logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 10 Kosan baru

Sheril mencatat nomor tersebut. Ia merasa kalau kosan ini cocok untuknya. Berkali-kali ia ucapkan terima kasih pada Alnonim.
"Anon, sepertinya aku harus menghubungi pemilik kosan."
"Ok. Semoga harimu menyenangkan!"
Klik.
Sambungan telepon terputus. Setelah mengakhiri telepon dari Alnonim, Sheril menghubungi pemilik kosan lewat Talkway.
Suara nada sambung telepon terdengar, sampai tanda klik bahwa telepon diterima.
"Hallo, apa ini benar nomor pemilik kamar kos Jelita?"
"Ya, dengan siapa di sana?" tanya suara wanita di ujung telepon.
"Saya Sheril, ingin menyewa kamar yang tersisa. Saya sudah berada di depan gedung kos Jelita.
"Baiklah, tunggu di sana sebentar!"
Sambungan telepon pun terputus. Binar cahaya matanya terpancar saat menatap gedung dua lantai di depannya. Sheril sangat bahagia sekali.
"Aku harus tinggal di sini!" Seru Sheril.
"Permisi!" panggil suara di belakang Sheril.
"Ya?" Sheril menoleh, ia lalu terdiam saat mendapati seorang wanita gempal bertubuh pendek. Wajahnya sangat mengesalkan untuk dilihat. Bibirnya yang tebal itu terkatup, terlihat seperti orang yang sedang merajuk. Matanya bulat kecil, terlihat besar saat memakai kacamata plus. Rambutnya ikal sebahu. Sheril menebak kalau wanita di depannya adalah pemilik kosan.
"Anda yang akan menyewa kamar?" tanya Wanita itu. Suaranya cempreng, membuat Sheril menahan tawa. Menurutnya, suara wanita itu tidak pas dengan wajahnya yang mengesalkan.
"Ya, Madam."
"Baiklah, mari masuk!" Wanita itu membuka pintu pagar, berjalan lebih dulu. Membawa Sheril memasuki area kosan.
"Penghuni kos di sini campur, ada pria ada wanita, pekerja juga yang masih sekolah, apa tidak apa-apa?" tanya Wanita itu.
Gedung dua lantai itu, di bagian depannya ada tangga yang menempel di dinding. Tangga menuju lantai dua. Di depan tangga merupakan lorong kamar lantai satu.
Wanita pemilik kosan Jelita itu membawa Sheril menaiki tangga menuju lantai dua. Lalu berjalan menyusuri lorong kamar di lantai dua. Dan berhenti di depan kamar bernomor dua puluh empat.
"Hanya ada kamar ini," ucap Wanita itu sambil membuka pintu kamar.
Aroma debu menusuk hidung saat pintu dibuka. Sheril memindai ruang kamar yang akan di sewanya. Di dalam kamar tersebut, ada ranjang beserta kasurnya. Nakas kecil dan lemari plastik yang memiliki dua pintu dan satu laci di bagian paling bawah. Lalu, ada sekat yang memisahkan bagian dapur serta pintu kecil seperti pintu kamar mandi di sebelah kanan pintu dapur.
"Berapa harga sewanya, Madam?" tanya Sheril.
Wanita itu terdiam, menimbang-nimbang harga kamar. "15 pound per bulan," jawabnya kemudian. "Apa kamu suka?" tanya wanita itu.
"Ya. Aku akan pindahan hari ini juga!" Seru Sheril.
"Baiklah." Wanita itu menyerahkan kunci kamar. Tidak ada negosiasi, Sheril sudah jatuh cinta saat pertama kali kamar itu dibuka. Ia membayar lunas sewa kamar untuk satu bulannya.
Setelah kepergian pemilik kamar kos, Sheril memindai kamar yang disewanya itu.
"Aku harus beli sapu, kain pel, ember. Ah, uangku cukup nggak, ya, buat pindahan?"
Sheril menimbang-nimbang sambil meninjau layar ponselnya. "Beli yang dibutuhkan saja dulu, mumpung ambil cuti setengah hari," gumam Sheril.
"Ya ampun. Aku belum menghubungi Rey!" pekik Sheril.
"Eh, tapi, jangan-jangan, Alnonim itu Rey? Tapi hubungi saja dulu, dari suaranya agak beda," gumam Sheril.
Ia mencari nama Rey di akun Talkway, lalu menelponnya. Sambungan telepon berdengung, Sheril menunggu sambungan teleponnya diangkat.
"Halo, Sher!" ucap suara di ujung telepon. Sheril terdiam, ia mengingat-ingat suara Anon dan membandingkannya dengan suara Rey.
"Um, Rey. Apa kamu sudah pulang. Maaf, aku cari kosannya sendirian."
"Tidak apa-apa. Aku baru mau pulang, kok."
"Um. Tapi, aku mau minta bantuan, boleh?"
"Boleh," ucap Rey di ujung telepon. "Tapi aku mau pulang dulu, aku kabari nanti setelah pulang."
"Oh, ok. Makasih, ya, Rey!"
Tut.
Sambungan telepon terputus. Sheril tersenyum girang. Ia mulai mencatat barang yang akan dibeli untuk keperluannya di kosan.
"Aku harus sedia makanan juga." Sheril berjalan ke arah dapur. Di dapur, sudah ada beberapa barang yang sepertinya memang disediakan oleh pemilik kosan.
Dapur ini ukurannya kurang lebih satu setengah meter lebarnya. Sementara panjangnya dua meter. Sama seperti lebarnya kamar kosan ini. Lebar dua meter dengan panjang kurang lebih empat meter.
Di dapur, ada meja berbentuk 'L' yang terbuat dari keramik dan menyatu dengan dinding. Ada kompor listrik dengan satu tungku, wastafel di dekat pintu menuju ke kamar mandi. Ada lemari dinding di sisi kiri dari Sheril berada.
"Aku tinggal beli peralatan lainnya kalau begini," gumam Sheril. Ia melihat list daftar belanjaannya di ponsel. Jarinya dengan lincah kembali menari di atas tuts keypad, memperbaharui list barang yang akan ia beli.
"Sekarang mending pulang dulu, deh? Atau belanja dulu? Ah, bingung," gumamnya. Ia mengecek ponsel, tidak ada pesan dari siapapun.
Sheril memutuskan keluar dari kamarnya, sebelum pergi ia mengunci pintu. Lalu, Sheril berjalan meniti tangga. Ia berpikir untuk membeli kain pel dan sapu terlebih dahulu untuk pindahan nanti.
Ponsel di saku roknya bergetar, Sheril merogoh saku rok untuk mengambil ponsel. Pesan masuk dari Vero di Minsta dan pesan dari Davin di Talkway.
[Kamu boleh izin satu hari, cari kosan dan pindahan itu tidak cukup setengah hari.]
Sheril segera membalas pesan dari Bosnya lebih dulu.
[Terima kasih, Pak Davin.]
Sheril beruntung memiliki Bos yang baik seperti Davin. Ia menghela napas lega sambil berjalan menuju halte bus.
[Kamu di mana?]
Itulah pesan dari Vero.
[Di halte bus dekat sevenmart, kenapa?]
[Aku ke sana!]
Sheril mengerutkan kening. Lalu, ia kembali mengetik pesan balasan.
[Tidak usah, aku akan diantar Rey. Lagipula kamu kerja, kan? Aku tak mau mengganggu waktumu.]
Vero yang sudah berjalan ke arah halte bus itu, melihat pesan yang diberikan Sheril. Di tangannya ia membawa kantong plastik hitam berisi makanan.
"Siapa yang mengganggu waktu kerjaku?" tanya Vero sambil menghampiri. Ia menyodorkan kantong plastik yang dibawanya ke hadapan Sheril. Sheril mendongak dan menatap Vero penuh tanya.
"Kamu pasti belum sarapan, kan? Ini makanan untukmu!" ucap Vero.
Deg.
'Kok Vero tau?' Sheril bertanya-tanya dalam hatinya.
"Makasih!"
"Aku balik kerja dulu," ucap Vero.
Sheril menghela napas lega, ia mengira Vero akan mengantarnya dan bersikukuh, nyatanya tidak.
"Makasih makanannya!" teriak Sheril lagi, seolah ia belum cukup untuk berterima kasih atas kebaikan Vero.
Vero yang sudah berjalan lima belas langkah itu menoleh. Ia tersenyum sambil memberi kode untuk terus semangat.
Sheril mengangguk, sambil tersenyum penuh semangat.
Drrtt.
Ponsel Sheril kembali bergetar. Saat ia mengeceknya, sebuah nama meneleponnya dari aplikasi Talkway.
"Hallo, Rey?"
"Kamu di mana?"
"Masih di halte bus dekat sevenmart."
"Aku ke sana."
Tut.
Sambungan telepon kembali terputus. Sheril memasukan ponselnya ke dalam saku rok. Ia membuka kantong plastik pemberian Vero. Ada roti selai kacang dan coklat, lalu susu kotak rasa melon.
Sheril tersenyum. Meski makannya sederhana, ia merasa bahwa ini pemberian spesial.
'Dia sampai tahu roti dan susu kesukaanku? Apa jangan-jangan dia kepoin terus pas aku sarapan.' Wajah Sheril berubah bete. Meski begitu, ia mulai membuka bungkus roti dan melahapnya. Ia baru menyadari kalau perutnya sudah perih karena sejak pagi belum diisi, bukannya sarapan makanan malah sarapan gosip.
Sheril mendengkus kesal. 'Pokoknya, meski dilarang, aku tetap mau ngekos!' Batinnya menyemangati diri sendiri. Ia bersikeras ingin ngekos bukan karena jarak yang jauh, melainkan tempat yang tidak nyaman. Sheril pikir, kalau ia di rumah sendiri akan bebas untuk makan dan istirahat.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam menepi tepat di depan Sheril. Seketika Sheril menatap curiga ke arah mobil itu. Saat kaca mobil diturunkan, Sheril baru mengenali kalau itu Rey.
"Ayo, berangkat!"
"Loh, kok bawa mobil?"
"Katanya mau pindahan?"
"Ah, iya, deh. Antar aku belanja, ya. Nggak apa-apa, kan?"
"Iya. Kamu duduk di depan aja!" titah Rey.
Sheril memasuki mobil, dan duduk di kursi depan. Sheril melanjutkan makan saat mobil melaju ke arah pusat perbelanjaan.
"Kamu belum sarapan?"
"Huum. Ini Vero yang kasih," jawab Sheril dengan mulut penuh roti.
"Mau beli apa aja? Nanti aku bantu."
"Rice cooker, tempat air minum, piring sama gelas, sekalian sendok. Kain pel, vacuum cleaner, wajan, susuk, panci, apalagi ya, lupa," gumam Sheril sambil merogoh ponsel di saku roknya.
"Itu semua yang diperlukan?" tanya Rey memastikan. Matanya masih fokus ke jalan raya saat ia bertanya.
"Huum."
"Kenapa milih ngekos, Sher?" tanya Rey tiba-tiba.
"Nggak betah serumah sama kakak ipar," gumam Sheril. "Ya, biar dekat juga sih."
Sesampainya mereka di pusat perbelanjaan, Rey memarkir mobil di tempat parkir bawah tanah. Setelah mobil terparkir, mereka keluar dari mobil.
Selama belanja, Rey membantu Sheril membawa dan memilih barang. Troli yang mereka gunakan kini penuh dengan barang yang menurut Sheril wajib ada.
"Hah, nggak sia-sia nabung selama kerja," gumam Sheril setelah selesai membayar belanjaannya.
"Maaf, ya. Kamu direpotin terus. Padahal kamu belum istirahat."
"Aku bisa istirahat setelah mengantar barang-barang ini."
"Benar juga, sekali lagi, makasih ya, Rey!"
Keduanya membawa troli ke dekat mobil, lalu membereskan belanjaan Sheril ke dalam mobil, semua itu Rey yang melakukannya, hingga menyimpan Troli ke tempat penyimpanan pun Rey yang melakukannya juga.
"Serius ini jalan gang menuju kosanmu?" tanya Rey saat mobilnya belok ke arah yang ditunjukan Sheril. Jalan gang itu cukup untuk keluar masuk mobil kecil dan beberapa sepeda motor.
"Yups. Itu kosannya udah kelihatan!" seru Sheril.
"Kok bisa kamu milih kosan ini? Ini kan tempat kosku juga," tanya Rey. Keduanya masih di dalam mobil.
Sheril menoleh sambil mengerutkan kening. 'Tempat kos, Rey?' batinnya bertanya-tanya. Lalu, ia memikirkan segala kemungkinan dan menebak bahwa Rey adalah Alnonim yang sebenarnya. Kalau bukan Rey, kenapa Alnonim bisa memberikan alamat dengan detail kepada Sheril?

Kali ini Sheril yakin dengan tebakannya.
"Kan deket ke tempat kerja. Um, bagus juga kan kalau kita satu gedung?"
Rey terdiam, lalu ia memalingkan wajah. "Terlalu bahaya!" gumamnya. Lalu Rey membuka pintu dan keluar lebih dulu.
"Bahaya?" tanya Sheril pada Rey dengan wajah kebingungan.

Comentário do Livro (824)

  • avatar
    Carlos Santaro

    best plot story ever

    09/05/2022

      0
  • avatar
    zunzun

    penasaran bangetttt sama ceritanya.. tiap hari selalu cek apa udah update belum.. secepatnya mungkin ya.. soalnya bikin penasaran banget sama ceritanya sheril.. 😍😍🥰🥰

    28/12/2021

      1
  • avatar
    MimiAzli

    sorg pmpn yg jomblo..disukai tiga pria.

    27/07/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes