logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Pria Asing

Di tempat lain.
Crystaline melenguh dan mendesis tidak nyaman. Lehernya terasa nyeri dan ia juga menggigil kedinginan. Tidak hanya itu, tubuhnya kini terbaring di lantai yang terasa basah dan agak berlendir. Tubuhnya juga terasa geli dirayapi oleh sesuatu. Sesuatu itu terus merayapi tubuh Crystaline dan mulai membuat tidak nyaman, rasanya seperti dikerumuni banyak ulat.
Crystaline mencoba membuka matanya. Tapi gelap! Ia tidak bisa melihat apa-apa.
"Dimana ini! Dimana ini! Tolong...! Seseorang? Ada orang disini?" teriak Crystaline panik. Ia mencoba bangun tapi susah. Dan baru menyadari kedua pergelangan tangan dan kakinya diikat oleh sesuatu. Ia makin panik dan makin bergerak-gerak tidak nyaman.
"Lepas! Lepaskan aku!" Crystaline merengek dan mulai menangis. Ia tidak henti-hentinya meronta.  Kemudian terdengar suara langkah kaki teratur mendekat ke arahnya, yang membuat Crystaline semakin meronta-ronta panik dan takut.
"Cantik," gumam orang asing tersebut. Suaranya laki-laki dan terdengar berat, seperti suara pangeran gagah dan bergairah. Tapi bukan itu yang ada di kepala Crystaline. Crystaline sangat khawatir bagaimana jika pria itu mencoba menyakitinya?
Crystaline, yang sudah panik dan meronta-ronta mencoba membebaskan diri, tapi ikatan di pergelangan tangannya nyaris semakin mengerat setiap kali ia mencoba meronta. Sayangnya ikatan itu menjerat pergelangannya dengan kuat sampai tulang pergelangannya terasa tercekik mau putus. Crystaline berhenti meronta, dan menunggu pria itu berbuat sesuatu. Ia masih menangis dan sangat panik. Tapi ia menyadari tubuhnya yang terasa kaku dingin belum disakiti. Akhirnya Crystaline memaksakan dirinya terus berpikir positif, siapa tahu pria itu adalah orang suruhan Axton. Meskipun akal sehatnya menentang pemikiran tersebut.
"Siapa kau?" tanya Crystaline, mencobanya terdengar tidak takut. Tapi sekujur tubuhnya semakin kaku dan dingin, tangannya gemetar, saking gugup dan takutnya. Tapi ia mencoba menguasai diri dan menjaga emosinya. Crystaline takut ia memancing emosi pria asing itu yang entah siapa, karena ia tidak bisa melihat apapun, matanya pasti ditutup oleh sesuatu.
"Jangan khawatir, nak," katanya. "Kami tidak akan menyakitimu."
"Oh syukurlah!" sergah Crystaline. "Lepaskan saya, sir! Kau pastilah orang suruhan pamanku! Iya kan!"
Jantung Crystaline berdegup kencang. Ia menunggu pria itu mengatakan "ya" kemudian segera membebaskannya. Tapi pria itu tidak menjawab apa-apa, atau minimal melepaskan ikatannya. Hening, tidak ada suara apapun. Jantung Crystaline berdegup kencang dan mulai bertanya-tanya apakah pria itu masih bersamanya.
"S-sir...?" Crystaline bertanya ragu-ragu. "Apakah Anda masih disini?"
"Jangan buru-buru," katanya dengan suara baritonnya. "Aku tidak kemana-mana."
"Lalu apa lagi yang kau tunggu! Ayo pergi!" sergah Crystaline tidak sabar.
"Kubilang jangan buru-buru, tapi kau akan dibebaskan. Tentu saja,"
Crystaline semakin bergerak-gerak tidak nyaman. Ulat-ulat itu merambat sampai ke perutnya dan menyusup ke leher, ketiak, sampai ke bagian pantatnya. Dan itu membuat Crystaline semakin khawatir. Selain itu, bau busuk menyengat sedari tadi juga mengganggu penciumannya. Crystaline mencoba menebak, dimana dia sebenarnya.
"Baiklah," katanya lagi. "Kalau kau tidak sabar—Kau! Angkat dia!"
Crystaline mendengar suara langkah kaki lagi, dan semakin mendekat ke arahnya. Di menit setelahnya, tubuhnya sudah terangkat begitu saja, seakan berat badannya hanya seberat satu karung kapas. Kemudian ia merasakan tubuhnya terjatuh keras ke sebuah ranjang yang empuk.
Crystaline merasakan tangan yang besar dan kasar menyentuh kulit wajahnya yang seputih salju. Tangan itu terus membelai wajahnya, membuatnya risih, sampai tangan itu merayap ke ikatan yang menutupi matanya kemudian dia menarik ikatan itu. Crystaline tetap menutup matanya rapat-rapat, tak berani membuka matanya dan menatap pria itu. Jantungnya berdegup keras dan kepalanya jadi terus memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Halo gadis kecil..." Katanya, terdengar menyeramkan di telinga Crystaline.
"Tidak...! Jangan!" rintih Crystaline.
"Aku tidak akan menyakitimu. Aku janji," katanya.
"Tidak," gumam Crystaline takut. "Aku mau Mommy-ku..."
"Sir!" Suara itu terdengar tiba-tiba. Membuat pria itu sontak menoleh dan mengumpat.
Pria itu beralih sedang berbicara dengan seseorang. Terlihat serius sekali. Pria satunya berbisik di telinga pria tadi.
"Apa kau bilang?" tanya pria itu. Terdengar kaget.
"Benar," kata pria satunya, sambil melirik Crystaline sejenak.
Kedua pria itu kini menoleh pada Crystaline. Membuat anak delapan tahun itu kembali gugup dan ketakutan. Apalagi tiba-tiba mereka mendekatinya. Tidak lama dari itu, seorang pria berambut kecoklatan, menutupi mulut dan hidungnya dengan scraft merah, dan membawa gelas yang isinya entah apa.
Crystaline memberontak ketika pria dengan mulut tertutup itu mendekatinya dan memaksanya membuka mulutnya kemudian memasukkan cairan kental seperti lendir ke dalam mulutnya. Kemudian pria itu menutup mulut  Crystaline, menjaga agar Crystaline benar-benar menelan cairan berlendir itu.
"Telan!" tuntutnya. Mata coklatnya sedang menatapnya tajam.
Crystaline menggeleng. Pria itu terus menutup mulut dan hidungnya agar ia tidak memuntahkan cairan lendir itu. Sedangkan di sisi lain, Crystaline berusaha mempertahankan napasnya yang tersengal-sengal. Hingga dadanya terasa sesak, pandangannya kabur.
Crystaline bergumam dalam hati. Mencoba memasrahkan semuanya pada Tuhan.
***
Di Kastil Kerajaan.
Rombongan pasukan berkuda dipimpin Axton dan Leofric memasuki halaman istana. Di sana rupanya sudah ada Liliane dan pelayan pribadinya, Anna, yang menunggu tidak sabar. Axton dan Leofric menghampiri Liliane kemudian turun dari kuda. Sedangkan para pasukan menuju kandang kuda untuk mengembalikan kuda-kuda tersebut.
"Bagaimana?" tanya Liliane tidak sabar. Sorot matanya bergerak panik, dan matanya masih sembab. "Mana Crystaline?" Liliane melongok ke belakang Axton dan Leofric, berharap menemukan sosok anaknya digotong oleh banyak pasukan.
Axton dan Leofric saling pandang penuh isyarat. Kemudian mereka memandang wajah super panik dari Liliane. Liliane menjadi semakin panik melihat kedua pria itu diam tanpa jawaban. Kemudian Leofric terpaksa menggeleng pelan, membuat Liliane sontak menangis hebat lagi.
"Lily..." panggil Axton dengan sorot mata iba.
"Kami akan menemukannya. Aku janji," imbuh Leofric. "Insiden ini terjadi di kastil kerajaan kami, dan aku tentu tidak akan lepas tangan begitu saja."
"Percayalah padanya, Lily. Aku juga tidak akan kembali ke Calzada de Calatrava sebelum Crystaline ditemukan,"
"Tapi kapan!" sergah Liliane memelototi Axton.
"Segera," jawab Axton cepat. "Aku janji,"
Liliane masih menangis. Telapak tangan kanannya mengusap kasar air mata yang mengalir ke pipinya, meskipun air mata dari matanya mengalir lagi terus-menerus. Axton meraih Liliane dan memeluknya.
"Crystaline akan baik-baik saja. Aku janji," kata Axton lembut sambil membelai punggung Liliane.
Tidak lama setelah adegan dramatis ini. Seorang prajurit tergesa-gesa lari menghampiri Axton dan Leofric.
"Your highness...! Your highness...!" panggilnya dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa?" tanya Leofric menatap prajurit itu yang berdiri tersengal-sengal sambil mengatur napasnya.
"Your highness, para warga desa menemukan Her Ladyship Jullions di semak-semak!"
Sontak Liliane melepaskan diri dari pelukan Axton dan menatap tajam prajurit itu.
"Benarkah?" tanya Liliane antusias.
"Lalu dimana Crystaline sekarang?" tanya Axton.
"Para warga membawa Her Ladyship ke kediaman Duke Jullions, your highness."
"C-carl!" ucap Liliane panik dan tidak sabar. "Aku harus menemuinya!"
"Tenang, Lily," kata Axton pelan. "Aku akan suruh Steward menyiapkan kereta untukmu. Kau tunggulah disana."
Liliane mengguk cepat dan patuh.
"Lebih baik kau mengabarkan ini juga pada Clovis," perintah Leofric pada prajurit tersebut. "Suruh dia bersiap-siap pulang juga,"
"Baik, your highness!" jawab prajurit tersebut kemudian segera pergi melaksanakan perintah dari pangerannya.
***
Setelah semuanya gempar tentang ditemukannya Sang Lady, akhirnya Carl bersiap-siap pulang dengan cepat. Bianqua sudah berada di kereta yang sama dengan Esmeralda, mereka berangkat duluan disusul kereta yang mengangkut Flint dan Kay. Sedangkan Carl dan Liliane satu kereta dengan Steward yang mengemudikan kereta. Carl harus menyiapkan banyak hal dulu sebelum akhirnya ia pulang ke kastilnya, termasuk meluruskan hal yang penting bersama Delvin dan Judd yang sempat tertunda karena hilangnya Crystaline. Belum lagi Leona yang terlihat bersemangat atas ditemukannya Crystaline dan masih saja sempat menagih janji bahwa akan ada pesta alkohol. Carl ingat bagaimana Leofric susah payah menyeret adiknya dan mengurungnya di kamar.
Carl akhirnya bisa bernapas lega ketika Axton memutuskan akan kembali ke Spanyol minggu ini setelah memastikan bahwa Crystaline sudah pulih dan baik-baik saja. Karena rupanya Axton merencanakan akan melihat kondisi Crystaline langsung. Tapi Axton tidak bisa melakukannya sekarang, karena dia dan Leofric masih harus menyelidiki dalang dibalik penculikan Crystaline. Carl sudah menebak bahwa Axton dan Leofric pastilah mengira penculikan ini ada hubungannya dengan pemberontak konyol yang sedang terjadi.
Kastil Jullions terletak di perbatasan antara wilayah pedesaan dan perkotaan tempat para ton tinggal. Wilayah yang strategis.
Di dalam kereta keduanya hanya diam, dan duduk saling berjauhan. Liliane terlihat tengah menyibakkan korden jendela kereta agar bisa melihat pemandangan di luar. Sedangkan Carl sendiri tidak mau repot-repot mencari topik pembicaraan. Ia lebih memilih bersandar di kursi kereta sambil memejamkan matanya, mengistirahatkan otaknya.
Sekitar 15 menit kemudian, Kereta berhenti di depan pagar tembok berbatu.
Pintu dibukakan oleh Steward. "Sudah sampai, your grace."
Carl turun duluan dengan cepat. Liliane tersadar kemudian turun dibantu oleh Steward. Keduanya berjalan menuju ke dalam halaman.
Liliane berhenti untuk menyempatkan mengamati  dan mengagumi halaman kastil yang sederhana dan nyaman. Rumput yang dipotong rapi menutupi sebagian besar tanah di halaman. Ada sulur-sulur semak mawar indah bergerombol dan berjajar di pagar tembok bagian dalam, kemudian ada kolam kecil yang berlumut dan entah ada ikannya atau tidak, tapi di atasnya ada bunga teratai putih mengambang, kodok-kodok hijau kecoklatan menguak dan melompat-lompat di halaman. Ada satu pohon ek besar dan rindang meneduhi hampir seluruh halaman. Dan tidak jauh dari kolam itu, sebuah meja putih bulat dikelilingi tiga kursi dan di atas meja tersebut, ada satu botol wine kosong dan sebuah mangkuk biskuit yang dikerumuni lalat.
"Ini indah," gumam Liliane.
"Mendiang ibuku menyukai kesederhanaan," ucap Carl yang berdiri di samping Liliane, mengawasi wanita itu yang masih mengagumi kastilnya.
"Aku juga menyukainya,"
Entah ini hanya imajinasi Liliane atau bukan. Tapi ia seperti melihat kedua ujung bibir Carl terangkat ke atas ketika pria itu mengalihkan pandangannya, walau hanya sedikit sekali, dan sorot mata Carl terasa tidak setajam dan sedingin biasanya.
"Selamat datang your grace!" seru seorang pelayan yang tiba-tiba berada di depan Carl.
Liliane manatap pelayan itu, dia tersenyum padanya. Pelayan itu cantik sekali.
"Namanya Ursulla," ujar Carl memperkenalkan wanita itu. "Dia adalah kepala juru masak di sini, kau bisa berdiskusi dengannya soal menu makanan yang kau sukai."
Liliane tersenyum dan mengangguk.
"Saya melarutkan jahe pada air hangat untuk Lady Crystaline," kata Ursulla. Suaranya sangat merdu. "Saya minta maaf karena pelayan baru menempatkan Lady Crystaline di kamar Baron Macsen,"
"Mungkin Anda mau menemui Lady Crystaline, your grace?" tanya Ursulla pada Liliane. Dan Liliane mengangguk.
"Kalau begitu saya akan menyuruh pelayan lain membawakan barang-barang Anda,"
Beberapa pelayan wanita berdatangan mengangkut barang-barang milik Carl dan Liliane. Sedangkan Carl dan Liliane berjalan menuju ke dalam, Ursulla mengikuti mereka dari belakang. Di dalam kastil hening dan dingin. Kastil ini terbuat dari tembok batu tanpa cat atau sejenisnya. Lantainya murni terbuat dari bebatuan hitam yang membuat kesan gelap. Ada jendela yang hanya ditutupi oleh korden merah tua yang berkibar-kibar terkena angin. Di ruang tamu, ada dua sofa empuk berlengan saling berhadapan, dan satu meja kayu. Ada perapian kecil juga di ruang tamu. Dan sebuah lemari kaca dengan hiasan tengkorak manusia dan tulang-belulang yang di ukir. Di atas perapian, sebuah lukisan besar seorang pria gagah dengan wajah tampan mirip Carl. Liliane terfokus pada lukisan itu.
"Itu mendiang ayahku," ucap Carl yang membuat pandangan Liliane teralih padanya. "Dia meninggal karena paru-paru kanannya pecah. Diracuni oleh seseorang,"
"Oh—" desis Liliane, merasa bersalah dan menyesal telah mengungkitnya, meskipun Carl terlihat biasa saja. "Aku turut berduka cita,"
"Dan tengkorak-tengkorak itu tentu palsu," ucap Carl mengabaikan perkataan Liliane.
"Aku sudah menduganya," jawab Liliane.
Pelayan-pelayan wanita berjalan melewati mereka berdua sambil membawakan barang-barang dengan kepayahan. Para pelayan itu masuk ke suatu pintu terbuka yang menghubungkan ke lorong gelap.
Carl berjalan menyusul pelayan-pelayan itu. Liliane ikut berjalan cepat menyusul Carl.
Lorongnya juga gelap sekali, hanya diterangi oleh penerangan yang tertempel di tembok. Lorong itu menghubungkan ke suatu ruangan luas dengan meja lonjong yang panjang dan kursi-kursi berjajar mengitari meja tersebut. Di ujung barat ruangan itu ada pintu terbuka yang menghubungkan ke dapur. Di sisi tembok lain ruangan itu, ada pintu-pintu lain yang sepertinya menghubungkan ke ruangan atau ke lorong yang lain. Sedangkan di suatu sisi ruangan itu, ada sebua tangga yang menghubungkan ke lantai atas.
"Kamar kita semua ada di lantai dua," ucap Carl. Kemudian menaiki tangga tersebut diikuti Liliane dibelakangnya.
Mereka berdua kini berjalan di lorong gelap lagi yang ada di lantai dua. Kemudian Liliane mendapati tiga buah pintu berjajar dengan jarak jauh satu sama lain. Carl membuka pintu kayu coklat paling kanan dengan sebuah kayu pipih tertempel di pintu tersebut bertuliskan "Kay Macsen".
Crystaline, yang saat itu tubuhnya masih lemas gemetar dan kepalanya berdenyut pusing, ia meraih gelas di atas meja kecil di samping ranjang yang kini ia duduki. Kamar ini gelap tanpa jendela, pintunya tanpa celah sedikitpun, dan seluruh tembok dilapisi karpet. Sehingga ketika pintu dibuka, terdengar berderit. Crystaline sontak menoleh, dan perasaan lega luar biasa menyelubunginya ketika menatap sosok familiar yang berdiri di ambang pintu.
Gelasnya jatuh pecah. Crystaline berlari memeluk erat ibunya. Liliane menangis dan memeluk Crystaline dengan sayang.
"Jangan takut, sayang!" ucap Liliane ketika ia melepaskan pelukannya. Ia membelai pipi mulus putrinya dan menghapus air mata itu. "Kami bersamamu!"
Crystaline masih menangis sesenggukan. Bayangan pria yang akan menyakitinya meneror pikirannya.
"Mom! Pria itu memaksaku minum lendir!" ucapnya mengadu. Liliane merasakan telapak tangan putrinya bergetar dan dingin.
"Tidak ada yang akan menyakitimu, sayang. Kita bicarakan itu nanti, ok" ucap Liliane mencoba menenangkan putrinya. Ia tahu mendengar penjelasan putrinya sangat penting untuk tahu siapa pelakunya, tapi tidak disaat anak itu masih trauma.
"Tidak, Mom!" sergah Crystaline cepat. "Dengarkan aku dulu! Pria itu memborgol tanganku dan memaksaku minum lendir! Dia mau membunuhku! Tubuhku dikerumuni ulat!"
"Kau ditemukan di semak-semak sayang, aku tahu itu penuh dengan ulat. Kau berhalusinasi," ucap Liliane tenang. "Kita bicarakan ini nanti,"
"T-tidak Mom!" rengek Crystaline. Tapi Liliane tidak mendengarkan. Dia menyeretnya kembali ke tempat tidur. Dilihatnya ada Carl di belakang Liliane, Crystaline langsung memandang pria itu penuh isyarat, berharap pria itu mempercayainya. Tapi pria itu malah menutup pintu kemudian pergi.
"Clovis! Tunggu—" teriak Crystaline.
"Habiskan air jahenya, nanti kita makan malam bersama-sama. Ok?" Liliane tersenyum. Ia memaksa putrinya kembali tidur kemudian menyelimutinya, mencium keningnya, kemudian keluar kamar.
"Mom, tunggu...! Percayalah padaku!" teriak Crystaline ketika ia melihat pintu tertutup dan menghasilkan bunyi deritan.
"Mom…"

Comentário do Livro (14)

  • avatar
    Elda Angelina Sa'bi

    okee

    07/02/2023

      0
  • avatar
    AmeliaHilda

    krenn

    08/11/2022

      0
  • avatar
    Nana Az

    ujj

    22/10/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes