logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 7 - Sandiwara Bintang dan Tisya

Meja makan yang panjang, sudah penuh oleh anak, menantu dan para cucu Raharja dan Madinah, mereka sedang menyantap hidangan yang sangat menggugah selera.
"Papa punya kabar gembira," gumam Raharja sambil menatap anak-anaknya yang duduk berhadapan dengan pasangan masing-masing.
Arvin berada paling dekat dengan Raharja, dia berhadapan dengan Anggun. Begitu juga Kirana yang di depannya sudah ada Agam yang sedang makan dalam diam.
Sedangkan Bintang dan Tisya, mereka duduk paling ujung, dengan sebelahnya adalah Mardina yang sesekali melirik gerak dari ketiga anak dan menantunya.
Para cucu sudah dibedakan mejanya, mereka makan ditemani oleh Mbak yang bekerja di rumah Raharja sendiri.
"Kabar gembira apa, Pa?" tanya Arvin dengan memandang Raharja yang mulai menua.
"Mulai besok, di rumah kalian masing-masing akan ada ART yang menginap," gumam Raharja.
Bintang yang sedang mengunyah ayam laos, kemudian dia tersedak, laki-laki itu terbatuk-batuk. Tisya mau tidak mau mengambilkan minuman dan menyodorkannya ke suaminya.
Semua pandangan langsung tertuju ke Bintang, karena memang sejak kedatangannya tadi dia baru kali ini terserang batuk. Sebab mendengar ucapan Raharja.
"Di rumah Bintang juga?" tanya Bintang dengan batuknya yang mereda.
"Iya dong, Tang. Masak di rumah kedua kakakmu saja," Mardina, perempuan berkerudung hijau itu menimpali dengan teduh.
"Bintang gak setuju, lagian Bintang masih berdua saja," sanggah Bintang sambil menatap kedua orangtuanya secara bergantian.
Raharja terlonjak, kemudian dia menatap lekat-lekat ke arah Bintang. Kenapa laki-laki itu tidak setuju? Padahal, ketika ada pekerja di rumah tugas Tisya jadi berkurang. Apa dia tidak mau Tisya santai?
"Meski pun berdua, kamu harus mau Tang. Kamu gak kasihan apa Tisya kerja sendiri? Rumah kita ini lumayan luas," ujar Raharja.
"Iya, Dek. Mbak aja malah senang, supaya bisa program hamil lagi ya gak Mas Agam?" ujar Kirana sambil melirik ke Agam di depannya.
"Setidaknya, ringankan beban istri kamu, Dek," Arvin menimpali, sambil tersenyum ke arah Anggun.
Tisya sedikit iri dengan keromantisan kedua pasang kakak iparnya itu, dia belum sama sekali mendapatkan tatapan mesra dari Bintang. Walau sejak masuk ke rumah ini, Bintang hanya berpura-pura perhatian.
Bintang tampak berpikir, laki-laki itu sesekali melirik ke arah Tisya yang hanya menunduk menikmati makanan yang ada di piringnya.
"Kalian rencana mau punya anak lagi, Kirana dan Agam?" tanya Mardina sambil melihat ke arah Agam dan Kirana secara bergantian.
"Ya kalau Agam sih siap-siap aja, tergantung sama yang akan hamil aja, Ma," jelas Agam dengan sedikit tertawa.
Enak sekali kalian, aku aja pengin banget punya anak. Batin Tisya dalam hati.
Mardina melirik ke arah Bintang dan juga Tisya di depannya, anak terakhirnya ini dan istri dia hanya diam saja. Tidak menunjukan keharmonisan seperti kedua kakaknya.
"Terus, Bintang sama Tisya kapan? Mumpung kalian masih baru, jadinya lagi segar-segarnya tuh," ujar Anggun yang melirik Tisya.
Raharja hanya melihat interaksi antara ketiga anak dan juga menantunya dalam diam, dia tidak mau menimpali sekarang. Ya, Raharja tidak menyangka dia dan Mardina bisa membesarkan ketiga anaknya hingga jadi orang semua.
"Doakan segera menyusul ya, Mbak," ujar Tisya menatap Anggun yang sedang mengunyah makanan. Kemudian dia memberikan senyum yang terpaksa kepada Bintang.
"Tuh, denger, Dek. Kamu itu harus menerima tawaran Papa dan Mama, supaya Tisya menjadikan dirinya sebagai istri seutuhnya untuk kamu," gumam Mardina.
"Yasudah, jadi kapan ARTnya datang?" tanya Bintang sambil menatap Raharja.
"Besok, Dek. Makanya kamu kalau diajakin ngobrol, pikirannya harus fokus," ujar Arvin.
Mereka semua kemudian melanjutkan makannya, sibuk dengan pikiran masing-masing. Termasuk Bintang dan Tisya. Ada ketakutan yang menghampiri Bintang.
Ya, dia takut, mendapatkan ART yang tidak sesuai dengan apa yang ada dalam bayangannya. Dan, membeberkan semua yang terjadi di rumah dia, dan permasalahan yang ada kepada Raharja dan Mardina.
"Tapi, nanti kalau ARTnya sudah sampai harus ada kesepakatan," sambung Bintang sambil mengedarkan pandangan ke semuanya.
"Kesepakatan apa?" ujar Arvin dan Anggun secara bersamaan.
"ART harus bisa menjaga segala rahasia dari keluarga kita masing-masing. Istilahnya masuk dengan telinga tuli keluar dengan mata buta," ujar Bintang.
"Emangnya kalian ada masalah apa? Kok kamu kayak ketakutan gitu?" tanya Agam kepada Bintang.
Bintang kemudian menggeleng, laki-laki itu memutar otak mencari cara supaya mereka semua tidak curiga dengan yang terjadi sebenarnya pada rumah tangga Bintang dan Tisya.
Bintang menarik tangan kiri Tisya, kemudian dia mencium punggung tangannya di hadapan kedua kakak dan juga orangtuanya.
"Kami tidak ada masalah apa-apa, Pa, Ma," ujar Tisya sambil melihat tangan kirinya yang masih dipegang Bintang.
Entah berapa dosa yang sudah dicatat oleh malaikat kepada Bintang dan juga Tisya? Karena mereka selalu bermain peran, berakting yang tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
"Yasudah, nanti biar Arvin yang bikin surat kontrak dan tanda tangan oleh kalian semua," Raharja memutuskan.
Kemudian mereka melanjutkan makan hingga semua tandas, Arvin dan Anggun harus berpamitan dulu, karena harus mengajak Ayya dan Nadira untuk bersiap-siap pergi sekolah.
Disusul oleh Agam dan Kirana yang mengajak Arav untuk kembali ke rumah, karena dia akan berangkat ke sekolah juga.
Ketika Bintang dan Tisya hendak berpamitan juga, Raharja menyuruhnya untuk duduk di ruang tamu sebentar. Bintang dan Tisya saling pandang.
"Ada yang perlu Papa dan Mama omongin sama kalian berdua," ujar Mardina.
Mereka berempat sudah duduk di ruang tamu, Bintang duduk berdampingan dengan Tisya, sedangkan Raharja duduk di sebelah Mardina.
"Papa sama Mama tahu, dan paham, kalau pernikahan tanpa cinta itu memang susah untuk di jalani,
tapi, kami mohon. Kalian berdua untuk mencoba memulai membuka hati satu sama lain. Yang sudah berlalu, biarkan semua menjadi ketetapan Tuhan," jelas Raharja sambil menatap keduanya.
Ya, baik Bintang atau Tisya sudah tahu akan terjadi seperti ini, ketika mereka makan di rumah kedua orangtuanya. Pasti ada saja yang dibahas dalam lingkup keluarga seperti pada umumnya.
"Mengerti, Bintang dan Tisya? Kami hanya sebatas orangtua, sebenarnya bukan ranah kami untuk ikut campur. Tetapi ini tugas kami sebagai orangtua, yaitu mendoakan dan mengingatkan yang terbaik," Jelas Mardina menambahkan.
Bintang dan Tisya hanya diam sambil menatap Raharja dan Mardina secara bergantian, karena dia tidak mungkin melawan. Ini sebuah wejangan supaya keluarga mereka lebih baik ke depan.
"Kami mengerti, Ma, Pa. Kami pulang dulu ya, karena ada sesuatu yang mau kami kerjakan," ujar Bintang sambil memberikan senyum kepada Raharja dan Mardina.
Raharja dan Mardina hanya mengangguk, membiarkan Bintang dan Tisya pergi. Tisya dan Bintang bergandengan tangan keluar gerbang rumah Raharja.
Karena tidak mau kamera pengawas yang ada di rumah kedua orangtuanya ini, ikut curiga tentang hubungan Bintang dan Tisya yang sebenarnya.
"Lepasin," ujar Tisya saat sampai di gerbang rumahnya, "sudah selesai dramanya."
Bintang kemudian melepaskan genggaman tangannya.

Comentário do Livro (156)

  • avatar
    Rafa Kusnaedi

    Sangat bagus ceritanya saya suka banget

    2d

      0
  • avatar
    AdrianFatah

    Ceritanya sangat bagus!

    28d

      0
  • avatar
    PutriFadila

    crta ny sgt menarik

    15/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes