logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Keberanian Berujung Petaka

Diperjalanan, keheningan mendominasi. Iren yang masih terlihat tak ingin memulai obrolan apapun membuat Malik mengunci mulutnya pula.
Kali saja, nantinya bila ia salah bicara, gadis itu bisa semakin marah padanya. Pria itu sedang memasang mode waspada, ia sungguh tidak ingin Iren marah padanya.
Bukan niat Malik membuat keduanya merasa semakin terlihat canggung. Karena yang sebenarnya, ia hanya menuruti perasaannya belaka.
Ada hal yang menganggu pikirannya tatkala waktu jam kuliah berakhir. Terus menerus, mengusik hatinya. Seperti sesuatu yang tak biasa akan terjadi begitu saja, menimpa Iren dan membuatnya berada di dalam bahaya.
Walau memang benar, Malik tidak bisa memastikan apa yang ia rasakan itu kebenarannya atau bukan. Dirinya bukan Yang MahaKuasa yang tau akan segalanya. Sebab hal itu tak bisa dibuktikan sebelum ia benar-benar memastikan Iren sampai ke rumahnya dengan selamat, melindunginya dari segala perasaan buruk yang menggandrunginya sejak tadi.
“Lo ... Enggak mau mampir kemanapun, Ire?” tanya Malik, masih mengayuh sepedahnya.
Gerakannya santai karena jujur saja berat badan Iren tak seberapa. Gadis mungil itu mempermudah pekerjaannya.
“Semisal ada tempat yang mau lo kunjungi, gua bisa antar lo kemanapun. Gua siap buat bawa lo ke semua tempat yang lo mau.” alih-alih melontarkan kalimat berbasa-basi agar Iren setidaknya buka suara barang sepatah saja, rupanya usaha Malik masih sia-sia. Iren tak menjawab apapun.
Selang beberapa detik, karena Malik mendesah pelan, Iren terlihat berujar dengan terbata.
“Lo pokus aja bawa sepedahnya yang bener. Gue gak mau kemanapun. Jadi gak perlu repot-repot antar gue, karena gue cuma mau pulang.”
Malik melirik ke arah kaca spion sepeda yang manis tersebut. Ia bisa melihat Iren menikmati sore mereka. Ya, setidaknya untuk Malik hal tersebut sudah lebih dari cukup. Akan tetapi, tetiba-tiba saja Iren menepuk pundaknya. Membuat Malik terperanjat kaget dan menarik rem dengan spontan.
Gadis yang rupanya melihat seseorang di taman —tepat di jalan yang mereka lawati— segera menepuk pundah Malik agar menghentikan sepedanya, “Kenapa Ire?” tanya Malik setelahnya.
Pria itu tentu saja penasaran apa yang membuat Iren sampai harus membuatnya berhenti begitu saja.
“Lo liat orang itu, gak?” tunjuknya pada kedua orang yang tengah cekcok dan berselisih paham.
“Mereka, kayanya mereka lagi bertengkar, Lik!”
Seorang pria yang seumuran tak jauh dengan usia Malik dan Iren sedang menarik paksa lengan perempuan di dekatnya. Hal tersebut disaksikan oleh mereka berdua dari kejauhan. Malik yang mendapatkan instruksi dari Iren memutuskan untuk berhenti dan menghampiri keduanya. Sejujurnya, Irenlah yang bersikeras untuk menemui keduanya.
“Mau apasih, Ire? Kita kan gak tau permasalahan mereka.” Malik mencegah Iren untuk ikut campur lebih dalam.
“Mending kita pulang aja, ya? Sekarang, banyak modus penipuan yang orang lain lakuin dengan cara apa aja.” imbuhnya kembali.
“Gua gak mau lo kenapa-napa. Di sini, lo tanggung jawab gua, Ire.” pria tampan bertubuh tinggi dengan jaket hitam yang melapisi kaos putih polosnya itu dengan sungguh mengatakan kekhawatirannya.
Pernyataan itu membuat sesuatu terasa begitu hangat di hati Iren. Akan tetapi ia mencoba untuk terlihat normal dan biasa saja. Meskipun yang sebenarnya Iren merasa jantungnya tak bisa tenang mengetahui kecemasan yang Malik perlihatkan, “Lepasin gue kalau lo gak mau ikut bantuin cewe itu. Gue bisa bantu sendiri, lagian gue juga gak maksa lo buat ikut campur apa yang mau gue lakuin, kan?”
“Ire, tapi!”
“Tapi apa, Malik? Apa gue salah? Apa menurut lo gue salah? Terus lo bakal diem aja? Gimana kalau perempuan itu butuh pertolongan? Lo bakal diem aja? Dimana hati dan nurani lo Malik, hah?” Iren memakinya dengan melontarkan rentetan kata-kata yang membuat pria itu diam.
“Kalau Ibu lo, sodara perempuan lo, yang dalam bahaya dan orang lain bilang ‘udah, biarin aja. Kita gak perlu ikut campur, itu bukan masalah kita’ apa yang bakal lo lakuin?”
“Malik, di dunia ini kita gak perlu jadi pahlawan, tapi kita perlu membantu yang bisa kita bantu.” penjelasan sepanjang itu diberikan oleh Ire sembari terus menatap wajah Malik Naviendra tegas.
Malik masih diam, ia menatap dalam ke bola mata indah milik Iren yang juga ikut menatapnya, “Ire, bukan itu maksud gua. Dengerin —” belum sempat Malik menyelesaikan kalimatnya, Iren melenggang pergi begitu saja.
“Ire, tunggu!”
Setelah mengatakan semua hal tersebut, Iren berlari menghampiri kedua orang yang masih berdebat, tak menghiraukan kembali apa yang coba Malik katakan.
Ia datang dan langsung menarik lengan perempuan yang sedari tadi terlihat ditekan, “Kamu gak papa?” ujarnya lembut. Memastikan bahwa tidak ada luka serius yang nampak di perempuan tersebut.
Sementara di sisi lain, pria yang terlihat menatap tak suka ke arah Iren mendelik tajam, “Lo siapa?” tukasnya bertanya. Gayanya begitu menunjukkan bahwa ia tak nyaman dengan keberadaan gadis asing ini diantara perdebatan dirinya dan perempuan yang sejak tadi bersama dengannya.
Ire yang mendapati pertanyaan tersebut bangkit, “Lo bisa gak, gak usah kasar ke perempuan? Kalau dia gak mau, ya jangan dipaksa!” teriaknya, kemudian.
Iren bisa menyimpulkan, perempuan ini pasti dipaksa untuk mengikuti apa yang pria ini inginkan. Sungguh kejahatan yang tak dapat dimaafkan dan diampuni begitu saja.
Ah, ya. Sedikit informasi, ia juga melihat pertengkaran ini di dalam mimpinya.
Tepat tatkala bersama dengan Malik yang terjebak di ruang kelas berdua. Ditinggal begitu saja. Karena itu, gadis ini tahu persis apa yang sedang kedua orang ini permasalahkan.
Siapa yang berniat jahat, dan siapa yang membutuhkan pertolongan.
Pria yang Iren bentak sebelumnya itu menarik sebuah seringai.
“Lo gak usah ikut campur deh. Mending lo pergi dari sini, dan tinggalin kami seolah gak tahu apapun yang terjadi. Atau lo akan menyesal, nantinya.” pria yang berlagak bak seorang preman itu terus memperingati.
“Perempuan yang ada di belakang lo, enggak sebaik yang lo kira.” pria itu berkata dengan suara serak khas yang terdengar dingin dan tak suka.
“Jadi gak perlu lo repot-repot buat bantuin dia kalau lo gak mau celaka.” pesannya, terus menatap Iren dengan intens.
Iren yang semula diam kemudian tertawa renyah, “Lo pikir gue bakalan percaya sama apa yang barusan lo omongin? Perempuan lemah dan lugu yang lo tindas dan paksa gitu aja, gue bakal percaya kalau dia penjahat sebenarnya?” balik menyudutkan, Iren terus mengata-ngatai pria yang ia lihat sangat kejam dengan perempuan di belakangnya itu.
Di dalam mimpinya, ia memperlakukan perempuan lemah lembut tersebut bak binatang, “Dunia juga tau, yang pegang senjata, adalah sang pembunuh. Bukan yang tergeletak di lantai!”

Comentário do Livro (320)

  • avatar
    ForusKristo

    cerita dari novel ini menarik dan dapat memberikan kita pelatihan dalam penggunaan bahasa yang baik dalam penulisan kalimat. sehingga kita dapat menjadi fase dalam penggunaan kalimat yang baik.

    06/01/2022

      0
  • avatar
    Hemik Radjawane Verhagen

    cerita nya bagus sekali

    12d

      0
  • avatar

    cerita yg sangat unik,seru untuk dibaca👍🏻

    14/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes