logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

RETAK

RETAK

ylkni_


1. Kepribadian yang Hilang

"Kebahagianku hilang saat juang hanya membuatku kalah dari setiap ujian yang diberikan oleh pencipta."
——Raina Zeana Kinan——
.
.
.
.
Happy Reading!
Aku melempar tas sekolahku asal, lalu menghempaskan diri ke atas kasur kamarku. Suasana seperti inilah yang selalu menyambutku setiap hari. Sunyi, sepi, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, padahal untuk rumah sebesar ini hanya di huni oleh aku dan Bik Inah, pembantu rumah yang selalu menemaniku.
Semuanya bermula setelah perceraian ke dua orang tuaku, saat umurku masih sangat belita mereka berpisah. Tinggalah aku bersama Papa yang gila kerja, sedangkan kakak laki-lakiku bersih keras untuk mengikuti Mama. Mungkin ia sudah bisa menebak takdirnya akan seperti apa, di perbudak Papa untuk menjalankan bisnisnya.
Dan pada dasarnya setiap anak yang mereka lahirkan di dunia, adalah budak yang harus berguna bagi keuntungan mereka kedepannya. Menyedihkan bukan? Begitulah nasibku sekarang, di paksa belajar agar bisa menjadi yang terdepan.
Namun, semakin aku mengikuti kemauannya, maka semakin aku menderita. Tersiksa akibat semua perlakuannya seperti diktaktor yang kejam kepada anaknya. Aku ingin seperti dulu, saat kebahagiaan dan kesempurnaan masih melingkupi keluarga kecil kami. Tapi kini semuanya sudah pupus, seperti daun-daun  yang di terpa angin kencang yang memaksanya jatuh berguguran.
Aku yang dulu masih lugu, mengikuti semua perintah Papa. Aku belajar terus tanpa mengenal waktu, bersaing mendapatkan penghargaan untuk membuktikan kalau aku mampu. Tapi sebuah kenyataan keras menghantam diriku untuk pertama kalinya saat itu.
Ketika hari pembagian penghargaan murid terpintar selama 3 tahun bersekolah di SMP Nusa Sejahtera di umumkan, Papaku tak datang. Padahal namaku di sebutkan, aku kecewa saat melihat anak-anak lainnya berdiri di podium dengan orang tuanya. Mereka tersenyum bangga melihat pencapaian anak mereka, bahkan mereka memeluk erat dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Sedangkan aku? Aku berdiri sendiri, tanpa ada wali yang tersenyum melihat pencapaian ku saat itu. Tapi aku berusaha berfikiran positif, mungkin saja Papa lagi ada urusan mendesak di kantornya kala itu.
Aku pulang membawa piala dan piagam penghargaan itu dengan senyum tulus dari wajahku. Tapi langkahku terhenti di ruang tamu, kala menyaksikan Papa sedang duduk bahagia sambil memangku anak perempuan kecil itu dan di sampingnya juga ada wanita yang membuat keluargaku hancur seperti ini.
Mereka semua menatapku, lalu menyuruhku untuk berjalan ke arah mereka. "Maaf ya Rain, Papa ngak bisa datang ke sekolah kamu. Soalnya Papa dan Bunda tadi pergi ke sekolahnya adik kamu. Liat, adik kamu pintar. Dia dapat peringkat satu Lo." Ujar Papa sambil mencium dan menatap wajah anak kecil itu bangga.
Dalam sekejap air mataku jatuh, bahkan aku tak sadar telah menjatuhkan piala dan piagam penghargaan di tanganku hingga hancur seperti perasaanku.
"Pa," ujarku dengan suara lirih, menahan rasa sesak yang membuncah di hati. "Bisa ngak si Papa juga hadir di acara pembagian Raportku? Setelah perceraian Mama dan Papa nggak ada yang ngambil raport untukku. Aku juga ingin seperti anak orang lainnya, ada yang berdiri di belakang, sambil tersenyum manis saat melihat anaknya mendapatkan peringkat pertamanya. Seolah mereka berkata, 'ini Lo anak ku, anak terpintar dan kebanggaan ku.' Aku juga anak Papa, aku juga butuh perhatian Papa." Ujarku sambil menangis terisak.
Lagi dan lagi sebuah kenyataan menghantam ku berulang kali, Papa dengan wajah datarnya menatapku. "Kamu sudah besar, kamu bisa melakukannya sendiri. Jadi jangan bersikap seolah-olah kamu itu ngak dipedulikan, buktinya Papa masih kasih kamu fasilitas semua ini. Tandanya apa? Papa sayang sama kamu, karena kamu itu bakalan jadi pewaris dari perusahaan terbesar di Indonesia, Adyata Company."
Dalam sekejap pandanganku menjadi kosong, tapi nafasku terus memburu dengan sangat cepat. Aku menggelengkan kepala keras, lalu berteriak, "Papa jahat, aku benci Papa!" Lalu berlari menuju kamar dan menghempaskan semua barang-barang di dalamnya.
"Aku benci semuanya, benci!"
******
"Punya kacakan di rumah? Sadar diri dong Lo siapa dan gue siapa. Bisa jaga sikap? Dhuha itu milik gue, cewek cupu kayak Lo ngak pantes buat dia!" Ujar Rena sambil mendorong kasar tubuh anak itu. Mata anak itu berkaca-kaca, ia takut hingga tak berani memberikan perlawanan apapun.
Tubuh anak itu diikat disalah satu pohon, anak itu masih saja menangis dan memohon untuk dilepaskan. Tapi Rena dan teman-temannya malah semakin menjadi-jadi, ia menyiram tubuh anak itu dengan air kotor dan ditambah dengan kotoran bekas dedaunan. Mereka tertawa dengan puas saat melihat anak itu berantakan.
"Akhh," Aku mendengus, lalu membuka mataku. Ada saja yang mengganggu kegiatan tidur siangku hari ini, aku mengikat rambut asal lalu melompat dari tempat persembunyianku saat ini. Dengan langkah sedikit kesal Aku berjalan pelan ke arah mereka, sambil melipat kedua tangan di dada.
"Cara main Lo ngak berkelas, kalau Lo berani Lo ngak mungkin main belakang kayak gini. Cihh! Mau ngebuli orang ngak usah ngajak temen sekampung kayak gini juga kali, kentara banget mental tahu!" Jelasku sambil memasang wajah datar tanpa rasa takut ke pada mereka semua. Lalu pandanganku kualihkan kearah anak itu, dengan cekatan aku melepaskan tali yang mengikat anak itu. Setelah lepas aku melemparkan baju olahraga yang kubawah untuk mata pelajaran olahraga di jam terakhir nanti.
"Gunain itu, baju Lo terawangan." Sambil memberikan isyarat untuk anak itu segera pergi.
"Cihh, Bagsat!"
"Bisa Lo ulang omongan Lo tadi?" Jawab Rena dengan wajah yang sedikit memerah, pasalnya jika kami berdua sudah berhadapan ujungnya pasti tidak akan baik.
"Lo budek atau telinga lo lagi sakit?" Ujarku semakin menantang.
Rena tertawa. "Dasar Parasit, suka ikut campur urusan orang. Ngak bosen Lo di hukum terus sama guru karena sikap sok pahlawan Lo ini!" Sambil berdecak pelan.
"Kenapa harus bosen kalau itu memang yang gue mau."
"Lo sadarkan berurusan sama gue berarti Lo juga berurusan sama kepala sekolah. Sadar diri, Lo siapa dan gue siapa." Ujar Rena sambil mendorong tubuhku keras.
"Gue ngak takut! Mau Lo anak kepala sekolah ataupun lainnya, selagi Lo manusia gue berhak ikut campur karena Lo salah!" Ucapku sambil menarik rambut belakangnya keras. Hingga membuatnya mengaduh dengan pelan.
Pertengkaran kami terpotong karena ada seseorang yang memanggil namaku. Aku pun menoleh begitupun dengan Rena, tangan kami masih bergelantungan memegang rambut masing-masing.
"Raina, Rena! Ikut bapak keruangan BK sekarang juga." Ujar Pak Zeno dengan wajah yang terlihat kesal, pasalnya hanya kami berdua sajalah yang sering berkunjung ke ruangannya selama satu tahun setengah ini.
Dalam hati aku tertawa puas. Sebelum berjalan ke sana pun aku sudah tahu hasilnya akan seperti apa. "Orang kayak gue memang seharusnya menjadi sampah, di salahkan untuk setiap aspek yang gue lakukan." Gumam ku dalam hati.
*****
Dan di sinilah aku sekarang, di WC wanita dengan kain pel ditanganku. Aku menggerutu pelan, sebab hukumanku kali ini tidak sesuai dengan ekspektasi yangku bayangkan. Aku pikir aku akan diskorsing selama beberapa hari dari sekolah, karena sering membuat masalah di sekolah tapi nyatanya aku malah berakhir di sini.
"Ini akibat Lo suka ngelawan gue!" Rena berujar keras, lalu tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya. Anak manja seperti Rena hanya bisa mengandalkan orang tuanya untuk mencapai semua yang dia mau, seperti manusia yang tak bisa berdiri di atas kakinya sendiri selalu mengandalkan kaki orang lain untuk membantunya menuju tempat yang dia mau.
"Anak orang miskin aja belagu Lo!" Timpal Risa sambil berluda di hadapanku.
Aku mencoba mengabaikan perkataan demi perkataan pedas yang mereka lontarkan kepadaku.
"Pel lantainya sampai bersih, orang tua Lo kan babu jadi anaknya pasti bisa dong pel lantai WC-nya sampai bersih!" Sambil menendang ember berisi air untuk menyiram kloset. Lalu ia berbalik meninggalkan aku di sini.
Sepertinya setan satu ini harus mendapatkan balasan atas kesombongannya, aku akan menjatuhkan egonya sampai ke dasar biar dia tahu arti dirinya saat ini.
Aku mengangkat ember yang berisi bekas pelanku yang berwarna hitam. "Lo belum pernah ngerasain mandi air kotor kan?" Tanyaku yang kini sudah berdiri di belakangnya, sepersekian detik aku menumpahkan kotoran itu di kepalanya hingga tidak ada sisa lagi di dalam ember tersebut.
"Oh, iya. Masih kurangkan, tadi Lo juga nyiram tubuh anak itu dengan kotorankan?" Dengan langkah cepat aku mengambil tong sampah terdekat lalu menyiramkanya ketubuh Rena. Kalian pasti tahukan isi tong sampah di Wc wanita seperti apa. Ada berbagai macam tisu, dan yang lebih parahnya bekas pembalut yang masih melekat warnah merah darahnya.
"Kali ini gue sedang berbaik hati sama Lo, gue kasi sensasi mandi air bekas pel lantai dan sampah busuk ini."
"Lo—" geramnya dengan amarah yang sudah memuncak.
Tak mau ambil pusing aku langsung melemparkan tong sampah tadi, lalu tersenyum manis kepada Rena yang sudah mengepalkan tanggannya. "Sampai jumpa Rena sayang, mandi gih badan Lo busuk kayak kudanil yang mandi di kubangan sampah."
Mood ku berada di sekolah hari ini sangat hancur, sepertinya aku harus bolos hingga pelajaran terakhir. Aku berjalan dengan senyum miring ke dalam kelas, lalu mengambil tas dan keluar begitu saja dari kelas.
Tujuanku saat ini adalah balkon sekolah, aku ingin menghabiskan waktuku di sana.
———————
Happy Reading!
.
.
.
.
Salam Yuliani!

Comentário do Livro (454)

  • avatar
    MonicSulaiman

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    Posco

    lumayan buat aku sihh

    25d

      0
  • avatar
    SafitriSafitri

    Bagus

    14/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes