logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

5. Bobby Mulai Penasaran

Bobby masih juga tak percaya dengan foto-foto yang dilihatnya setiap hari. Benarkah itu Arina yang ia bully habis-habisan dulu? Bobby masih tak habis pikir. Setahun lamanya ia tak pernah lagi bertemu Arina.
Tak ada yang tahu nasib seseorang seperti apa. Jika Arina giat bekerja dan sudah berpenghasilan, berbanding terbalik dengan Bobby yang belum punya pekerjaan tetap. Bobby lebih sering menghabiskan waktu di bengkel kecil milik Pamannya. Jika bengkelnya sepi, Bobby hanya berdiam diri di rumah. Jika ramai, Bobby akan membantu mengerjakan sesuatu di bengkel. Setelah itu, ia akan keluar menghamburkan uang yang didapat untuk hal-hal yang tidak penting.
"Bob, kamu itu jangan suka keluyuran nggak jelas. Kasihan orang tuamu. Kalau selesai bantuin Paman, uangnya bisa kamu tabung. Kamu juga bisa bantu Mbakmu di warung mie ayamnya sambil nunggu panggilan kerja," ujar Pamannya Bobby kala itu.
Bukannya menurut, Bobby justru kesal dan meninggalkan Pamannya. Bobby tak mungkin membantu Kakaknya berdagang mie ayam. Ia akan malu. Bagaimana jika teman-temannya tahu? Bobby lebih memilih nganggur daripada harus berjualan mie ayam.
****
Saat ini, wanita yang dulu dibully oleh Bobby telah menikmati hidupnya. Ia menikmati hasil dari kerja kerasnya walau masih tak seberapa. Masih banyak lagi rencana Arina kedepannya.
"Kak, aku juga ingin punya HP sendiri," bujuk Era pada Arina.
"Aku juga kepingin seperti teman-teman. Bisa melakukan panggilan video dan berbagi foto," tambahnya lagi.
"Iya. Sabar, ya? Kamu bantuin Kakak nabung, dong!" pinta Arina pada adik manisnya itu.
"Caranya?"
"Jajannya dikurangin. Uangnya ditabung setiap hari. Kalau ada uang tambahan dari Bapak, Ibu atau Kakak, ditabung juga. Kita hitung nanti kalau sudah tiga bulan sambil ditambah uang dari Kakak." Arina sengaja ingin mengajari Era menabung agar ia terbiasa nantinya.
"Lama banget, Kak, tiga bulan." Era memanyunkan bibirnya.
"Kalau ingin sesuatu itu nggak bisa dengan cara instant. Seperti Kakak, kalau ingin sesuatu harus bekerja dulu ngumpulin uangnya. Kalau kamu dan Ellly kan, masih sekolah. Kalau ingin sesuatu, harus menabung dulu dari uang jajan yang udah diberi sama Bapak dan Ibu," ujar Arina menasihati.
"Iya, Kak. Era akan belajar menabung."
"Elly juga mau HP, Kak," sahut Elly yang tiba-tiba datang sambil berlari.
"Nanti Elly pinjam Kak Era. Elly masih kecil." Arina mencubit gemas pipi adik bungsunya itu.
"Elly mau main game kalau Kak Era sudah punya HP. Seperti Vania main game seru di HPnya." ujarnya dengan polos. Vania adalah anak tetangga sebelah. Mereka seumuran dan sering bermain bersama.
"Buat belajar, El. HP bukan untuk game saja. Elly bisa belajar banyak hal kalau menggunakannya dengan benar," ujar Arina sambil mengelus rambut Elly.
Hari ini Arina libur. Setelah selesai membereskan pekerjaan rumah dan membantu Bu Anna berjualan, ia menghabiskan waktu di rumah dengan bersantai.
"Arina, sini!" panggil Bu Anna dari depan.
"Iya, Bu?" Arina terkejut melihat siapa yang dihadapannya.
"Mbak Fina?"
"Siapa dia, Nduk?" bisik Bu Anna penasaran.
"Ini Mbak Fina atasan aku di pabrik, Bu. Anaknya pemilik pabrik," bisiknya pada Bu Anna yang sedikit terdengar oleh Fina. Fina hanya mengangguk tersenyum.
"Mari, Mbak Fina masuk dulu," lanjutnya.
"Iya. Terima kasih. Kebetulan saya tadi lewat sini dan melihat banyak sekali aneka makanan disini jadi saya berhenti dan saya ingat-ingat, saya juga pernah lihat kamu masuk ke rumah ini. Saya tanya sama Ibu kamu tadi untuk memastikan. Ternyata benar rumah kamu disini," jelas Fina.
"Masuk dulu, Nak Fina." Bu Anna mempersilahkan Fina untuk masuk.
Mereka mengobrol santai sambil menikmati hidangan dari Bu Anna. Berbagai macam kue tradisional tersaji di hadapan mereka.
"Cantik dan masih muda, ya?"
"Murah senyum. Cantik banget, pokoknya." Bu Anna tak henti-hentinya memuji Fina.
Fina tersipu malu mendengar pujian Bu Anna.
"Ibu juga cantik. Awet muda pula," balasnya yang membuat Bu Anna salah tingkah.
"Oh iya, Arina. Hari ini sibuk apa?"
"Di rumah aja, Mbak."
"Temani saya, mau?"
"Kemana, Mbak?"
"Ya.. jalan-jalan aja."
"Boleh, ya, Bu? Sebentar saja, kok," bujuk Fina pada Bu Anna.
"Boleh."
"Terima kasih. Oh iya, pesanan saya tadi dibungkus sekarang saja, Bu, dan totalnya berapa?"
Fina membeli banyak sekali makanan. Bahkan diborong semuanya. Mulai dari aneka kue sampai masakan. Totalnya seratus lima puluh ribu. Fina memberi dua lembar uang berwarna merah dan menolak kembaliannya. Bu Anna sempat tidak mau karena kembaliannya cukup banyak. Tapi, dengan segala bujuk rayu Fina akhirnya Bu Anna menerima uang itu.
****
"Kita mau ke pabrik, Mbak?" tanya Arina ketika Fina membelokkan mobilnya ke arah pabrik.
"Iya, mau antar makanan ini sebentar. Kebetulan hari ini ada jadwal tambahan pengiriman," ujarnya.
Setelah selesai mengantar sebagian makanan, Fina mengajak Arina menuju rumahnya. Arina sangat takjub ketika memasuki perumahan elit.
"Wah, besar-besar rumahnya, Mbak," ujar Arina kagum.
"Pernah kesini, Rin?"
"Baru kali ini, Mbak."
"Kita mau kemana ini, Mbak? tanyanya lagi.
"Ke rumahku dulu, Rin. Ini mau naruh makanan biar di makan sama orang rumah."
"Ada siapa aja di rumahnya Mbak Fina?"
"Ada Papa, Bi Lasti, Bi Surti, Mbak Tanti, Pak Ilham, Pak Muklis, Pak Darmaji."
"Selain Pak Broto, mereka siapanya Mbak Fina?
"Mereka yang kerja di rumah, Rin. Ada yang memasak, membersihkan rumah, supir, dan keamanan."
Mobil Fina berhenti tepat di depan rumah megah bernuansa rose gold.
"Wah, ini rumahnya Mbak Fina?"
"Iya, ayo turun. Ketemu Papa."
Selama bekerja di pabrik, Arina hanya empat kali saja bertemu Pak Broto. Ia memang orang yang sangat sibuk.
"Ketemu Pak Broto? Em.." Arina takut dan ragu. Ia takut lantaran pergi bersama putri kesayangan Pak Broto. Ia takut Pak Broto akan memarahinya.
"Nggak apa-apa. Ayo!"
"Ta—ta.."
Fina menarik tangan Arina. Fina mengatakan pada Arina agar ia tak gugup. Fina meyakinkan jika Papanya adalah orang baik. Di pabrik memang terlihat cuek, tapi orangnya sangat baik.
Arina duduk di ruang tamu menunggu Fina yang sedang ke belakang. Tak lama, akhirnya Pak Broto menuju ruang tamu bersama Fina. Sontak, Arina berdiri.
"Duduk aja. Nggak usah sungkan," ucap Pak Broto ketika melihat Arina tiba-tiba berdiri.
"Kamu ini di rumah saya. Bukan sedang di pabrik saya. Jangan kaku-kaku," imbuhnya lagi.
Arina hanya mengangguk kemudian duduk. Tangan dan kakinya bergetar. Baru kali ini ia duduk berhadapan langsung dengan Bos Besarnya. Bibirnya seakan terkunci, tak mampu berucap apapun.
"Kamu yang namanya Arina?" tanya Pak Broto.
"Iya, Pak. Saya Arina," ucapnya pelan dengan bibir bergetar.
"Saya sudah mendengar banyak hal tentang kamu. Teruskan kerja kerasmu agar kamu bisa mendapatkan lebih dari yang sekarang."
Arina masih mencermati kalimat Pak Broto sambil mengangguk-anggukkan kepala. Fina nampak tersenyum dan mengedipkan mata kepada Papanya.
"Pa, Fina mau keluar dulu sama Arina. Buru-buru, nih." izinnya.
"Iya. Hati-hati."
****
Fina mengajak Arina ke klinik kecantikan langganannya.
"Mbak Fina mau perawatan?"
"Iya. Kamu juga. Ayo kita hilangin bekas jerawat kamu," ajak Fina.
"Nggak, Mbak. Saya nggak bawa dompet kesini."
"Saya yang bayar."
"Nggak, Mbak. Kalau tahu orang pabrik gimana? Pasti jadi bahan pembicaraan."
"Ayo!" Fina mengabaikan ucapan Arina. Ia menggiring Arina untuk masuk dan mengambil nomer antrian.
Tidak masalah jika orang pabrik tahu hal ini. Fina sering mendengar para pekerjanya itu membicarakan hal buruk tentang Arina. Saat Fina mengawasi sendiri keseharian Arina di pabrik, ternyata semua itu salah. Mereka hanya tak mau tersaingi dengan pekerja baru. Sempat juga beredar bahwa Arina sering membawa pulang produk perawatan kulit. Nyatanya, itu salah besar. Fina telah memeriksa dan menyelediki hal itu. Arina justru sangat tenang ketika dituduh seperti itu karena ia merasa tak melakukan hal buruk itu.
Jika itu terjadi pada pekerja lain, biasanya akan terjadi keribut dan salah satunya akan berhenti bekerja karena tak betah dicibir terus menerus. Memang begitulah dunia kerja. Harus tebal hati dan tutup telinga.
****
Arina terlihat lebih segar setelah mendapat perawatan. Tinggal beberapa langkah lagi bekas jerawat yang berlubang itu akan menjelma menjadi kulit yang mulus. Arina akan datang ke klinik kecantikan itu sendiri di lain waktu. Ia tak mau dibayarkan lagi oleh Fina. Arina merasa sangat tak enak hati. Fina terlalu baik bagi dirinya.
Arina mengintip sedikit nota yang dibawa Fina. Ia terkejut bukan main ketika melihat harga perawatan yang dibayarkan oleh Fina. Ia tak menyangka jika mencapai jutaan rupiah.
"Mbak, habis berapa? Nanti saya ganti."
"Apanya? Udahlah. Anggap ini hadiah dari saya untuk kamu. Kamu bekerja sangat baik di pabrik Papa. Kamu pekerja yang setia dan nggak neko-neko."
"Tapi nanti kalau orang-orang tahu, gimana?" tanya Arina ragu.
"Ngapain sih, takut sama orang-orang di pabrik? Mereka juga sama pekerja seperti kamu. Saya harap kamu betah kerja bareng saya. Susah sekali nemuin pekerja yang jujur kayak kamu. Dulu pernah ada satu orang jujur seperti kamu tapi, ia berhenti karena usai melahirkan, ia mengurus anak seorang diri," jelas Fina panjang lebar.
Arina manggut-manggut mendengar penjelasan Fina.
Drt..!
[Rin, minggu depan ada reuni kelas. Kamu ikut, nggak? Di grup lagi rame bahas reuni.] pesan dari Tia membuat Arina penasaran.
[Nggak tahu, lihat nanti.] Arina membalas dengan segera dan meletakkan ponselnya kembali.
"Dicariin Ibu?" tanya Fina.
"Enggak, Mbak. Ini dari temen mau ngajak reuni kelas."
"Wah, seru tuh! Saya dulu nggak pernah absen saat reuni kelas."
Arina hanya tersenyum mendengar pernyataan Fina. Jika hadir, mungkin Arina akan jadi bahan olok-olokan lagi.
****
Sementara, Bobby mendesak Tia agar mau membujuk Arina. Bobby masih penasaran dengan Arina yang sekarang. Memang, semakin hari Arina terlihat semakin langsing. Kulitnya juga berangsur cerah. Sempat Bobby mengomentari foto Arina menggunakan akun palsu. Ia mengejek Arina jika cantik melalui filter saja. Bobby melakukan itu agar Arina dijauhi semua teman dan pengikutnya. Tapi, justru Bobby yang mendapat serangan dari pengikut Arina di sebuah aplikasi berfoto itu.
"Bagaimanapun caranya, Arina harus hadir," hardiknya pada Daffa.
"Lah? Gimana? Si Tia udah kamu kasih tahu?"
"Udah. Nggak ada respon."
"Kenapa sih, ngebet banget pingin ketemu Arina. Suka, ya?" goda Rio pada Bobby.
"Amit-amit suka sama gentong," gerutu Bobby kesal.
"Tapi Arina beneran berubah. Bukan gentong lagi. Semua itu karena ada duit, Bro!" timpal Daffa.
"Oke. Kita buktikan di reuni kelas nanti. Kalau benar dia berubah—" ucapan Bobby terpotong.
"Kenapa? Mau nembak dia?" tanya Rio dengan tawa yang keras.
"Ogah! Kalau dia tetep kucel, aku akan bully dia habis-habisan. Mungkin dia cuma cari sensasi aja," ucap Bobby geram.
"Kenapa kamu benci banget sama dia? Dia pernah ada salah sama kamu?" tanya Daffa penasaran apa yang membuat sahabtnya sebenci itu pada Arina.
"Geli aja lihat penampilannya yang kucel dan kumel itu."
"Hati-hati naksir setelah ketemu nanti," ujar Daffa memperingati.
"Bilang gitu lagi, aku hajar kamu! Pokoknya bikin si Arina hadir dalam reuni nanti!" tegas Bobby pada kedua sahabatnya itu.

Comentário do Livro (347)

  • avatar
    CuteAulia

    fina sangat amat baik

    12/06

      0
  • avatar
    MaulidtaLutfi

    suka sama ceritanya seru nyambung dari awal smpe akhir👍

    29/05

      0
  • avatar
    TariganOktania

    ceritanya seru sekali seperti jaman saya masih SMP

    28/04

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes