logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 3 - Gawai Usang Tisya

"Jadi, selama kalian menikah kemarin, kalian belum melakukan kewajiban sebagai sepasang suami istri?" tanya Miftah dengan sedikit menyelidik.
Tisya mengangguk layu. Ya, Tisya baru saja sampai di rumah Miftah. Pada satu kampung padat penduduk, hanya berjarak sekitar empat kilometer dari rumah Tisya.
Sebelumnya Tisya menjemput Miftah di panti asuhan tempat dia mengabdi, dengan jarak cuma beberapa meter dari rumah Miftah. Miftah, sahabat Tisya saat sekolah itu langsung terlonjak.
"Itu siapa? Bintang? Dia normal gak sih?"
"Aku juga tidak mengerti, karena memang sejak kami menikah Mif. Kami tidak tidur dalam ranjang yang sama," jelas Tisya dengan tatapan murung.
"Terus kamu tidur di mana? Jangan bilang pisah kamar?" tanya Miftah dengan sedikit menebak.
Tisya menggeleng, "aku masih di kamar yang sama dengan dia, tapi aku tidur di sofa."
Miftah menganga, "aku kira cuma di novel yang kayak gini, ternyata kamu mengalaminya juga."
Tidak, ucapan Miftah salah, kisah di novel malah lebih bahagia menurut Tisya, daripada kehidupannya yang maju salah mundur juga salah. Tisya memang bukan penikmat buku---tetapi bukan berarti dia tidak pernah membaca.
Tisya sering membaca novel melalui aplikasi, dan dia menemukan semua akhir dari cerita-cerita yang dibaca yaitu bahagia. Sedangkan, akhir dari kisah Tisya sejak kecil hingga dewasa berakhir mengenaskan seperti sekarang.
"Kisah di novel itu bahagia, Mif. Sedangkan kisahku? Ya, jelas beda," ujar Tisya.
Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu, hanya Miftah sendiri yang di rumah. Suaminya kerja, sedangkan anaknya sedang berada di dalam perut Miftah.
"Itu kehamilan kamu sudah memasuki usia berapa?" tanya Tisya penasaran.
"Sudah empat bulan, gak kelihatan besar ya?" tebak Miftah.
Memang tubuh Tisya lebih tinggi daripada Miftah, selisih sekitar dua sentimeter. Tisya 168 sentimeter, sedangkan Miftah 166 sentimeter.
"Ya, terlihat sih. Sesuailah dengan tinggi kamu," ujar Tisya.
Setelah resmi menjadi Nyonya Bintang, ini kali pertama Tisya datang kembali ke rumah sahabatnya. Itu pun, tanpa sepengetahuan suaminya.
"Tapi hubungan kamu dan kedua mertua baik-baik saja, kan?" tanya Miftah lagi.
Tisya mengangguk, hubungan dia dengan Raharja dan juga Mardina sangat baik. Bahkan, dengan Arvin dan Kirana juga terjalin sangat hangat.
"Berarti yang bermasalah ya Bintang, Sya. Kalau memang dia tidak sanggup menuruti permintaan Mbak Deffi, kenapa dia laksanakan? Semacam sebuah keterpaksaan," jelas Miftah.
Miftah sangat terbakar emosi, ketika mendengar cerita dari Tisya. Dia juga tidak menyangka bahwa sahabatnya akan mengalami masa-masa pernikahan yang tidak enak seperti sekarang.
"Aku bingung, Mif. Serba salah jadi aku, tadi saja kami ribut," ujar Tisya dengan air mata yang menetes perlahan.
Miftah spontan memeluk sahabatnya, semakin erat dia memberikan perhatian---semakin deras air mata Tisya yang keluar.
"Nangis aja, nangis aja dulu. Siapa tahu kamu sedikit lega," ujar Miftah dengan suara yang lirih.
Miftah dalam diam ikut mendengarkan isak tangis Tisya yang benar-benar dalam, seperti terpendam dan sudah waktunya meledak sekarang.
"Kalau aku tahu kayak gini. Aku gak mungkin mau menikah dengan Bintang, sekali pun dia orang gak punya," ujar Tisya sambil terus terisak.
"Sabar aja dulu, Sya. Percaya sama Allah saja, pasti kamu akan menemukan titik bahagia," bisik Miftah.
"Kapan? Aku juga pengen kayak kamu, aku pengen menikmati sebagai pengantin baru yang penuh kebahagiaan.
Bukan malah sebaliknya, yang bikin mentalku terganggu seperti sekarang," ujar Tisya dengan air mata yang masih menetes.
Miftah sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Tisya sekarang. Setiap perempuan di muka bumi ini, pasti berharap perhatian sekaligus kasih sayang yang tulus dari pasangan mereka.
"Bintang kerjanya apa sih? Jangan-jangan dia pengurus perusahaan milik Raharja?" ucap Miftah sambil melepaskan pelukannya kepada Tisya.
"Dia bisnis, bisnis minuman kekinian. Cabangnya sudah lima," jelas Tisya seraya mengambil beberapa helai tisu di meja.
"Oh, kirain."
Miftah mencoba memutar otak, supaya Tisya tidak bersedih lagi. Dia melirik sesuatu yang ada di meja ruang tamu ini. Lalu mengambil satu stoples berisikan kue kering hasil karya Miftah sendiri.
"Cobain kueku ini dong, Sya. Kemarin aku bikinnya, eh hari ini kamu ke sini," ujar Miftah sambil membuka tutupnya.
Tisya mengambil kue kering yang sering disebut putri salju itu, kemudian memasukan ke mulut sekaligus mengunyahnya dalam diam.
"Gimana? Enak gak, Sya?" tanya Miftah dengan tatapan antusias.
"Enak, kamu kalau masak pasti selalu enak," ujar Tisya memuji tulus kepada Miftah.
Tisya melirik sekitar, pemandangan di perkampungan yang jarang sekali dia lihat di Tulip Town House. Kebersamaan dan kerukunan bertetangga memang sangat terasa jika kita hidup di kampung padat penduduk seperti ini.
"Rindu suasana kampung ya, Sya?"
Tisya mengangguk, "jarang banget lihat ini di rumahnya suami."
Semenjak menikah dengan Bintang, Tisya juga jarang pulang ke kampung. Dia tidak ingin melihatkan kesedihannya kepada kedua orangtua. Karena takut kepikiran, dengan kondisi anaknya yang sebenarnya.
Tisya kemudian melihat gawai milik dia, yang mereknya masih sama---walau sekarang dia sudah menjadi istri dari seorang keluarga konglomerat. Miftah juga melihat gawai milik Tisya yang masih sama.
"Bintang memang manusia yang tidak peka ya, Sya? Sampai-sampai melihat ponselmu seperti ini, dia diam saja," ujar Miftah seraya mengambil gawai milik Tisya dari tangannya.
"Biarkan, lagian ponselku ini sudah banyak kenangannya. Aku juga tidak ingin dia rusak," jelas Tisya.
Ya, gawai Tisya itu sudah dia beli sekitar empat tahun yang lalu. Hasil keringat dia sendiri saat bekerja di salah satu toko baju di Malang. Sudah banyak cerita yang dia ciptakan di gawai itu.
"Tapi ya, kebangetan banget si Bintang. Dia bergelimang harta, tapi tingkat kepekaan kepada kamu sangat minus," ujar Miftah seraya menggelengkan kepala.
"Biarkan aja, doaku cuma satu, supaya dia cepat sadar dan menganggap aku istri seutuhnya. Tanpa bayang-bayang Mbak Deffi di belakang," ujar Tisya sambil mendongak ke atas.
Miftah mendengkus, dia tidak bisa berbuat lebih jauh. Karena ini memang bukan rumah tangganya, melainkan rumah tangga Tisya, tetapi Miftah tetap memiliki rasa empati yang tinggi.
"Kalau kamu lagi ada masalah, cerita aja ke aku, Sya. Kita sama-sama perempuan, pasti sedikit banyak pasti ikut merasakan hal yang sama," jelas Miftah.
"Pasti, pasti aku akan ke sini, kalau ada waktu luang," ujar Tisya sambil meraih stoples yang tadi kemudian membukanya.
Miftah ikut senang melihat Tisya sangat menikmati kue kering bikinannya. Perempuan itu sambil menatap ke tubuh Tisya yang semakin kurus.
"Kamu jangan jadi Tisya yang pemikir seperti dulu saat masih sekolah dong, cuek aja. Lihat, badanmu sekarang sedikit kurus," ucap Miftah dengan menunjuk ke arah tubuh Tisya.
Gimana gak pemikir? Kalau tiap hari dibandingkan dengan mendiang kekasihnya Bintang. Batin Tisya seraya mengunyah kue dan hanya menimpali omongan Miftah dengan senyuman.
Kalau Bintang membuat Tisya bahagia, mungkin perempuan ini akan stabil berat badannya bukan malah turun seperti sekarang ini. Karena memang sebuah kebahagiaan terkadang bisa merubah bentuk tubuh seseorang.
"Eh, di panti asuhan, sekarang semakin banyak ya anak-anaknya," ujar Tisya sambil mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, seminggu yang lalu ada bayi yang dititipkan di panti, Sya. Kasihan banget," ujar Miftah sambil menatap nanar ke Tisya.
"Serius?"
"Iya, entah siapa yang ngebuangnya, soalnya ditaruh di teras. Dan, diketahui oleh anak-anak yang sedang main," jelas Miftah.
Tisya sangat tidak habis pikir melihat kabar buruk tentang pembuangan titipan Tuhan---padahal itu sudah menjadi kewajiban kedua orangtuanya yang dengan sengaja melakukan hubungan.
Mirisnya, setiap Tisya membuka portal berita di televisi. Pasti ada saja setiap hari memberitakan soal ini. Padahal seorang bayi itu tidak salah, keteledoran pasangan itulah penyebabnya.
Melakukan satu hal yang belum pantas dilakukan, termasuk bagian dari perzinaan yang benar-benar membuat Tuhan sangat murka.

Comentário do Livro (156)

  • avatar
    Rafa Kusnaedi

    Sangat bagus ceritanya saya suka banget

    2d

      0
  • avatar
    AdrianFatah

    Ceritanya sangat bagus!

    28d

      0
  • avatar
    PutriFadila

    crta ny sgt menarik

    15/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes