mengalir. Bagus sekali sungainya. Bebatuan dengan air yang sedikit keruh karena hujan semalam.
Namida kembali fokus untuk membersihkan tubuhnya. Mengalirkan air ke sekujur badan, berharap noda-noda dosa ikut terkikis bersama luruhnya si air mata. Bagaimana kejamnya kehidupan telah merampas kebahagiaannya. Namida menangis terisak-isak. Sampai kapan pun, hatinya telah ditumbuhi semacam tanaman beracun. Dia sungguh tidak rela menanggung hidup dengan rasa malu yang membunuh. Satu per satu wajah orang yang dulu begitu dicintainya berkelebat di pikirannya.
Namida memejamkan mata, berusaha mengenang kembali api asmara yang telah membakar cintanya sedemikian parah. Membuatnya terluka dengan borok busuk menyengat jiwa.
***
Jakarta, di musim hujan yang menggigil.
"Aku ingin tinggal sama ibu, Pak!" Namida baru saja selesai menggosok pakaian ketika Bapaknya, Khairul menjejakkan kaki di lantai kamarnya. Lelaki separuh baya itu terkejut.
"Ada apa, Sayang? Apa ada masalah?" Khairul menghenyakkan pantatnya di tepi ranjang. Namida duduk di samping Bapaknya itu.
"Enggak, sih. Cuma pengen saja tinggal di kampung. Bapak tidak keberatan kan?" Namida menatap penuh harap. Lelaki tua itu mendesah.
"Nak, di kampung itu banyak hal yang tidak kamu ketahui. Adat istiadat sangat kuat. Sementara Bapak belum memberitahumu lebih banyak mengenai hal itu. Bapak tidak mau kehadiranmu di sana membuat ibumu susah. Apalagi keluarga besar ibumu itu memegang teguh adat istiadat." Khairul mengusap lembut kepala Namida.
"Akh, Bapak. Zaman udah maju. Aku yakin, Pak, di kampung pasti sudah sangat longgar adat istiadatnya. Buktinya, temanku banyak yang orang Minang dan mereka rata-rata memang tidak mengerti dan tidak mau tahu dengan adat istiadat tersebut."
Mendengar ucapan anaknya, Khairul menghela napas. "Ya terserah kamu sajalah. Bapak hanya berharap kamu di sana baik-baik saja. Ingat ya, jangan sampai salah pergaulan. Apalagi kamu perempuan cantik. Pasti banyak yang suka sama kamu." Namida tertawa mendengar ucapan bapakhnya. Dia bergayut manja di lengan lelaki yang telah membesarkannya selama ini.
"Aku sayang sama Bapak."
Khairul mencium lembut kepala puteri cantiknya itu.
Pada keseokan harinya Namida benar-benar meninggalkan kota yang penuh dengan sejuta mimpi itu. Menghindari bisingnya ibu kota dengan segala macam hiruk pikuk kehidupan. Dia meninggalkan kota Jakarta karena dia tahu, ibunya yang keras kepala itu pasti butuh kehadirannya. 24 tahun usianya kini, dan sudah begitu lama dia tidak menyambangi kampung halamannya itu.
Bersambung ....

Comentário do Livro (105)

  • avatar
    hashimah 706

    best sangat

    14d

      0
  • avatar
    RupiahPejuang

    cerita nya bgs

    11/08

      0
  • avatar
    kusumarepal

    baguss banget novel nya

    10/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes