logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

4. KANURAGAN.

Seminggu setelah panen ketika menjelang subuh, Subiarsih telah bangun. Setelah sholat
subuh, ia membangunkan Subiyanto lalu diperintahkan untuk bersholat. Seusai sholat, Subiarsih
mengajak Subiyanto ke halaman belakang rumah. Mereka berhenti di bawah pohon asem yang
besar.
“Biyanto. Mulai hari ini, ibu akan mewariskan ilmu yang dulu dimiliki Mbah Sapuan.“ kata Subiarsih
yang berdiri di depan anaknya.
“Yabu. Insyaallah Biyanto siap.“ jawab Subiyanto.
“Bagus! Kamu harus berusaha untuk menguasai ilmu Mbah Sapuan karena menurut Mbah hanya
kamu satu-satunya cucu yang pantas dan mampu menerimanya.“ balas Subiarsih.
“Mengapa begitu bu?“ tanya Subiyanto.
“Menurut Mbah Sapuan, kamu adalah satu-satunya cucu yang memiliki kekuatan cakra yang kuat
dan unggul bila dibandingkan cucu yang lain.“ jawab Subiarsih sambil memegang bahu Subiyanto.
“Ooo begitu!“ balas Subiyanto.
“Tapi ingat! Menurut Mbah Sapuan, selama kamu menjalankan sholat dan menjauhi laranganNya.
Maka kekuatan ilmu itu akan menjadi positif dan akan berguna bagi sesama.“ tegas Subiarsih.
“Biyanto akan mengingatnya.“ sahut Subiyanto.
“Sekarang, ibu akan mengajarkan ilmu yang pertama. Ilmu ini disebut Saipi Angin. Kegunaannya
untuk meringankan tubuh. Ia akan berguna untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan
cepat. Jadi kamu dapat berlari dengan cepat atau melawan gravitasi bumi kalau mampu
menguasainya.“ terang Subiarsih.
“Biyanto memahami ibu.“ balas Subiyanto.
“Untuk menguasai saipi angin, kamu harus bertapa di atas pohon ini selama 40 hari. Kamu hanya
boleh memakan sebuah pisang emas dan minum air putih. Ibu akan memberikan semua itu
menjelang mahgrib.“ jelas Subiarsih.
“Biyanto siap.”jawab Subiyanto.
“Kamu hanya boleh duduk bersila di dahan itu saja dan tak bergerak. Hanya tanganmu yang boleh
dipakai untuk mengambil pisang emas dan air minum yang akan ibu berikan dengan galah itu.“ lanjut
Subiarsih sambil menunjuk galah yang bersandar di pohon asem itu.
“Ya bu.“ jawab Subiyanto.
“Kamu tidak boleh tergoda oleh apapun dan harus mampu menahan hawa nafsu serta menahan rasa
bosan dan sakit di badan.“ terus Subiarsih.
Menjelang matahari terbit, Subiyanto memanjat pohon asem dan duduk bersila di salah satu
dahannya. Dengan diawali dengan ucapan bismillah, ia mulai menjalani puasa 40 hari sebagai usaha
menguasai saipi angin. Tak lupa ia melafalkan rapal saipi angin yang diajarkan ibunya. Pada pagi hari
menjelang matahari terbit dan ketika matahari terbenam, rapal saipi angin diucapkan. Tak lupa ia
menjalankan sholat lima waktu secara tayamum. Pada hari pertama hingga ke lima terasa berat
karena Subiyanto harus melawan hawa nafsu dan menguji kekuatan fisik. Deraan panas di siang hari
dan dingin di malam hari menyiksa tubuh mungilnya. Ketika matahari tepat di atas kepala, panas
terasa menyiksa walau rimbunannya dedaunan pohon asem sedikit menaungi. Sedangkan ketika
malam, dinginnya angin malam menyusup hingga ke tulang sumsum sehingga menimbulkan gigil di
tubuh. Namun setelah melewati lima hari pertama, Subiyanto menjadi terbiasa untuk menahan
panas sinar matahari, dingin angin malam dan lapar di perut. Dengan ketenangan dan semangat
tinggi, ia menjalankan latihan. Niat hati tertuju pada saipi angin. Ia memiliki keyakinan untuk
menggapainya. Namun ujian belum usai, cobaan mulai datang dari mahkluk kasat mata. Pada
awalnya, Subiyanto mendengar suara tangis dari rimbunan pohon bambu yang lebat. Tak lama, ia
mendengar tangisan bayi.
“Jangan hiraukan siapapun dan apapun yang menghalangi niat hatimu!“ pesan ibunya terngiang di telinga.
“Aku harus mampu menyelesaikannya!“ batin Subiyanto.
Selang beberapa menit, ia mendengar suara yang mirip suara ibunya yang memanggil dirinya.
“Biyanto! Ke sini nak! Ibu minta tolong.“ seru suara itu dari rerimbunan bambu.
Berkali-kali, suara yang mirip suara ibunya menggema bahkan suara itu menjadi suara yang
menyayat hati. Subiyanto hampir berdiri untuk turun dari pohon asem itu untuk menolong ibunya.
Namun ia kembali teringat pesan ibunya, “Biyanto. Apapun yang terjadi kamu jangan turun!“
Memang benar, kalau suara itu hanyalah cobaan. Ketika Subiyanto mengabaikan dan tetap
berkonsentrasi dengan saipi angin, suara itu berubah menjadi tawa mengerikan dan menyeramkan.
Hingga tiba-tiba angin berhembus kencang di malam itu. Lolong anjing melengking di
halaman depan rumahnya. Tiba-tiba di hadapannya berdiri mahkluk kasat mata berwujud
perempuan berambut panjang dengan mata tajam. Wajahnya menyeramkan dan ia tertawa hingga
Subiyanto melihat giginya yang kehitaman. Walau bulu roma berdiri, Subiyanto tetap duduk bersila.
Ia mulai melafalkan ayat-ayat kursi digabung dengan rapal saipi angin. Wajah perempuan itu
menjadi bengis kala mendengar ayat kursi dilafalkan. Tangannya yang berkuku tajam diayunkan
untuk mencabik leher Subiyanto. Namun cabikan itu seperti membentur benda keras. Kuku
tajamnya tak mampu menyanyat kulit leher Subiyanto. Ia melakukannya berulang-ulang bahkan ia
melakukannya dengan ke dua tangannya. Dari depan, samping kanan dan samping kiri, ia berusaha
merobek kulit Subiyanto diiringi tawa keras yang menyeramkan. Tetapi tawa keras itu berubah
menjadi suara mengaduh kala kukunya hendak menyentuh kulit Subiyanto. Cabikan itu tidak hanya
membentur benda keras tetapi juga menimbulkan sakit pada tangannya sendiri. Setelah mencoba
berkali-kali dan mengalami kegagalan, mahkluk itu pergi meninggalkan Subiyanto sambil tertawa.
Ia lega dan bersyukur pada Allah lalu kembali berkonsentrasi dalam semedi untuk menguasai
saipi angin. Angin dingin yang berhembus telah mampu diatasi. Tubuh mungilnya tak menggigil lagi.
Cahaya bulan yang menyinari bumi memberi sedikit penerangan dan menerpa tubuh Subiyanto. Ia
memejamkan mata dan pikiran dalam konsentrasi. Sayup-sayup terdengar lolong anjing bersahut-
sahutan di kejauhan.Tiba-tiba seekor burung hantu hinggap di dahan yang berada di depan
Subiyanto. Matanya menatap tajam. Subiyanto pun menatap mata burung hantu itu. Ia menunggu
apa yang akan dilakukan burung hantu itu. Tubuh burung itu tak terlalu terlihat jelas namun bola
matanya begitu jelas terlihat. Subiyanto tetap berkonsentrasi dalam semedi namun ia tetap
mewaspadai burung hantu itu. Tak lama berdiri di samping burung hantu itu, seorang kakek yang
wajahnya mirip dengan Sapuan.
“Biyanto.“ sapa kakek itu.
Subiyanto diam tak menjawab. Hatinya penuh dengan Tanya.
“Siapakah kakek ini? Benarkah Mbah Sapuan?“ batinnya.
“Jangan ragu! Aku menyukai tekad mu!“ ucap kakek itu lagi.
Subiyanto hanya memberi senyum namun ia tetap menjaga hati untuk tidak meninggalkan
semedinya.
“Biyanto. Saipi angin menjadi landasan bagi ilmu yang lain. Kalau siang kamu menyerap energi
panas dari matahari, sedangkan malam kamu menyerap energi dingin dari bulan. Itu merupakan
upaya menyatukan dua energi dalam tubuhmu. Penyatuan keduanya akan menjadi kekuatan dasar.“
terang kakek itu.
Subiyanto tak menjawab namun ia menganggukkan kepala.
“Biyanto. Janganlupa! Kamu harus menjalankan sholat lima waktu dengan tekun. Alquran dan sholat
adalah landasan bagi mu dalam mendarma-baktikan semua ilmu yang pernah kakek miliki.“ lanjut
kakek itu.
Subiyanto hanya mengangguk. Ia tetap berkonsentrasi dalam semedinya sambil mendengar semua
pesan kakek itu dalam hati. Ia ingin berdiri dan memeluk kakek itu. Hatinya merindukan Sapuan yang telah lama meninggal. Subiyanto tak akan melupakan kebersamaannya dengan Sapuan. Lagipula,
Subiyanto sangat mengidolai ayah dari ibunya itu.
“Simpan saja keinginan hati mu. Kakek tahu kamu ingin memeluk tetapi tetaplah berkonsentrasi.
Ingat! Kelak kalau kamu menguasai ilmu kakek. Maka kamu harus membela kebenaran dan kaum
yang lemah.“ kata kakek itu.
Subiyanto mengangguk.
Tiba-tiba kakek itu menghilang dari pandangan. Walau hati terasa berat karena kepergian
kakek itu, Subiyanto tetap menjaga semedinya. Ia memberi senyum pada burung hantu yang masih
bertengger. Senyum itu berbalas dengan suara kicau burung hantu yang menggema. Lalu ia juga
pergi meninggalkan Subiyanto. Bulan purnama yang kian ke barat menampakkan keindahannya.
Sinarnya menerpa tubuh Subiyanto di antara sela-sela daun pohon asem.
Sementara Subiyanto sedang mewarisi ilmu Sapuan. Jauh di desa Mutih, pertarungan sedang
terjadi antara Suntoro dan Sudarsono. Persawahan yang usai dipanen menjadi medan tarung dua
saudara kandung itu. Suntoro merupakan kakak sulung Sudarsono. Keduanya adalah kakak Subiarsih.
Kakak-beradik itu sedang memperebutkan tanah warisan Sapuan. Dulu keduanya yang
memprakarsai untuk merebut hak waris Subiarsih dan adik perempuannya. Lalu kedua menguasai
tanah warisan Sapuan. Ketika mereka berhasil menguasainya bersama dua adik lelakinya yang lain,
Keduanya menampakkan keserakahannya. Kedua saling berebut untuk mendapat bagian yang lebih
banyak. Sutadi -adik lelaki yang terkecil- melepaskan haknya setelah melihat keserakahan kakak-
kakaknya. Ia memilih untuk pindah dari rumah yang dibangunnya di tanah ayahnya. Dengan
bantuan, Subiarsih dan adik perempuannya. Ia berhasil memiliki rumah dan sawah di Bungo
bersama istri dan ketiga anaknya. Tak lama, tiga bersaudara itu mendengar perselisihan antara tiga
bersaudara. Suntoro yang menjadi anak sulung ingin mendapat bagian yang paling banyak.
Sedangkan Sudarsono dan Sulikhin meminta untuk dibagi dengan adil. Ketiganya sempat bertarung,
Suntoro dikeroyok 2 adik lelakinya. Ia tak dapat dirobohkan walau dikeroyok. Namun ia tak dapat
merobohkan lawannya. Pertarungan berakhir seri. Mereka membubarkan diri dari persawahan itu.
Kemudian terjadi perang dingin di antara dua kubu. Hingga akhirnya Sulikhin memilih untuk
meninggalkan tanah warisan ayahnya juga setelah Subiarsih memberi nasihat. Sutadi dan Sulikhin
memohon ampun pada Sulastri dengan sujud-sungkem. Sulikhin pindah ke Desa Jetak, Demak. Ia
ikut bekerja bersama Jaelani menjadi tukang bangunan di Semarang.
Sedangkan Suntoro dan Sudarsono melanjutkan perseteruannya. Masing-masing bersikukuh
pada kehendaknya. Maka perang dingin itu berlanjut dengan pertarungan malam itu. Suntoro yang
lebih kuat mendapat perlawanan sengit dari Sudarsono yang membawa belati. Sudarsono sadar
kekuatan Suntoro dan tak mampu menghadapinya dengan tangan kosong. Maka ia membawa belati
yang dulu Pernah dipakai ayahnya untuk bekerja di ladang. Pada awalnya, ia mencoba melawan
kakaknya dengan tangan kosong. Namun setelah mendapat bogem didagu dan tendangan didada, ia
menggunakan belati. Dengan dada yang sedikit sesak, ia membabatkan belati ke arah kakak
sulungnya. Sabetan yang mendadak itu membuat luka di lengan Suntoro.
“Bangsat kamu Darsono!“ seru Suntoro ketika belati Sudarsono menggores lengannya.
Sudarsono hanya diam dan tak memperdulikan makian Suntoro.
“Letakkan belati itu kalau kamu jantan!“ teriak Suntoro lagi.
Sudarsono tetap tak memperdulikan teriakan itu. Ia kembali menyerang Suntoro dengan belatinya.
Perut dan leher menjadi sasaran serangan itu.
“Bajingan! Ku patahkan leher mu!“ ancam Suntoro sambil terus menghindari serangan Sudarsono.
Suntoro hanya dapat berkelit dan tak mampu membalas serangan karena belati menjadi
penyebabnya. Walaupun ia memiliki kemampuan kanuragan di atas Sudarsono.
Namun dengan tangan kosong, ia tak berdaya dan hanya bertahan dan menghindar. Hingga
menjelang subuh, pertarungan masih berlangsung. Serangan keduanya sudah melemah karena tenaga terkuras. Suntoro sudah berani membalas serangan walau lemah tenaganya karena gerak
belati Sudarsono juga melambat. Keringat yang mengucur deras tak menghentikan niat keduanya
untuk saling menjatuhkan dan membunuh lawan. Suntoro berusaha untuk menjatuhkan belati itu
agar dengan mudah melumpuhkan adiknya. Ia tak dapat menemukan apapun di sekitar lokasi
perkelahian karena gelapnya malam. Ia tak melihat dengan jelas walau bulan purnama menerangi
persawahan itu. Walau sempat menemukan benda panjang seperti sepotong bambu. Namun ketika
berhasil diraihnya ternyata hanya pelepah daun pohon pisang yang usai dipakai sebagai mainan
anak-anak. Babatan belati Sudarsono membuat pelepah daun pohon pisang terpotong. Ia kembali
bertangan kosong dalam menghadapi adik kandungnya. Sabetan Sudarsono sempat melukai lagi
lengan kirinya. Ia sempat putus asa untuk menuntaskan pertarungan itu.
Tetapi akhirnya ia menemukan cara untuk mengimbangi belati Sudarsono. Di tengah
perkelahian itu, ia melepaskan kaos yang dikenakan lalu memakainya sebagai senjata. Puntiran kaos
yang digenggam kedua ujungnya menjadi kekuatan menahan sabetan belati. Beberapa menit
kemudian puntiran kaos itu berhasil melilit lengan Sudarsono yang memegang belati ketika ia
mencoba menusuk perut kakaknya. Dengan berkelit Suntoro menghindar lalu puntiran kaos di
tangan dililitkan pada pergelangan tangan Sudarsono lalu menariknya. Sudarsono yang tak
menyangka tarikan dan lilitan itu terkejut dan tertarik mendekat ke arah kakaknya yang sudah
menyiapkan bogemnya. Dengan cepat belati yang dipindah ke tangan kiri
dan dihujamkan ke jantung kakaknya dengan memanfaatkan tenaga tarikan kakaknya. Suntoro tak
mampu mengantisipasi serangan itu karena Sudarsono memanfaatkan tenaga tarikannya dan
memindahkan belati dari tangan kanan untuk dibenamkan ke tubuh Suntoro dengan tangan kiri.
Belati menghujam ke jantung Suntoro. Namun ia masih memiliki tenaga. Belati yang terhujam
direbut dari tangan kiri Sudarsono lalu dengan belati itu ia menusuk jantung Sudarsono yang
mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri kakaknya yang kuat. Belati menghujam
dengan cepat ke jantung Sudarsono. Keduanya tersungkur. Sudarsono terkulai sambil memegang
dadanya yang terhembus belati. Sedangkan Suntoro masih mampu bangkit lalu mendekati adiknya.
“Kita berdosa pada bapak.“ kata Suntoro pada adiknya.
“Juga kepada ibu, Subiarsih, dan yang lain.“ tambah Sudarsono.
Suntoro mencabut belati dari dada Sudarsono lalu membuangnya. Ia membantu Sudarsono berdiri
lalu keduanya saling memapah untuk berjalan ke pemakaman desa Mutih. Kadang-kadang keduanya
jatuh terjungkal lalu bangun kembali untuk melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai ke
pemakaman. Keduanya tersungkur di hadapan Nisan Sapuan. Masing-masing mengucap doa dan
memohon pengampunan karena perilaku yang tak terpuji. Sudarsono menjadi orang pertama yang
meletakkan kepala untuk selamanya di sisi kiri makam Sapuan. Suntoro masih sempat melihat
adiknya yang meregang nyawa lalu diam untuk selamanya. Ia menyusul kemudian.
“Honocoroko. Dotosowolo. Podojoyonyo. Mogobotongo.“ desis Subiarsih ketika mendengar berita
kematian dua kakak lelakinya.
Ia bersama saudara lelaki dan perempuannya membantu memakamkan keduanya di sisi kanan dan
kiri makam Sapuan. Walau Subiarsih adalah perempuan, namun ia dipercaya kakak lelaki dan adik
perempuan untuk menaikkan doa agar kedua kakaknya diterima dan sampai dengan sempurna di
sisi Allah. Subiarsih memang memiliki kelebihan dalam ilmu agama bila dibandingkan saudara
sekandung lainnya. Di Kalicilik, ia juga memberikan pengajian kepada warga dusun.
“Semua itu karena gila harta.“ kata Subiarsih pada saudara kandung ketika berkumpul di mushola
rumah ayahnya. Mushola yang tak terawat karena penghuni lahan itu mengabaikan sholat dan
ibadah sepeninggal Sapuan.
“Maafkan aku ya dik. Dulu aku ikut-ikutan ngusir kamu dan Sukarti dari Mutih.“ ujar Sutadi -Kakak
Subiarsih.
“Sudahlah! Yang sudah tak perlu diingat lagi. Sekarang lebih baik memikirkan yang di depan.“ respon
Subiarsih.
“Lalu bagaimana sekarang?“ tanya Sukarti.
“Terus terang! Dulu bapak memberikan warisan berupa perhiasan kepada ku dan Sukarti. Jadi aku
tak punya keinginan apa pun.“ jelas Subiarsih.
“Karena dulu, aku serakah maka sekarang aku usul agar rumah dan tanah ini dijual dan dibagi rata
kepada semua anak bapak. Tentang perhiasan pemberian bapak, itu rejeki kalian karena kalian tidak
serakah.“ usul Sulikhin.
“Aku setuju.“ tegasSutadi.
“Terserah kalian tapi aku minta supaya anak-istri Kang Toro dan Kang Darsono juga menerima
haknya dengan adil. Atau kalau mereka tetap mau di rumah ini, lebih baik kita berikan saja. Kita jual
yang memang tak akan tinggal di sini lagi.“ balas Subiarsih.
Akhirnya, rumah warisan Sapuan dibagi untuk semua ahli warisnya. Subiarsih yang menerima haknya
tak mempergunakannya. Ia menyimpan saja. Ia dan Jaelani bersepakat untuk memberikan warisan
Sapuan pada anaknya sebagai bekal bagi anak-anak untuk mengarungi kehidupan.
10 hari setelah pertarungan berdarah itu, Subiarsih mendatangi Subiyanto yang masih
bertahan di atas pohon asem. Hatinya berbahagia karena anaknya mampu bertahan hingga hari ke
39. Subiarsih semakin diyakinkan bila Subiyanto memang pantas menerima ilmu warisan ayahnya.
Jelang maghrib, ia memberikan sebuah pisang emas dan sebotol air minum pada anaknya. Subiyanto
menerima makanan buka puasanya. Dengan cara tayamum, ia bersholat maghrib lalu menikmati
pisang emas dan air putih itu. Kemudian ia kembali melanjutkan semedinya. Kali ini ia berhadapan
dengan rasa kantuk yang berat karena 39 hari ia tak memejamkan mata. Semangatnya masih
membara namun kekuatan fisik mulai menggapai titik puncaknya. Sehari kemudian, usai imsak, ia
tak mampu lagi menahan kantuk hingga dalam semedi ia tertidur. Ketika terbangun, ia terkejut
karena sudah berada di atas ranjang dengan Subiarsih yang duduk di sampingnya.
“Ibu.“ lirih Subiyanto.
“Kamu berhasil nak.“ balas Subiarsih.
“Apanya yang berhasil? Aku terjatuh!“ balas Subiyanto.
“Coba kamu bercerita apa yang terjadi?“ perintah ibunya.
“Biyanto bertemu 2 orang berjubah putih dan menyeret masuk lorong panjang.“ cerita Subiyanto.
“Hmmmmm lalu?“ tanya Subiarsih.
“Lalu Biyanto diletakkan di padang rumput ketika ke luar dari lorong itu. Di padang rumput itu, ada
jurang di kedua ujungnya. Di seberang ujung yang satu, terdapat padang rumput yang dipenuhi
banyak orang berjubah putih.“ jelas Subiyanto.
“Ini minum dulu biar agak kuat.“ kata Subiarsih sambil memberikan segelas minuman racikannya.
Subiyanto segera meminumnya dengan perlahan lalu meletakkan gelas di meja dekat peraduannya.
“Sedangkan di ujung lain juga ada padang rumput yang sepi. Tiba-tiba, Biyanto terjatuh ke jurang itu.
Ketika sadar sudah berada di peraduan ini.“ kata Subiyanto.
“Kamu memang sudah menguasai saipi angin. Ibu berpesan agar kamu tidak boleh mempergunakan
dengan sembarangan dan mempertontonkan di hadapan orang banyak.“ pesan Subiarsih.
“Baik bu. Biyanto akan melakukan semua pesan itu.“ jawab Subiyanto.
“Tidurlah! Kamu harus memulihkan kekuatan supaya bisa bersekolah 3 hari lagi“ kata Subiarsih lalu
berlalu dari dekat anaknya.
Subiyanto pun meraih guling lalu terlelap dalam senyum.

Comentário do Livro (273)

  • avatar
    Udinsarmi

    99+

    21/08

      0
  • avatar
    GustolibIlham

    keren bisa jadi dana

    14/08

      0
  • avatar
    AlfariziMuhammad

    sangat bagus

    02/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes