logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

7. Keputusan Sepihak

Saka memicing ke arahnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Saka, Ale justeru berbalik menanyainya.
"Lo, habis ngapain sama, Megan?" ulangnya
"Nggak ngapa-ngapain. Eh, dia beneran adek, lo?" Saka mengangguk. Beranjak duduk di sofa yang diikuti Ale.
"Gue, nanya lo ngapain Megan sampe kesel gitu?"
"Nggak ada. Gue tadi nggak sengaja ngagetin dia sampe spidol warnanya berantakan. Pas gue bantuin mungut, dia malah ninggalin gue," Ale mengesah. Diletakkanlah tangannya di belakang kepalanya sebagai bantalan. Menatap langit-langit mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.
Saka manggut-manggut mendengarkan.
"Terus, lo, ngapain di rumah gue?" Saka memicing curiga. Dia sangat hapal jika Ale yang datang ke rumahnya pastilah ingin mengisi energi.
"Oh, iya. Gue kesini mau nanya ... Lo, kenapa bolos sekolah? nggak biasanya dah. Bu Wulan sampe nanyain, lo, tadi," terang Ale. Kali ini dugaan Saka ternyata salah. Dalam hatinya terkekeh geli dengan prasangka konyolnya. Toh apa salahnya jika sepupunya itu menumpang makan di rumahnya? Saka terkekeh lirih.
"Kenapa? Sakit, lo," Saka menepis saat tangan Ale menyentuh dahinya. Saka tau betul, sakit yang dimaksut Ale bukan dalam artian yang sesungguhnya.
"Gue masih waras! Gue kira lo, kesini mau, makan," tukas Saka. Dia mengambil minuman yang dibelinya didalam keresek, lalu diberikannya satu untuk Ale.
"Nah, itu juga termasuk tujuan gue. Gue laper, Ka. Tante Nad, masak apa?"
Saka menggeleng pelan.
"Mama, nggak masak. mbok Yem, yang masak,"
"Boleh lah, masakan mbok Yem, juga enak." ujarnya. Ale lantas beranjak ke arah meja makan yang diikuti Saka.
"Kunyuk, lo," selorohnya.
Saka maklum sebab Saka sendiri tau, Suhita, Ibunya Ale sangat jarang berada di rumah. Sehingga Ale sendiri sangat jarang merasakan masakan Suhita.
Saka juga tau di rumah Ale bukannya tidak punya bibi seperti mbok Sayem.
Hal yang awalnya tidak dia mengerti kenapa Ale selalu menolak saat bibinya memasakan makanan untuknya dan lebih memilih datang ke rumahnya. Tapi beberapa tahun belakangan Saka tau apa penyebab Ale tak betah di rumahnya sendiri. Terlebih soal urusan makan.
Ale kesepian. Apa yang dia dapatkan di rumah Saka, tak didapatkan Ale di rumahnya sendiri. Yaitu kebersamaan.
Kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusan kantor. Jika sudah menyangkut pekerjaan, dirinya akan dinomor duakan oleh keduanya.
Saka meringis prihatin mengingatnya. Dalam hatinya terselip syukur, sebab sesibuk apapun Nadine dan Sandiedo akan mengusahakan pulang ke rumah tepat waktu untuk bisa makan malam bersama keluarga. Tak jarang juga Ale hampir setiap hari nimbrung disana. Hanya saja, semalam Ale tak datang karena menghadiri acara teman, katanya.
Beberapa saat kemudian Saka mendongak, saat tersadar Ale sudah berdiri membawa piring kotor ke tempat cucian.
"Mau kamana, lo?" tanyannya saat Ale beranjak tapi bukan kembali duduk di meja makan menghampirinya. Memangnya apa lagi urusan ale di rumah ini kalau tidak dengan dirinya? Tak mungkin jika ada perlu dengan Marsha, apa lagi Megan yang baru dikenalnya. Sandiego juga sedang tak ada di rumah saat ini.
"Mau ke atas, balikin ini," jawab Ale mengangkat buku gambar dan juga kotak pensil berisi spidol warna.
Saka lantas berdiri menahan pergelangan Ale.
"Biar gue, aja. Sini," pintanya. Diraihnya buku gambar dan kotak pensil Megan dari tangan Ale. Bukan apa-apa, Megan masih baru dan perlu beradaptasi disini. Dia tak ingin menambah rasa tak nyaman bagi Megan.
"Oke deh, gue jalan dulu kalo gitu." pungkas Ale berlalu keluar dari rumahnya.
Setelah tak dilihatnya lagi sosok Ale, Saka lantas berjalan menaiki tangga. Berdiri di depan kamar Marsha, mengetuk pintunya.
Kreek!
" ... "
Hening. Baik Saka maupun Megan tak ada yang membuka suara. Bahkan Megan tak bersuara sepatah katapun meski hanya sekedar bertanya ada keperluan apa Saka datang ke kamarnya. Hanya tatapan datar yang Saka dapatkan disana. Setelahnya, Megan memandang ke arah lain. Menyandarkan punggung di gawang pintu sambil melipat tangan di dada, memperlihatkan Marsha yang sedang tidur di dalamnya.
Saka lalu mengalah.
"Punya, lo?" Diacungkannya buku gambar dan kotak pensil kepada yang punya.
Tak ada basa-basi. Megan langsung menyambar barangnya, lalu berbalik menutup pintu sebelum Saka beranjak. Menyisakan dirinya yang tersenyum kecut menatapi daun pintu.
"Makasih," lirihnya kecut, kemudian berlalu.
"Kenapa, kak?" Marsha terbangun lantaran gebrakan pintu yang lumayan mengganggu tidurnya. Gadis itu mengucek mata. Melongok sebentar menilik di belakang Megan. Tak ditemuinya siapapun disana, selain pintu yang tertutup.
Megan menggeleng sebagai jawaban. Dirinya lantas kembali beranjak merebahkan dirinya di ranjang.
Sedangkan Marsha tak berpikir lagi, gadis itu lantas kembali melanjutkan tidurnya.
----
Makan malam kali ini terasa ramai. Berbeda dari suasana semalam, kali ini ada Ale yang juga bergabung disana.
Sesekali mencuri pandang ke arah Megan, yang lalu membuat Megan jengah. Gadis itu risih berkali-kali menangkap basah Ale tengah menatap dirinya diam-diam, lalu membuang arah pandang saat ketahuan.
"Oh, iya. Mulai besok Megan, sudah bisa sekolah." Sandiego membuka suara saat makannya usai, disusul dengan yang lain.
Megan masih tak peduli. Pendengarannya seolah menuli.
Pun dengan yang lain belum ada yang bertanya lebih lanjut. Mereka lebih memilih menunggu Diego melanjutkan bicara.
"Papa, sudah daftarkan dia di sekolah kalian. Mulai besok kalian berangkat bareng-bareng, ya. Kalian harus saling menjaga satu sama lain," sambungnya menatap Saka dan Marsha bergantian.
Mendadak Megan tersedak ludahnya sendiri. Gadis itu terbatuk sampai menundukkan kepalanya.
Megan pikir, Diego akan bertanya padanya ingin sekolah dimana meskipun dia belum kepikiran untuk sekolah. Sebab kejadian kemarin saat Nadine memutuskan untuk membawanya ke rumah ini benar-benar membuatnya kacau. Gadis itu masih enggan melakukan apa-apa, termasuk sekolah.
"Kamu, nggak apa-apa, sayang?" Nadine meraih gelas di depannya. Mengangsurkannya ke arah Megan dengan tangan sebelahnya menepuk pelan bahu gadisnya.
"Ini, minum dulu," titahnya. Alih-alih mengambil gelas yang disodorkan oleh Nadine, Megan justeru meraih gelasnya sendiri. Seolah gadis itu tak melihat upaya Nadine yang ingin membantunya.
Hal itu sontak memancing perhatian 8 pasang mata yang duduk disana. Mereka menangkap sesuatu yang ganjil pada ke dua orang yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian.
Mereka menatap dengan arti tatapan yang berbeda dan persepsi mereka masing-masing. Menerka-nerka apa yang tengah terjadi di antara ke duanya.
Megan yang merasa tak nyaman diperhatikan banyak orang, lantas memilih undur diri dari meja makan, kembali ke atas menuju kamarnya.
Entah kenapa, Megan sendiri tak mengerti kenapa sesulit itu menerima Nadine kembali dalam hidupnya. Terlebih wanita itu kembali datang setelah sekian tahun lamanya, dengan keluarga baru yang disuguhkan padanya. Sudahlah Nadine menjadi asing bagi dirinya, semakin asing lagi saat dia ditempatkan pada lingkungan orang-orang yang benar-benar asing. Yang sama sekali tak dia kenal, tapi seolah dia dipaksa untuk untuk menjadi akrab. Dipaksa bersahabat dengan keadaan yang belum atau bahkan tidak akan pernah bisa dia terima.
Nadine bahkan tak bertanya padanya, setidaknya menunjukkan sekolah-sekolah di daerahnya, lalu membiarkannya memilih sendiri. Bukan tiba-tiba keputusan dijatuhkan padanya tanpa diberi hak untuk memilih yang mana yang dia inginkan.
Ini bukan soal egois, tapi menurut Megan ini adalah tentang menghargai sebuah pilihan. Nadine bahkan tidak menanyainya suka atau tidak.

Comentário do Livro (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    17d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes