logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

6. Keluarga Baru

"Sama darah tak menjamin bisa berjalan searah, buktinya saja aku hidup terpisah dengan orang yang yang telah melahirkan ku di dunia!"
—Raina—
"Mari masuk kerumah yang kau impikan, aku akan bersikap seperti ayah dan abangmu. Ibu akan menjadi ibu kandungmu dan hafiz akan menjadi adik kecilmu. Walaupun sederhana, aku akan berusaha menuntunku dari jeratan depresimu yang kelam."
—Deren—
.
.
.
.
.
.
Happy Reading!
Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku tidak mengucapkan terimakasih kepada Dhuha, kenapa sikapku justru menolak bantuannya. Jawabannya cuma satu, aku tidak ingin terlibat apapun yang membuat hidupku semakin kacau.
Aku tahu manusia pasti akan terlibat dengan urusan timbal-balik, dimana kalau kita membantu seseorang maka dilain hari orang itu akan membalas kita lebih. Membuat hubungan semakin erat lalu timbul rasa percaya, tapi lama kelamaan ia memilih pergi.
Aku tak mau terlibat dalam hal seperti itu lagi, cukup dulu aku tak mau kejadian itu terulang kembali. Jika yang bersangkutan denganku adalah orang yang sama-sama menderita sepertiku, mungkin aku akan bersikap sedikit percaya kepadanya.
Sejak saat itu aku tak ingin menaruh rasa percaya pada siapapun, aku tak ingin menerima belaskasihan ataupun lainnya. Cukuplah rasa sakitnya masih membekas sampai sekarang.
"Seperti biasa?" Tanya Deren, saat aku baru saja mengambil tempat duduk di hadapannya. Aku hanya mengangguk sembari mengeluarkan handphone disaku celanaku. Di sana terdapat banyak notifikasi pesan dan telpon dari Dhuha. Sebenarnya ada apa dengan laki-laki itu, kenapa dia bersikap sok peduli kepadanya.
Deren dengan cekatan menuangkan minuman beralkohol itu kepada ku. "Sepertinya Minggu ini cukup berat buat Lo, biasanya Lo main kesini seminggu sekali. Tapi udah tiga kali dalam seminggu ini Lo main ke sini." Tanya Deren sambil menuangkan minuman kepada pelanggannya yang lain. Setelah selesai Deren mengambil tempat duduk di hadapanku.
Aku memutar bola mata malas, lalu kembali mengisi gelas ku dengan minuman beralkohol itu lagi, "ngak ada orang yang baik-baik aja, jadi wajar dong gue kesini buat refreshing barang sejenak." Sambil meneguk minuman itu sampai tandas.
"Cara Lo yang ngak wajar, Lo masih kecil ngak baik main ketempat yang beginian. Kalau Lo marah, kesel, kecewa larinya jangan kesini. Lo punya Tuhan, kenapa ngak lari ke sana aja, lebih aman."
"Gue udah besar ya, buktinya gue bisa masuk ketempat kayak gini." Ujar Raina dengan senyum miringnya. "Terus apa jadinya Lo yang kerja disini goblok! Cari nafkah ditempat beginian." Lanjut Raina sambil menertawai perkataan Deren barusan.
"Pletak,"
"Anjirr, sakit woyy!" Teriak Raina sambil mengelus puncak kepalanya.
"Itu mulut bisa direm sedikit ngak si?" Deren menatap wajah Raina kesal, pasalnya dia cukup tersindir dengan perkataan anak itu barusan.
"Lah, ini mulut-mulut gue kenapa Lo yang sewot!" Ujar Raina tak kalah sewot. Ia menatap wajah Deren lalu menjulurkan lidahnya, yang membuat Deren tertawa tak habis pikir dengan tingkah gadis didepannya.
"Gue juga ngak mau kerja disini kali, kalau gue bisa minta sama Tuhan gue maunya kerja di kantor. Tapi ya mau gimana lagi adik gue masih sekolah, bokap gue pergi terus ibu gue sering sakit-sakitan. Cari kerja ngak semudah yang Lo bayangkan, mangkanya gue jalanin aja kerja disini. Nanti kalau tabungan gue udah cukup, baru gue buka usaha sendiri." Jelas Deren sambil menuangkan minuman dicangkirku.
"Andai Abang gue kayak Lo, gue bakalan berterima kasih banget sama Tuhan. Gue ngak bakalan masuk ketempat kayak ginian, gue bakalan tetap dirumah walaupun ditengah keterbatasan ekonomi." Ujar Raina sendu.
Deren, lelaki 24 tahun yang selalu menasehatinya selama tiga tahun terakhir di club malam ini. Sampai-sampai dia hafal jadwal kunjunganku ketempat terkutuk ini. Deren adalah tempat yang selalu menampung berbagai keluhan ku, ia sudah seperti Abang kandungku walaupun kami berbeda rahim.
Mungkin karena kesamaan nasib kami dipertemukan ditempat ini, seperti kata-kata yang pernah kubaca disalah satu platform media sosial di handphone ku, 'Bahwa manusia akan belajar saling memahami jika ia merasakan penderitaan yang sama seperti yang kita alami.' Karena itu aku sedikit mulai mempercayai Deren. Tapi disatu sisi aku bersyukur dan disatu sisinya aku takut, takut jika nanti Deren bakalan pergi seperti kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Bukannya selama ini gue udah jadi Abang Lo ya? Atau cuma gue aja yang menganggap Lo adik gue?" Tanya Deren sambil menatap Raina.
Yang ditatap malah kebingungan, "jadi gue boleh manggil Lo ... Abang?" Ujar Raina dengan suara yang sedikit gemetar. Ia takut nanti semuanya hanyalah ilusi semata. Tanpa sadar air mata Raina jatuh, "gue ngak sedang mabuk kan? Beneran gue bisa panggil Lo ... Abang?" Tanya Raina memastikan.
"Pletak," Deren menjitak kepala Raina kembali.
"Sakit ngak?" Tanya Deren yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Raina.
"Ini beneran Raina! Kok otak Lo jadi lemot saat Lo udah jadi adik gue. Tolonglah jangan buat gue nyesel jadi Abang Lo!" Ujar Deren sambil melipat kedua tangannya di dada sambil menaikan alisnya.
Raina tersenyum lalu berlari memasuki meja tempat Deren berdiri saat ini. Raina memeluk tubuh Deren erat, seperti sedang memeluk saudara kandungnya saat ini. Mulai sekarang dan seterusnya Deren adalah keluarganya dan ia tidak perlu memakai topeng apapun dihadapannya.
Satu kata untuk malam ini, senang. Raina sangat senang sampai-sampai melupakan semua rasa sakitnya yang lalu. Alkohol yang biasanya menjadi tempat pelariannya tak akan pernah memberikannya rasa bahagia seperti ini.
"Hey, gue ngak bisa nafas. Lo mau bikin Abang Lo mati ya?" Tanya Deren sambil menepuk dadanya setelah pelukan Raina terlepas.
Raina hanya tersenyum menunjukkan giginya yang rapi dan mengangkat tangannya pertanda dia tidak sengaja memeluk tubuh Deren dengan kuat.
"Hari ini Abang pulang cepat, mau ikut kerumah? Sekalian Abang kenalin sama ibu dan adik Abang."
"Mau!" Ujar Raina seperti seekor anjing penurut dihadapan Abangnya.
"Tunggu sebentar, Abang beres-beres dulu." Raina hanya mengangguk dan menunggu Deren selesai berkemas.
***********
Berhubung Raina membawa mobil, mereka pulang ke rumah Deren menggunakan mobil Raina. Sudah pertengahan jalan, Raina berpikiran untuk singgah di salah satu kedai sate dan sedikit membeli cemilan di Alfamart diseberang jalan.
"Lah kenapa berhenti?" Tanya Deren bingung.
"Mau beli makan buat ibu sama adik," jelas Raina dengan mata yang berbinar.
"Lah ngak usah repot-repot gitulah, nanti ibu sama adik keenakan." Ujar Deren sedikit cengengesan.
"Bukannya ibu dan adik kali bang, mungkin orang yang diseberang gue yang keenakan, iya ngak?" Goda Raina kepada Deren. Mendengar itu Deren langsung tertawa terbahak-bahak.
Sekarang Raina sedang di Alfamart sedangkan Deren bertugas membeli sate di seberangnya. Mungkin karena terlalu bersemangat Raina mengambil banyak cemilan dan minuman, Raina berfikir Adik Deren bisa makan cemilan itu sambil belajar nanti.
Setelah selesai membayar Raina keluar dengan tangan yang penuh dengan belanjaan hingga membuat Deren terkejut, "Gilak, Lo mau jualan atau gimana?"
"Ini untuk adik Lo bang!" Jelas Raina sambil meletakkan beberapa kantong besar cemilan di dalam mobil. Lalu kembali mengambil tempat duduk di kursi supir.
Mobil sport hitam milik Raina bergerak membelah jalanan malam ini, hingga tibalah mereka dirumah sederhana yang terletak tepat di hadapan lapangan sepak bola. Dengan langkah bersemangat, Raina berjalan dibelakang Deren.
Tangan Deren dengan pelan mengetuk pintu, "Assalamualaikum Bu, Deren pulang!"
Tak lama dari itu terdengar sara pintu terbuka, "waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, eh tumben kamu pulang cepat nak?" Tanya ibu Deren sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Deren.
Wajah ibu Deren tampak terkejut saat menyadari kehadiranku, "Kenalin Bu ini Raina, dia udah aku anggap sebagai adik kandungku sendiri Bu." Jelas Deren.
Raina tersenyum, lalu menyalimi tangan wanita tua dihadapannya saat ini, "Hai Bu, Saya Raina." Ibu Deren Tersenyum lalu mengajak kami masuk kedalam rumah.
"Hafiz, sini nak. Ada kejutan buat kamu!" Teriak ibu memanggil anak terakhirnya.
Dengan cepat Rizki keluar dengan tampilan kusut, anak kecil umur sepuluh tahun itu seperti habis berperang dengan pelajaran sekolahnya. Karena terbukti penanya masih bertengger ditelinga kecilnya.
"Hafiz belum tidur Bu? Tumben jam segini anak itu masih melek." Ujar Deren sambil menaruh beberapa piring di atas meja.
"Ada Pr matematika katanya, padahal udah dari selesai isya tadi dia berkutat sama bukunya."
"Ayo semuanya kumpul ke dapur," teriak ibu lagi.
Hafiz dengan badan kurusnya berlari cepat menuju ibunya lalu berbisik ke telinga ibu, "Ibu, kakak cantik itu kenapa ada dirumah kita?"
Ibu yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum, lalu menggosok kepala anak kecilnya dengan penuh kasih sayang.
"Kakak itu namanya Raina, sekarang dia udah jadi kakak perempuan kamu sayang," jelas ibu dengan lembut.
Setelah mendengar penjelasan ibunya, Hafiz langsung berjalan kearah Raina. Ia juga mengulurkan tangan kecilnya, "Halo kak Raina, aku Hafiz. Mulai sekarang aku adalah adik Kakak," tuturnya dengan tatapan lugunya.
"Halo Hafiz," Raina membalas uluran tangan kecil itu. "Kak Raina bawa hadiah lain Lo buat Hafiz."
"Benarkah?" Raina mengangguk lalu mengajak Hafiz melihat berbagai macam makanan yang kuberikan untuknya.
"Nanti kalau Hafiz lagi belajar, bisa nyemil makanan itu. Jangan lupa berbagi buat Abang dan ibu juga ya!"
"Siap, kakak!" Teriak Hafiz dengan semangat. Setelah itu kami berkumpul di meja makan lalu menyantap sate yang kami beli tadi.
Dimeja makan ini kami saling bercerita panjang lebar mulai dari pertemuanku dan Deren di klub dan terbentuknya menjadi sebuah keluarga tanpa ikatan darah. Kami juga saling bertukar candaan ditengah malam saat sebagian orang sedang terlelap dalam dunia mimpi.
Bahagia bukan tentang seberapa mewah rumah yang kita miliki atau seberapa banyak harta yang kita peroleh, bukan. Bahagia itu disaat kita bisa merasakan kehangatan dalam rumah, saling bertukar cerita hingga mengundang gelak tawa.
Terimakasih Ibu, Deren dan Hafiz. Berkat kalian aku bisa merasakan kehangatan dan kebahagian yang sempat tak mungkin kurasakan di dunia ini. Dan terimakasi telah melepaskan semua topeng yang pernah ku gunakan.
----------
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan Komennya 🙏
.
.
.
.

Comentário do Livro (454)

  • avatar
    MonicSulaiman

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    Posco

    lumayan buat aku sihh

    24d

      0
  • avatar
    SafitriSafitri

    Bagus

    14/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes