logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Watak Aslinya

Mas Bagas masih belum pulang, bagus lah, aku bisa leluasa masuk kantor ini tanpa harus bersembunyi darinya.
Aku langsung menuju ruangan Papa.
Tok
Tok
Tok
Cklek...
Langsung saja ku buka pintunya , karena aku tau , yang di dalam pasti Papa.
Tapi, ternyata aku salah.
Seseorang yang duduk di kursi tamu itu langsung menoleh ke arahku.
"Kamu...???"
Aku berfikir sejenak, mengingat lagi siapa laki-laki yang sedang duduk di sofa yang di sediakan Papa untuk para tamunya.
"Ehhmmm," kulihat dia merubah posisi duduknya, dan berdehem.
Mungkin untuk mengusir grogi karena kedatanganku. Hahaha. Kepedean sekali aku.
Ku lanjutkan memasuki ruangan Papa, dan duduk di sofa yang ada di depannya.
"Mm.... Maaf, anda siapa?" Tanyaku di tengah keheningan ruangan ini.
Lagian Papa kemana sih, kenapa malah ada orang asing disini.
"Saya Arif Prasetyo." jawabnya sambil mengulurkan tangan kode mengajak jabat tangan.
Aku pun membalas uluran tangan itu dengan menangkupkan kedua tanganku di depan dada.
"Maaf, saya Sinta Syakila Gunawan."
Ku lihat keterkejutan di wajahnya.
Tak lama. lalu, tatapannya kembali seperti awal saat aku masuk tadi, dingin.
Suasana kembali hening, hingga akhirnya .
"Ekhmmm...."
Kami sama-sama terkejut, ternyata Papa yang datang.
"Pa..." Aku berdiri menyambut uluran tangan Papa.
"Sudah lama Rif?"
Waduh. Papa gimana sih, aku yang menyapanya, eh tanpa menjawab sapaanku, papa malah langsung nyapa dia. Tapi, kenapa Papa kelihatan akrab gitu yah sama dia, siapa sih sebenernya si dingin ini.
"Begini Sin, ini Arif. Dia baru pulang dari luar negeri belum lama ini, dan dia sudah bekerja sama Papa sekitar satu bulan yang lalu . Dia yang akan mengajari kamu tentang perusahaan ini dan seisinya Sin. Walaupun baru satu bulan, tapi Papa percaya sama dia. Kamu yang serius belajarnya ya."
What...? Dia? Aku belajar sama orang sedingin ini? kira-kira materi apa yang bisa masuk ya? Kayaknya yang ada malah masuk angin saking dinginnya.
"Iya Pa. Sinta akan berusaha." jawabku akhirnya.
Papa memang tidak mengurus perusahaan ini secara langsung. Dia mempercayakan pengelolaannya kepada sahabat karibnya dari kecil. Om Prasetyo.
Eh, tunggu... Si dingin ini kan namanya Arif Prasetyo, apa jangan-jangan dia anaknya Om Setyo yah...??
"Arif ini anaknya Om Setyo, Sin"
Ya ampun, baru saja membatin tadi, papa udah tau aja isi hatiku.
"Sebulan ini dia yang menggantikan posisi Om setyo, karena beliau sedang tidak sehat."
"Gimana kabar Papamu Rif?" tanya Papa pada si dingin.
"Sudah mendingan Om, tapi Papa masih harus stay di Singapore, sampai pengobatannya selesai."
Wah.wah. Kok Dia nggak dingin sama Papa.
Dan lagi, senyumnya.
Duh. Sadar Sin, kamu masih istri Mas Bagas yang tak tau diri itu. Janganlah berhayal terlalu tinggi dulu.
"Mudah-mudahan cepet sehat lagi ya.
Ya sudah, kalian bisa mulai belajarnya. Papa mau kembali dulu, mau ngecek toko pusat Sin."
"Ya Pa, hati-hati ya Pa," Papa berlalu tanpa menjawabku.
Dan sekarang, tinggallah kami berdua di ruangan ini.
Kring kring.
Ponselku berbunyi.
'Mas Bagas.'
"Halo Mas?"
"Kamu dimana Sin, kok nggak ada di rumah?"
"Aku lagi ketemu sama temen Mas. tadi dia ngajak jalan-jalan di Mall."ucapku berbohong.
"Buku tabungan Mas dimana ya Sin, kok nggak ada? Niatnya Mas mau ngecek ATM, kenapa tiba-tiba nggak bisa di gunain gini," pertanyaannya jelas mengagetkanku.
Tak kusangka dia berani menanyakan hal itu padaku.
"Lah. Ya mana aku tau Mas, kan kamu yang simpan."
"Iya, tapi nggak ada di tempat Mas nyimpen. Padahal Mas nggak pernah ngerasa ngambil lho."
"Ya mana aku tahu Mas, aku aja nggak tau kamu simpan dimana." jawabku, lagi-lagi berbohong.
Padahal aslinya, setelah aku memblokir ATM Mas Bagas, seluruh sisa saldo tabungan sudah aku amankan ke rekening baru yang sengaja aku buat.
Sebagian besar uang yang ada di tabunganku, juga aku amankan di rekening baru. Dan bukunya sudah aman ku simpan di tempat yang nggak bakal ada di pikiran Mas Bagas.
"O, ya sudah."
"Lagian ada apa sih Mas, dari kemaren kamu sibuk ngurusin tabungan terus, emang mau buat apa uangnya, kok kamu nggak ngajak diskusi aku dulu?" Aku sengaja menyudutkannya dengan pertanyaan itu, agar dia tidak curiga aku yang telah mengambilnya.
"Ah. Enggak. Eggak ada apa-apa Sin," bohong lagi dia... hahaha, syukurin... Nggak bisa belanjain si pelak*r itu lagi kan sekarang kamu Mas.
*****
Besok aku harus memulai rencanaku, mengubah semua aset yang Mas Bagas beli setelah jadi suamiku menjadi atas nama aku.
Karena dia membelinya juga memakai uang hasil butikku.
Jadi mau tidak mau, besok aku harus menemui Pak Arif, hanya dia yang bisa meminta tanda tangan Mas Bagas tanpa di curigai.
Saat aku hampir terlelap saking lelah nya, tiba-tiba....
Brakkkk.
Pintu di buka keras.
Aku sampai gemetar saking kagetnya.
"Sinta... Bangun..."
"Kamu sembunyikan dimana buku tabungan ku hah." Teriak Mas Bagas sambil berkacak pinggang.
Terkejut, tentu saja aku terkejut.
Selama ini, aku mengenal Mas Bagas sebagai laki-laki yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Tapi yang di depanku ini sangat berbeda.
"Kamu masih menuduhku mengambilnya Mas? sedangkan kamu tau sendiri kalau kamu yang menyimpannya entah dimana?"
"Heh, menantu kurang aj*r, menantu mand*l. Kamu kemanakan uang anakku hah?"
Astaghfirulloh...
Ibu mertuaku ada disini? bukankah rumahnya di kampung , di jawa sana? kenapa tiba-tiba ada disini? ah biarlah. Aku yakin suatu saat ini pasti bisa menjadi petunjuk buat ku.
"Buat apa aku ngambil uang yang di dalamnya juga ada banyak uangku Bu? lagian sejak kapan Ibu ada disini?"
Ibu mertua terlihat salah tingkah, selama ini yang ku tau dia ibu yang mengayomi semua anaknya. Makannya aku selalu nyaman dan betah saat pulang ke kampung halaman Mas Bagas.
Tapi sekarang, semuanya akan terbongkar watak aslinya.
"Alaaah. Mana ada maling ngaku?" Sanggahnya lagi.
"Eh Mas, ibumu bilang aku maling dan kamu diam saja di situ?"
Ku lihat dia hanya diam.
"Lagian kenapa sih dari kemaren kamu ribut tabungan terus? apa kamu lupa kalau hasil dari butikku juga ada di dalamnya?" Aku coba memojokkannya.
"Lalu sekarang, kamu kemanakan uang itu Mas? kamu bilang ATM kamu di blokir, dan sekarang kamu bilang buku tabungannya hilang dan kamu nuduh aku???"
Sudah tak ada lagi acara sopan santun padanya dan tatapan kasih sayang . Muak juga lama-lama bersandiwara di depan laki-laki seperti ini.
"Apa kamu lupa Mas kalau kita sudah sepakat, rekening kamu buat nyimpen tabungan masa depan kita dan anak-anak kita kelak, hah????" bentakku lagi tepat di depan wajahnya.
"Alahh anak apa, bahkan sampai detik ini pun kamu belum pernah hamil. Dan kamu bilang untuk masa depan anak kita? kamu itu perempuan mand*l."
Jderrr...
Ternyata ini Mas Bagas yang asli, bukan yang kemarin-kemarin, yang selalu menenangkanku ketika setiap bulan aku menstruasi dan program hamil kami gagal.
Aku langsung berjalan menuju lemari pakaianku. Mengambil selembar kertas hasil pemeriksaan kesuburan yang ku lakukan satu minggu yang lalu tanpa sepengetahuan Mas Bagas.
Lalu kembali ke hadapan Mas Bagas, dan ku lemparkan kertas itu kewajahnya.
"Baca Mas... Baca sendiri, siapa yang mandul di antara kita."
Dia memungut kertas itu, dan membukanya...
"App apahhh?jadi... Jadi kamu sudah cek kesuburan kamu tanpa izin dari ku Sinta?"
Dia semakin emosi. Aneh.
"Iya Mas. Buat apa izin sama kamu, kalau aku tau kamu tidak akan pernah mengizinkan?"
"Lancang kamu Sinta..." tangannya sudah terangkat hendak menamparku.
"Kenapa Mas? kenapa kamu marah ketika sudah jelas-jelas aku subur disini hah? apa sekarang kamu takut kamu yang mand*l Mas? atau jangan-jangan, kamu memang sudah tahu kalau kamu yang mand*l, makannya selama ini kamu larang aku cek kesuburanku."
Pertanyaanku berhasil membuatnya terbungkam.
Dan ibu mertuaku, dia hanya diam di pojokan kamar. Entahlah, ada apa ini sebenarnya.
Setelah puas membolak balikan kertas yang memang hanya selembar itu. Mas Bagas keluar kamar, disusul dengan Ibu mertua yang baru ku ketahui watak aslinya.
Huuuffhh...
'Aku harus segera menyelesaikan semuanya besok.' batinku.
Ku raih ponselku yang terletak di atas nakas. Masuk aplikasi hijau, dan mencari nomor seseorang yang bisa membantuku besok.
Pak Arif.
Memang setelah satu minggu belajar bersama Pak Arif, sikapnya sudah tidak terlalu dingin.
Dia sudah bisa menanggapi setiap pertanyaanku dengan baik, tidak sedingin es lagi.
*Assalamu'alaikum, selamat malam pak Arif, maaf mengganggu waktu istirahat anda. Ada yang perlu saya bicarakan dengan anda, memang ini diluar urusan kerja, tapi ini juga menyangkut bawahan anda."
Send...
Setelah lama memikirkan kata yang tepat untuk membicarakan ini pada Pak Arif, akhirnya aku mengirim chat padanya dengan hati berdebar.
Tak sabar aku menunggu balasan yang tak kunjung datang.
Centang biru.
Dia pasti sedang membaca pesanku.
Mengetik...
Lama sekali dia mengetik pesan. Apa dia juga bingung dengan balasannya?
Ting.
"Bawahan saya yang mana? urusan apa?"
Astaga. Selama itu dia menulis pesan, hanya tulisan singkat yang bisa dia kirim?
"Pak Bagas, manager."
"Oh, iya. Ada apa dengan dia?"

Uh, dinginnya kambuh.
"Dia suami saya pak. Beberapa minggu ini saya mencurigainya berhianat di belakang saya, sudah ada beberapa bukti yang sudah saya kumpulkan.
Saya hanya minta keadilan dari pihak perusahaan untuk karyawannya yang selingkuh." Balasku.
Memang setelah di pegang Papa, salah satu aturan perusahaan adalah tidak boleh berpoligami, walaupun dengan izin istri pertama, kecuali istri pertama sudah di cerai, dan baru menikah lagi setelahnya, bukan karena selingkuh.
"Segera siapkan bukti-buktinya besok, dan bawa ke kantor."
"Baik. Ada lagi yang mau saya sampaikan pak, saya mau meminta tolong kepada bapak, untuk memintakan tanda tangan suami saya untuk pengalihan nama dari beberapa aset yang kami beli bersama atas namanya. Tentunya tanpa pengetahuan suami saya. Karena saya tidak mau apa yang kami kumpulkan bersama, dinikmati pelak*r itu jika nanti terjadi sesuatu pada pernikahan kami."
Lama sekali dia tidak menjawab chat terakhirku. Bahkan sampai aku ketiduran.
****
Tentu Mas Bagas tidak berani tidur di kamar kami. Dia pasti tidur di kamar belakang.
Setelah sholat subuh, aku segera mengecek ponselku, siapa tau Pak Arif sudah membalas pesanku tadi malam.
Ada beberapa pesan di sana. Namun aku tertuju pada satu pesan.
Pak Arif.
"...."

Comentário do Livro (239)

  • avatar
    Dhe Rumengan

    ceritanya bagus moga aja endingnya juga ..paling tidak ada pesan moral yg terkandung didalam ceritanya yg bermanfaat bagi pembaca..semangat ya thor..

    09/01/2022

      0
  • avatar
    Setyawati Setyawati

    Wow ? ?

    11h

      0
  • avatar
    NainggolanTiara

    bagus

    9d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes