logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

7. Bersamamu (a)

Sensasi ademnya ayat Al-Quran memang gak ada tandingannya. Aku segera meletakkan kalamullah di rak paling atas. Tersenyum lega karena hari ini kewajibanku sudah terselesaikan.
Aku gak menyangka, kalo Allah mendatangkan orang baik kepadaku. Yang mampu membuatku sadar dan segera merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Kalo saja aku gak bertemu sosok itu, mungkin bibirku gak lelah karena setengah jam melantunkan surah-surah Al-Quran.
Aku gak akan ingat dosa-dosaku karena telah melupakan apa yang seharusnya kujaga.
Bertemu dengan Barikli membuatku meraba diri. Betapa banyak dosa dan kesalahan, terutama telah mengentengkan hafalan.
Dari dia, aku kembali menghafal juz 30 yang dulu pernah kuhafal saat di pesantren. Murojaah setiap hari, dan menjadikan sebuah kebiasaan yang wajib.
Berapa banyak dosaku karena telah menelantarkan hafalan? Aku takut besok di akhirat Al-Quran membenciku dan gak memberiku pertolongan.
Tertampar dengan pengakuan Barikli, kalo gak hanya ibunya saja yang hafidzah, tapi juga kakak perempuannya, menjadikan aku menciut, membebani fikiranku dengan pertanyaan, "Apa aku pantas menjadi istrinya Barikli? Menjadi menantu ibunya, sedangkan aku gak punya hafalan apa-apa,"
Kalimat itu yang terus berputar, meski ada kalimat lain menyangkal, "Emang beneran kamu yang bakal jadi istrinya Barikli, Sab?"
Tentang masa depan gak ada manusia yang tau dengan apa yang Tuhan rencanakan. Jadi aku memutuskan mencoba menjadi lebih baik. Gak dipungkiri kalo aku beneran akan menikah dengan Barikli, meskipun itu keinginan terbesarku, ataupun bukan aku yang mendampingi dia selama sisa hidupnya, menjadi lebih baik gak akan merugikan.
Dengan menjadi baik, aku akan pantas menjadi menantu seorang hafidzah meskipun aku bukan hafidzah. Tapi seenggaknya aku gak akan mengecewakan.
"Mbak, beli pulsa,"
Aku tersadar. Fokus dengan pekerjaanku, aku mulai melayani user. "Iya, nomernya berapa Mas?"
"Kayak yang biasanya Mbak,"
Menatap cowok di depanku dengan bingung, karena kalimatnya yang ambigu, aku tersenyum lalu berkata, "Yang biasanya yang mana Mas?"
Meskipun sedikit jengkel, aku gak bisa menunjukkan kejengkelanku di depannya. Dia sepertinya bercanda, tapi aku lagi gak mau diajak bercandaan. Kalo pun dia serius aku gak mau juga serius, lalu mencari satu persatu nomernya di deretan ratusan nomer user lain yang tercatat di buku penjualan.
"Apa saya isi nomer saya aja Mas?" kataku lagi karena cowok di depanku gak kunjung bersuara.
Aku familiar dengan wajahnya, karena setiap kali mengisi pulsa dia selalu kesini.
"Jangan Mbak, nomer Mbaknya aku minta aja gimana?"
Aku memaksakan senyum. "Hehehe. Buat apa juga? Pulsanya jadi berapa Mas? Nomernya mana?" kataku kembali ke topik tujuannya kesini.
Aku menghembus nafas lega saat cowok itu sudah pergi dari pandanganku. Semoga dia gak kapok kesini, hanya gara-gara aku menolak untuk memberikan nomerku kepadanya.
Kukira, dengan bekerja disini aku akan tenang-tenang saja. Karena, gak banyak orang yang akan kutemui, yang minta kulayani dengan sepenuh hati, meski kenyataannya aku memaksa diri.
Salah besar. Aku malah bertemu banyak orang asing, terlebih mayoritas yang kutemui adalah cowok dengan berbagai jenis usia. Gak masalah kalo mereka adalah bapak-bapak membawa anak, ataupun sepasang pasutri. Yang kupermasalahkan adalah, kalo yang datang itu cowok-cowok muda yang bertitle jomblo. Minta isi pulsa, paketan, lalu berakhir dengan kalimat penutupan, "Boleh minta nomernya Mbak?"
Kalo aku menjawab dengan tanya, "Buat apa ya Mas? Nomer konter aja gimana?"
Maka balasannya adalah, "Nomer kamu aja, biar enak kalo ada apa-apa,"
Tapi mereka lebih baik daripada emak-emak yang mendadak komplen kalo kuotanya gak bisa digunakan, padahal data selulernya belum dinyalakan. Menghadapi itu aku hanya akan menghembus nafas untuk menguatkan diri agar tetap sabar.
Berkali-kali memandangi foto ini, aku merasa kalo wajahku dengan Barikli memiliki kesamaan.
Menatap layar handphone ku yang menampilkan fotoku dengan Barikli aku tersenyum. Foto ini kami ambil, satu minggu yang lalu saat kami kencan usai status berpacaran kami sandang.
Jelas, aku menerima ajakan itu, karena itu yang dari dulu kuinginkan. Mana bisa aku menyia-nyiakan berpacaran dengan orang sememposana Barikli, yang mampu membuatku jatuh cinta hanya karena bentuk dagunya berbelah dua.
Cowok itu menjadi pacarku sekarang. Dia menjadi milikku. Ingin aku tertawa terbahak bahak merayakan kemenangan, tapi urung karena ingat kalo banyak tertawa menjadikan hati keras. Kalo hati keras maka sulit mendapat hidayah.
Kalo orang lain melihat fotoku bersama Barikli apakah memiliki pandangan yang sama sepertiku? Bahwa aku dan Barikli mirip. Apa aku saja yang menyamakan agar kami ditakdirkan berjodoh, atas dasar 'kalo mirip itu jodoh'. Oke, nyatanya kami berbeda. Meskipun hidung kami sama-sama mancung, juga dagu kami yang sama-sama belah dua. Mata Barikli sipit dengan sorot sendu, sementara aku memiliki mata yang lebar, dengan kelopak mata yang jelas, juga sorot mata yang tajam.
Siapa yang menyangka kalo kami berdua ditakdirkan bersama dengan ikatan yang namanya pacaran. Gak munafik, aku tau kalo pacaran itu dosa. Tapi, aku sama sekali gak bisa meninggalkan perbuatan zina itu. Ini bukan kali pertama aku berpacaran. Mantanku sudah banyak, entah berapa lusin.
Mengira kalo Barikli adalah tipe cowok anti pacaran, karena ingat kalo ibunya seorang hafidzah, perkiraanku salah.
"Jujur, dulu aku pernah diajak Nadut pacaran," ceritanya kepadaku saat kami berjalan berdua menyusuri pasir pantai yang putih. Mungkin sekitar lima hari yang lalu. Itu adalah kencan pertama kami setelah resmi berpacaran.
"Nadut siapa?"
"Neng Nada. Nengnya pondokku dulu,"
Pengakuannya membuatku ternganga. Gak percaya dengan itu, aku malah tertawa.
"Serius Sab. Aku agak malu cerita ini ke kamu. Tapi ini kenyataan,"
Gak tampak kalo pengakuannya tadi adalah sebuah gurauan, aku mulai menanggapi dengan serius. "Kok bisa?"
Gak main-main, cowok itu malah pacaran dengan Neng nya sendiri. Keterkejutanku belum reda, disusul dengan rasa kagum juga menciut nyaliku selama Barikli bercerita.
"Bisa dibilang aku dulu terkenal. Terutama bagi kalangan mbak-mbak pondok. Kata mereka, aku ganteng. Bahkan sampai Nengnya pun ikut terpesona sama aku. Dia ngajak aku pacaran, dan aku cuma mengiyakan karena dulu masih kecil, gak tau apa-apa. Kita kencan diam diam di alun-alun, aku sendirian naik sepeda, sementara dia diantar sama mbak-mbak."
"Mengingat masa itu, sangat lucu sekali. Habis itu kita putus, dan sekarang Nadut masih suka ngechat aku. 'Apakabar?' katanya. Aku cuma membatin, 'Apa apaan nih orang,"
Aku selalu tersenyum selama dia bercerita. Mungkin Barikli mengira kalo aku sangat antusias dengan ceritanya. Tapi faktanya dibalik senyumku aku menyimpan rasa ketidakpedean yang sangat tinggi. Aku gak pede dengan diriku yang gak sebanding dengan mantan pacarnya. Mantannya seorang putri Kyai, sementara aku, cuma anak Bapak.
Aku merasa rendah karena berpacaran dengan seorang most wanted pada masanya.
"Kenapa?" tanyanya tiba tiba. Aku menggeleng cepat, gak sadar kalo senyumku luntur, dan berganti dengan raut muka layu.
"Kamu dulu terkenal banget. Banyak penggemarnya."
"Kamu bukannya iya? Kamu kan cantik."
Menangkap kata 'cantik' pipiku menghangat. Dia memujiku, semoga pujian itu tulus darinya. Lalu, tanganku diraihnya, digenggam dalam kepalan tangannya yang besar. Sentuhan sentuhan fisik seperti ini yang membuatku berdesir, gak hanya darahku saja, juga bagian perut yang serasa ada kupu-kupu terbang. Bahkan kadang, saking intinmnya kami, membuat bagian bawah tubuhku panas, lalu menebar keseluruh tubuh, aku merasakan nikmat yang tertahankan.
"Besok aku libur Mbak," kataku pada Mbak Ami, rekan kerjaku.
Kening Mbak Ami mengernyit, lalu pertanyaan balik terlontar, "Loh mau kemana kamu?"
Aku cuma meringis, lalu meneruskan menghitung uang. Sudah jam tiga, waktunya totalan dan berganti shift.
###
"Sabrina, jadi kan?" tanya Barikli dari telepon. Aku gak tau cowok itu sekarang ada dimana dan lagi apa. Sementara aku disini menunggu dengan perasaan tak tenang, ditambah kakiku yang keram akibat berdiri kurang lebih satu jam.
"Ki, aku udah disini." kataku singkat. Aku gak mau memberondongnya dengan pertanyaan yang menganggu fikiranku. Cukup, hanya dengan memberitahu kabar itu, berharap kalo dia segera datang kesini menjemputku.
"Aku kesitu Sab, tunggu."
Setelah itu sambungan telepon terputus. Menandakan kalo yang baru saja diucapkan sedang diwujudkan.
Kembali memandangi kendaraan yang simpang siur, seperti yang kulakukan semenjak satu jam yang lalu aku tiba disini. Menghembuskan nafas menghilangkan rasa ketidakenakan dan kekhawatiranku akibat teringat kejadian sebelum aku tiba disini.
Kepada Ibu aku berbohong. Berpamitan berangkat kerja seperti biasanya, padahal aku gak kerja. Ini alasan mengapa kemarin aku izin libur. Aku akan berlibur berdua dengan Barikli.
Rasa mengganjal di dada masih ada, juga rasa takut kalo Ibu tau yang sebenarnya, menambahi beban yang merasuk jiwa. Harusnya, aku bahagia bisa jalan-jalan berdua bersama sosok yang kucinta.
Berkali-kali dalam hati, kata maaf terucap. Saat ini, itu dulu yang bisa kulakukan, nanti kalo aku sudah tiba di rumah lagi, aku akan meminta maaf kepada Ibu secara langsung. Tentu, aku gak akan mengaku kalo aku sudah berbohong. Demi terciptanya keamanan untukku dan juga Barikli.
"Sab, maaf ya. Aku terlambat lama banget," kata Barikli ditengah aktivitasnya menyetir.
Aku diam. Gak mungkin kalo aku gak kesal atas apa yang dia lakukan. Aku bukan tipe orang yang langsung lupa dengan yang namanya kesalahan. Sekalipun orang itu sudah beribu kali minta maaf, gak akan bisa menghapuskan kesalahan yang tertanam di memori otakku.
"Aku mau ngebut. Kamu pegangan,"
Lalu satu tangannya menarik tanganku, melingkarkan tanganku di pinggangnya.
Responku hanya pasang muka cengoh, lengkap dengan bibir menganga. Saat motor yang kami tumpangi mulai melaju dengan kecepatan tinggi, aku mulai melingkarkan tanganku satunya, memeluk dengan kencang pinggangnya.
"Ki, aku takut....." kataku panik. Pegangan tanganku di pinggangnya gak mengendur. Angin menerpaku dengan kencang, sekencang laju motor yang dikendalikannya tanpa memikirkan rasa berkecamuk campur ketakutan di jok penumpang.
"Ki, aku takut..... " kataku lagi dengan setengah berteriak. Mungkin suaraku gak terdengar ke telinga Barikli, maka dari itu aku mengulang lagi.
Aku gak mau mati karena kecelakaan disini. Aku gak mau kalo aku mati, aibku terbongkar karena ditemukan tengah bersama Barikli. Bapak dan Ibu pasti sangat kecewa dan malu karena anaknya mati dalam keadaan berdua bersama cowok lain.
Kecepatan motor berkurang. Tangan Barikli mengenggam tanganku yang berada di pinggangnya. Mengelus-elus memberikan ketenangan, lalu bibirnya berkata, "Nggak papa. Kita gak cepet nyampek kalo pelan-pelan,"
"Tapi, jangan ngebut banget. Aku gak mau kita mati dijalanan," seruku.
"Mati di tangan Tuhan Sab,"
"Tapi kita bisa menghindari Ki,"
"Itu takdir mubram. Gak bisa diubah,"
Aku terdiam. Barikli benar. Jodoh, rezeki, kema
Segala doa kuucap dalam hati, berserah diri, tapi semoga kami selamat sampai tujuan. Memejamkan mata karena gak mau melihat jalanan depan, Barikli tertawa, meski suaranya agak samar, karena diterjang angin kencang.
"Jangan merem. Ntar kamu buka mata, tau tau udah beda alam,"
Seketika mataku terbuka, mengerucutkan bibir karena gak suka dengan perkataan Barikli yang sebenarnya adalah candaan.
Dua jam berlalu, kami memasuki wilayah Blitar. Kota ini terasa lebih dingin dari Trenggalek, ditambah deru angin yang menusuk kulit, membuatku melepaskan tanganku dari pinggang Barikli, dan berganti memeluk tubuhku sendiri. Laju motor berkurang semenjak tiba di kota ini, aku gak tau mengapa cowok ini mendadak mengurangi kecepatan padahal tempat tujuan kami masih jauh.
"Kemana?" tanyaku begitu motor berhenti di sebuah tempat parkir depan bangunan entah tempat apa.
"Masuk ke dalam," katanya lalu mengisyaratkanku agar turun dari boncengan.
"Bukannya kita mau ke kampung coklat,"
"Mampir sini dulu,"
Bodohnya aku. Aku baru sadar kalo tempat ini adalah makam bung Karno. Pengunjungnya lumayan ramai, meski bukan hari libur.
"Naik keatas. Makamnya ada di atas,"
Cowok itu berlalu, memintaku agar mengikutinya. Aku baru pertama kali kesini, dan jujur aku sangat kagum. Di tempat ini aku merasakan jiwa-jiwa cinta tanah air menggebu, jiwa kepatriotisme mengalir, juga teringat akan perjuangan Bung Karno semasa dulu. Tempat ini bersejarah.
"Ayo,"
Cowok itu berjarak beberapa meter di depanku, menyadarkanku dari rasa kekaguman dengan pilar-pilar besar yang ada di sisi bangunan.
"Untuk kali ini aku yang imamin, kita kirim doa,"
Perkataan itu membuat hatiku berdesir. Kagum dengan Barikli yang menurutku sangat gentlemen berani memimpin doa. Padahal dulu, waktu masih pelatihan, cowok itu sama sekali gak berani menjadi imam saat kami para peserta akan menunaikan sholat dzuhur. Selalu menghindar, lalu Ilham yang akhirnya maju. Pernah kupergoki saat dia sedang sholat, satu tangannya dengan santai membenahi kaos bagian belakangnya yang tersingkap saat akan sujud. Padahal bergerak tiga kali diluar gerakan sholat termasuk hal yang membatalkan sholat.
Pernah terpikirkan gak sih, kalo aku bakalan bisa mendengarkan Barikli mengirim do'a untuk orang yang sudah tiada? Nyatanya, kini kesempatan itu ada untukku. Gak main main, lafadz yang diucapkannya sangat fasih, juga bacaannya jelas hukumnya. Didikan seorang hafizah memang gak pernah gagal.
Kurang apalagi dia sebagai calon menantu idaman bapak?
"Kekiri dikit Sab," Arahannya kepadaku setelah aku setuju dengan keinginannya untuk memotretku tepat di pendapa yang bertuliskan, "makam bung karo".
Aku menuruti arahannya, menggeser badanku ke kiri, dan berpose sesantai mungkin. Aku mengaku, kalo aku agak grogi. Untuk pertama kalinya Barikli menjadikan aku sebagai obyek bidikannya.
Cowok di seberang itu tampak fokus dengan kameranya.
"Udah?" Teriakku menghalau angin yang berderu kencang. Barikli tersenyum, mengangguk, lalu mengacungkan jempolnya.
"Satu kali lagi. Senyumnya yang lebih lebar, bisa?" Pintanya yang membuatku langsung menegakkan tubuh, padahal aku baru saja ancang-ancang untuk duduk.
"Senyum lebar gimana?" tanyaku bingung. "Ketawa?"
Bukannya menjawab, Barikli mendekat. Cowok itu tampak berantakan namun sama sekali gak mengurangi kadar ketampanannya. Rambutnya tampak acak-acakan, sementara keningnya mengalir penuh air keringat. Ujung hidungnya mengkilat, menggodaku untuk mendaratkan jemariku disana, ingin mengusapnya.
Tanpa kuduga, tangannya menarik ujung hijabku yang tersingkap. Menutupi sebagian leherku yang terlihat akibat angin kencang yang membuat hijabku terbang dari tempatnya.
"Pulang yuk. Kita ngadem ke kampung coklat," ujarnya, lalu menggenggam tanganku. Aku termenung, meresapi apa yang baru saja terjadi, lalu spontan mengangguk setelah sadar, kalo Barikli mengajakku pergi.

Comentário do Livro (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes