logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

11. Aku Berharap Mati

"Tau kan Ca?"
Aku mengerutkan kening, memahami pertanyaan Ratna setelah ceritanya yang panjang lebar mengalir di kedua telingaku.
"Nike yang mana sih? Yang cantik? Yang gak pake hijab ya?" tanyaku balik, untuk memastikan apakah seseorang yang dimaksud Ratna sesuai dengan yang kufikirkan sekarang.
"Yap, betul."
"Dia hamil?" tanyaku lagi. Padahal jelas Ratna sudah menceritakan dengan gamblang berita yang kini lagi viral di seantero sekolah.
"Iya. Tiga bulan empat bulanan mungkin."
"Bukannya kemarin masih ikut classmeet voli?" tanyaku sambil menerawang mengingat cewek itu. Dia dengan lihat menerima smash an dari lawan, lalu menyerang balik hingga bola lepas dari kuasa lawan.
"Iya. Gak nyangka kan. Emang gitu Ca. Katanya sih, kalo hamil diluar nikah, hamilnya beda. Gak nikmat kayak hamil halal."
Aku manggut manggut. "Lahirannya juga cepet dan gak sakit kan? Banyak berita di tivi yang sampai bayinya di buang gegara begituan."
Ratna bergidik ngeri. "Amit-amit."
Sekilas memori itu terbesit, disela air mataku yang mengalir dengan bibirku mengatup tanpa suara.
Nihil. Gak ada satu pesan pun dari Barikli. Pesan yang kukirim seminggu yang lalu, hingga kini gak ada balasan meski hanya satu huruf saja.
Dimana dia? Gak mungkin dia lari dari tanggung jawab, setelah aku memberikan kepercayaan penuh kepadanya.
"Bentar ya Ca. Aku ngomong dulu ke keluargaku. Gak mungkin aku bilang kalo aku hamilin kamu. Aku harus cari alasan dulu, biar mereka percaya kenapa aku secepat ini harus nikahin kamu."
Kalimatnya masih kuingat hingga sekarang. Aku mempercayainya, lebih dari aku percaya mengapa dulu aku dengan mudah melepaskan keperawanku untuknya, hingga semua itu berbenih subur di rahimku.
Aku dengan sabar menunggu kabar lanjutan darinya. Tiga hari yang lalu aku berpositif thinking kalo mungkin kuota internetnya habis, alhasil dia gak bisa membalas pesan Facebookku. Sehari setelahnya, tetap gak ada kabar, dan aku mencoba menelponnya. Hanya suara operator yang kudapat.
Hingga akhirnya satu minggu setelah itu, aku sudah gak tahan. Setengah kepercayaanku padanya mulai hilang, aku gak bisa terdiam, dengan kabarnya yang abu-abu.
Aku gak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Sebelum tanda-tanda kehamilanku dicurigai Bapak Ibu, aku harus bertindak lebih dulu.
"Ada apa?" tanya suara di sebrang sana dengan nada ketus.
"Barikli dimana Gus?" tanyaku to the poin.
Aku gak peduli. Rasa maluku sudah kutebas habis.
"Barikli? Ngapain kamu nanyain dia?"
Aku terdiam. Selama ini, Teman-teman pelatihanku gak ada yang tau kalo aku dan Barikli memiliki hubungan istimewa, termasuk Bagus, teman dekatnya Barikli. Aku yakin, Barikli gak sebocor itu menceritakan hubungan kami kepadanya.
"Dia dimana?"
"Aku gak dipamitin secara resmi. Tapi setauku, dia pindah ke Malang."
Bibirku bergetar, air mata yang tadi sudah kuusahan berhenti, kembali meneteskan bulir.
"Sejak kapan?"
"Satu minggu yang lalu."
"Kamu dimana?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Di rumah."
"Anterin aku ke rumahnya Barikli."
Orang yang hamil diluar nikah, gak bakal bisa merasakan nikmatnya kehamilan. Gak bakal bisa merasakan yang namanya morning sickness, muntah-muntah, bisa juga gak bisa merasakan nikmat ngidam.
Itu keuntungan bagiku. Kalo aku gak bisa merasakan semua itu, kehamilanku berpeluang kecil diketahui orang rumah. Itu bisa membantuku selama aku menemukan Barikli. Cowok itu harus kubawa pulang, dan kutagih pertanggungjawaban.
Sebelumnya aku gak pernah membayangkan kalo jalan hidupku disisipi dengan skenario ini. Sama sekali tidak. Aku hamil diluar nikah, sementara yang menghamili kabur ke luar kota, tanpa kabar, sengaja membuatku mengeluarkan sumpah serapah kejengkelanku atas perbuatannya itu.
"Ada apasih?"
Nekat. Aku sungguh mendatangi rumahnya Barikli diantar Bagus. Cowok itu selalu mengulang pertanyaannya sedari tadi. Alih alih menjawab pertanyaannya, aku malah mengalihkan pembicaraan.
"Sampai sini ya. Aku pulang ada urusan. Rumahnya Barikli di sana, cat warna putih,"
Mataku mengikuti arah telunjuk Bagus, dan menemukan sebuah rumah ukuran lumayan besar tampak sepi tanpa penghuni.
Sepeninggal Bagus, aku memberanikan diri menuju ke rumah itu.
"Nyari siapa dek?"
Selorohan itu membuatku terkejut. Mencari sosok pemilik suara, mataku menyipit saat melihat seorang wanita paruh baya berdiri di samping pagar pembatas, antara rumah Barikli dan rumah lainnya.
"Bariklinya ada Bu?" tanyaku langsung.
"Kamu siapanya Barik? Pacarnya?" Wanita itu menanyaiku balik, dan aku gagu untuk menjawab apa.
"Teman Bu. Ada urusan. Bariklinya susah dihubungi, jadi saya kesini," jawabku akhirnya. Kini, berbohong sudah menjadi kebiasaanku.
"Ohhhh.... "
Aku mengangguk.
"Satu rumah pergi semua Dek."
"Kemana ya Bu?"
"Ke Malang. Barik kan mau daftar TNI,"
Hatiku mencelos. Mataku berkaca. Aku memaksa agar air mataku gak jatuh saat ini juga.
"Kakaknya yang setiap hari kesini, ngasih makan ayam, sambil bebersih juga." Suara wanita itu terdengar samar di telingaku, kalah saing dengan suara kegundahan dalam otakku. Begitu aku bisa menguasai keadaan, aku pamit.
Rasanya berat, mendengar kenyataan itu dari orang lain, bukan dari dirinya langsung. Kejengkelanku tambah berkali-kali lipat, dalam hati aku gak henti memaki betapa brengseknya Barikli.
Penyesalan datang, diikuti dengan pengandaian yang hanya bisa kuandai-andai kalo saja semua itu gak terjadi.
Aku butuh malaikat Izrail mencabut nyawaku sekarang. Aku gak butuh kehidupan.
Mungkinkah kalo aku memberanikan diri untuk memberitahu kakaknya Barikli saja, bahwa adik kesayangannya telah menghamiliku. Dengan begitu, usahaku untuk menemukan Barikli akan berhenti sampai sini, dan tinggal menunggu yang selanjutnya akan terjadi.
Mataku yang berkaca menerawang. Kalo aku melakukan itu, seluruh keluarganya akan tau, dan pasti keluargaku akhirnya tau. Bahkan bisa juga semua orang tau. Padahal, aku berusaha menutupi aib ini serapat mungkin. Rencanaku untuk menikah dengan Barikli secepat mungkin adalah untuk menutupi kehamilanku. Kalo aku mengimplementasikan rencanaku, maka hidupku yang sudah hancur akan lebih hancur lebur.
"Kekuatan manusia itu ada di hatinya. Ketahuilah bahwa hati itu milik Tuhannya. Apabila ada Tuhan dalam hatinya, maka segala kekuatan ada pada kita."
Sederet kalimat itu yang terucap, setelah seutas tasbih berwarna biru muda kuterima.
Anggap saja itu adalah jawaban dari pertanyaan yang ingin kulontar tentang alasan mengapa dia memberiku tasbih yang sebelumnya ajakan untuk berpacaran dengannya ditawarkan kepadaku.
Cukup lama aku terdiam mencerna kalimat panjangnya, tapi sulit kutemukan inti dari kata mutiara itu.
"Aku gak memberi kamu bunga, atau coklat sebagai tanda cinta. Tasbih itu lebih berguna untuk mengingat siapa yang menumbuhkan dan menyampaikan perasaan itu. Jadi, ingat Allah ketika kamu ingat aku,"
Bulshit. Itu kata yang kuumpat sekarang, teringat akan kejadian beberapa bulan yang lalu.
Kalo teringat cowok itu, aku semakin teringat akan dosa yang dia lakukan kepadaku.
Aku frustasi. Tasbih pemberiannya yang dengan bodohnya kusimpan sampai sekarang, kulempar keluar jendela, entah jatuh di mana. Semoga jatuh ke kandang sapi milik tetangga, dan gak ada jejaknya.
Percuma. Perzinaan itu sudah terjadi, dan sekarang aku hamil anaknya. Gak sia-sia kami saling mendesah dan bermandikan keringat malam itu. Harusnya aku bahagia karena akan memiliki anak, tapi tidak. Rasanya aku akan mati saat bayi ini ada disaat aku berstatus lajang.
Dan sialnya, cowok itu menghilang. Ya Tuhan.
###
"Ca, kenapa? Sakit?"
Aku bersembunyi di dalam selimut. Mengacuhkan perkataan Ibu, dengan air mata yang merebak.
"Kamu gak kerja?"
Suara Ibu masih terdengar. Sosoknya pasti tengah berdiri di depan pintu kamarku, dengan raut wajah khawatir.
"Caca masuk siang Bu." kataku dengan suara parau. Akhir-akhir ini, aku gak bisa tidur nyenyak, dan selalu terbayang bayi di dalam kandunganku yang tanpa bapak, lalu berujung penyesalan yang kutunjukkan dalam bentuk tangisan.
Bagaimana aku harus mencari jalan pintas masalahku ini?
Aku mengutuk cowok brengsek itu semoga mati di kota orang. Semoga apa yang dia harapkan gak bisa terwujudkan karena karma menyia-nyiakan anaknya di rahimku.
Barikli bilang, dia sama sekali gak tertarik dengan profesi abdi negara. Tapi kenyataannya, cowok itu mengejar gelar itu di tengah tanggungjawabnya yang hingga kini masih kutunggu.
Kapan cowok itu menyempatkan diri menambal gigi depannya yang renggang, di sela kebingungannya mencari jalan keluar atas masalah yang menimpa kami. Atau mungkin, dia sama sekali gak bingung dan gak frustasi?
Masih bisakah aku mengharap cowok itu kembali dan menunaikan kewajibannya untuk menikahiku?
"Kalo hamil belum ada tiga bulan, ngomong ke saya. Saya bantu gugurkan. Hamil belum ada tiga bulan itu, ruhnya belum ditiup di masukkan di situ, jadi kalo mau menggugurkan, kamu gak berdosa,"
Kalimat yang dulu dilontarkan dengan nada menggebu oleh guru BK ku saat SMK, kini kuingat lagi. Entah atas dasar apa dan dalil darimana beliau bisa mengatakan itu, tapi sangat logis jika difikir sedikit dalam. Menggugurkan kandungan lebih dari tiga bulan, sama saja dengan membunuh nyawa manusia. Jadi, kalo sebelum kandungan berusia tiga bulan sudah digugurkan, maka gak membunuh nyawa, dan gak berdosa.
Haruskah aku menggugurkan kandunganku saja sekarang? Daripada menunggu si brengsek yang tanpa kepastian dan sebelum kehamilanku berusia tiga bulan.
Tidak Sab. Kamu masih waras daripada orang diluar sana yang membunuh bayinya sendiri. Tapi kalo tidak, bagaimana kamu akan mengatasi masalah ini?
Aku mencoba tenang, meski rasa takut merajalela. Apa penyelesaian dari semua ini adalah dengan Barikli menikahiku? Kalo Barikli gak bisa menikahinya, apa artinya aku gak bisa menyelesaikan masalahku? Bisakah Barikli dibuang saja, lalu aku menikah dengan orang lain selain dia?
Benar. Aku bisa menikah dengan orang selain si brengsek itu. Dengan begitu, kehamilanku akan tetap rapi kututupi. Meskipun di suatu malam pertama nanti, suamiku bertanya, mengapa saat dia memasukiku rasanya aku seperti sudah gak perawan. Itu urusan belakangan.
Sekarang, tugasku hanya mencari sosok yang akan menikah denganku.
"Pak Adza dimana?" tanyaku tergesa begitu bertemu dengan orang yang pertama kali kutemui semenjak melangkahkan kakiku di gedung ini.
"Pak Adza siapa?" Mahasiswi yang kutanya malah bertanya balik. Matanya menatapku dari kaki hingga ke kepala, seolah menilai penampilanku.
"Dosen. Dia dosen disini, tapi aku gak tau dia dosen apa,"
"Lagi ngajar deh kayaknya. Coba ke ruang sana, tadi kalo gak salah lihat, beliau disana."
Aku manggut-manggut dan pergi setelah mengucapkan kalimat terimakasih. Langkahku tergesa, bahkan beberapa kali bahuku mungilku terguncang karena bertabrakan dengan para mahasiswa yang ramai berjalan di koridor.
Gak punya malu, tanpa sopan santun, aku masuk begitu saja ke ruangan yang ditunjuk mahasiswi tadi. Dan perbuatanku membuat seluruh orang yang ada di ruangan terkejut. Mereka menatapku dengan tatapan yang sama. Lalu, terdengar bisik-bisik yang jelas mereka sedang menggunjingku.
Mengacuhkan mereka, aku kembali berjalan menuju satu sosok yang menjadi tujuanku datang kemari. Laki-laki itu tampak bingung, jelas terlihat dari kerutan di keningnya.
Mengatur deru nafasku, tanganku mengepal kuat, mengumpulkan tekad agar apa yang kurencanakan bisa terwujud sempurna.
"Sabrina, ngapain kesini?" Tanyanya. Panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Aku ingat, dulu saat dia dengan menggebu datang ke rumahku untuk mengajakku menikah, kata 'Dek' menjadi panggilannya untukku. Dulu, aku bergidik jijik saat panggilan itu diserukannya kepadaku. Tapi, sekarang saat panggilan itu gak diserukannya lagi, aku merasa sangat aneh dan bertanya tanya.
"Aku mau Pak." kataku dengan yakin.
Kedua alis tebalnya bertaut.
"Aku mau nikah sama Anda. Ayo Pak, kita nikah. Sekarang, ayo kita nikah." kataku lagi dengan menggebu. Tanganku terasa dingin, bibirku bergetar, mataku yang menatapnya penuh harap, mulai berkaca.
Orang-orang disekelilingku sedari tadi kuanggap gak ada, karena disini urat maluku sudah putus. Padahal, mereka tampak nyata, sedang menggunjingku. Mengomentari apa yang kulakukan, bahkan beberapa dari mereka ada yang merekam aksi tidak tau maluku dengan handphone milik mereka.
"Kamu kenapa?" Tanya Adza dengan raut muka masih penuh kebingungan. Dia mendekat, dan aku semakin menunduk, menyembunyikan air mataku yang mengalir semakin deras. Gak ada gunanya membicarakan harga diri disini. Harga diriku sudah gak ada harganya semenjak aku menyerahkan tubuhku kepada Barikli malam itu. Bahkan, urat maluku, sudah malu menempel lagi di ragaku. Mereka yang menjaga kehormatan ragaku, sudah melepaskan diri, tanda gak sanggup memiliki majikan kotor sepertiku.
"Kemarin Anda mengajak saya nikah kan?"
Sebelumnya, aku gak memikirkan kemungkinan terburuk yang akan kuterima kalo aku melancarkan rencanaku. Aku gak berfikir, apakah tawaran Adza masih berlaku, dan apakah laki-laki itu masih mengharapkanku menjadi istrinya setelah dengan paksa kutolak berulang kali.
"Sab, dengerin saya."
Suara serak itu membuatku mendongak. Pandanganku blur akibat air mataku yang masih menggenang. Dengan tatapan sayu, mata itu menatapku berbeda, tidak seperti biasanya dia menatapku tajam. "Saya sudah nikah."
Termasuk kenyataan itu. Aku gak pernah memperkirakan itu sebelumnya. Kenyataan yang bahkan lebih pahit daripada rencana Tuhan yang diimplementasikan-Nya di kehidupanku.
Tubuhku lunglai, lalu dunia gelap.

Comentário do Livro (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    9d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes