Kalicilik adalah desa yang tak jauh dari Kota Demak. Jaelani dan Subiarsih memilih salah satu dusun yang damai dan tenang meskipun jauh dari modernitas perkotaan. Penghuninya hidup dengan rukun dan persaudaraan yang kuat. Kala itu, orang harus berjalan kaki dengan melalui jalan setapak dan persawahan bila ingin menjangkaunya. Dusun itu berada ditengah-tengah areal persawahan yang membentang luas. Sedangkan Sungai Kanal yang dipercayai sebagai buah karya Hindia-Belanda yang sering disebut kawasan Alas Tuwo membentang di sebelah utara dusun yang hanya berpenghuni kurang lebih 50 jiwa. Warga dusun juga dapat menjangkau Kota Demak dengan mengambil jalur selatan dan timur dusun dengan melalui jalan setapak dan persawahan. Dengan ketenangan dan kedamaian Kalicilik dengan mata pencaharian sebagai buruh bangunan, Jaelani menghidupi keluarga. Rumah sederhana yang bersih dibuatnya untuk meneduhi Subiarsih dan anak-anak lelakinya serta Sulastri -mertuanya. Setiap Senin fajar ia berangkat menuju ke Semarang untuk bekerja dan sabtu sore kembali berkumpul dengan keluarga. Kewajibannya sebagai kepala keluarga dipenuhi dengan membawa pulang seluruh upahnya sebagai tukang bangunan. Subiarsih memberi peran penting hingga upah kerja Jaelani dapat dikelola untuk menegakkan perekonomian keluarga bahkan dapat mengembangkannya menjadi sebidang tanah sawah yang dibeli dari menyisihkan upah kerja itu dan sebagian warisan Sapuan. Dalam kapasitas orang desa, keluarga Jaelani hidup berkecukupan. Peran dan kolaborasi Jaelani-Subarsih menjadi kekuatan utama bagi kehidupan keluarga ini. “Senin kita panen lho pak.“ kata Subiarsih pada Jaelani di malam minggu itu. Mereka sedang menikmati malam minggu yang jauh dari keramaian dengan lampu minyak menjadi penerangannya. Anak-anak sudah terlelap dalam senyap dan gelapnya malam tak berbulan. Sulastri,sang mertua juga sudah merebahkan tubuhnya di kamarnya yang dibuatkan Jaelani. “Lumayan pak. Meski sepetak, padinya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.“ sambung Subiarsih sambil menyuguhkan segelas kopi lalu duduk di dekat suaminya. “Semoga Tuhan mengijinkan untuk panen.“ tambah Jaelani sambil nyeruput kopi buatan istrinya. “Amin pak! “ sahut Subiarsih sambil menyandarkan kepalanya di bahu Jaelani. “Bagaimana anak-anak bu?“ tanya Jaelani sebagai bentuk perhatian pada tumbuh-kembang anaknya. “Semua sehat. Mereka sudah mulai memiliki tanggung jawab yang bagus seperti ayahnya.“ jawab Subiarsih dengan kemanjaannya pada suaminya. “Apakah mereka semua membantumu?“ tanya Jaelani. “Memang itu yang dilakukan seusai pulang sekolah.“ jawab Subiarsih. “Bu! Apakah masih ingat pesan bapak tentang Biyanto?“ tanya Jaelani lagi. “Masih Pak! Memang sudah saatnya, aku mewariskan ilmu bapak pada Biyanto.“ jawab Subiarsih sambil ikut nyeruput kopi yang dinikmati Jaelani. “Lalu?“ sergah Jaelani. “Aku sedang mencari saat yang tepat supaya tidak mengganggu sekolahnya.“ jawab Subiarsih. “Baiklah. Ibu yang mengatur. Jangan lupa! Anak-anak diwajibkan sholat lima waktu.“ balas Jaelani. “Baik pak! Aku akan menjalankan semua itu. Bapak juga harus hati-hati dalam bekerja.“ kata Subiarsih sambil menyandarkan kepala di pundak dan melingkarkan tangannya di pinggul suami yang disayanginya. Jaelani pun membalas dengan membelai rambut istrinya dengan lembut lalu mengusap pipi dengan kemesraan. “Jangan di sini Pak. Nanti kalau ibu ke luar kamar.“ cegah Subiarsih ketika merasakan gairah Jaelani. Jaelani memberikan ciuman mesranya di pipi Subiarsih sambil berucap, “Ibu ke kamar dulu. Aku akan mengunci pintu depan dan belakang rumah.” “Baik Pak! Jangan lama-lama ya pak!“ pinta Subiarsih. Subiarsih segera menuju kamar yang dipergunakan untuk beristirahat dengan suaminya. Sedangkan Jaelani menuju pintu depan dan pintu belakang untuk menguncinya. Malam pun kian larut dalam derap kebahagiaan di hati Jaelani dan Subiarsih. Burung malam berkicau mengiring derap malam yang beranjak menuju datangnya fajar. Keesokannya seusai sarapan, Jaelani mengajak Sularso ke sawahnya. Ia ingin melihat hasil usahanya empat bulan yang lalu. Ia memandang kuning tanaman padi yang siap untuk dituai. Dari gubug, Sularso segera membantu untuk mengusir burung-burung yang berupaya mendapatkan makanan dari tanaman padi yang menguning. Tali-tali yang dibentangkan di sepanjang petak sawah dengan diberi kaleng-kaleng bekas, digerak-gerakkan. Hal itu menimbulkan suara berisik yang membuat burung lari atau tak mendekat. Sedangkan Jaelani berjalan mengelilingi petak sawahnya sambil mengamati tanaman padinya. Sesekali ia menjamah tanaman padi itu untuk memastikan kualitas hasil tanaman tersebut serta melihat kemungkinan adanya serangga pengganggu. Lalu ia duduk bersama Sularso di gubug itu. Hisapan rokok kreteknya segera mengepul sambil membantu untuk mengusir burung-burung yang ingin mengurangi hasil tanaman padi itu. Di rumah, Subiarsih yang usai membersihkan badan segera menyibukkan diri dengan membersihkan rumah. Dengan dibantu Subiyanto, rumah yang tak terlalu besar disapu dan dihilangkan debunya. Subiyanto yang sudah di kelas 5 SD, sangat gesit. Ia telah terbiasa membantu Subiarsih. Sulastri yang telah lanjut usia, hanya duduk di bangku panjang memandang kolaborasi anak dan cucunya dalam membereskan rumah. Sesekali ia memanggil Subiyanto untuk mengambilkan daun sirih. Daun sirih menjadi komponen penting untuk menginang. “Biyanto! Ke sini nak!“ seru Subiarsih setelah melihat Subiyanto selesai membuang sampah di luar rumah. “Ya bu.“ jawab Subiyanto sambil melangkah ke kursi yang terletak di sebelah jendela depan. “Nak! Masih ingat dengan Mbah Sapuan?“ tanya Subiarsih. “Masihbu! Biyanto tak akan melupakan Mbah Sapuan.“ jawab Subiyanto. “Bagus nak! Ibu ingin menyampaikan pesan Mbah mu sebelum ia meninggal dunia.“ terus Subiarsih sambil membelai kepala Subiyanto. “Apa pesan Mbah buat Biyanto bu?“ tanya Subiyanto. “Mbah Sapuan berpesan agar ibu mewariskan ilmunya padamu.“ terang Subiarsih. Subiyanto hanya diam dan tak mengucap sepatah katapun. Ia memandang wajah ibunya dengan mata tajam. “Ibu suka mata tajammu. Tapi jangan lupa! Kamu tidak boleh meninggalkan sholat.“ ujar Subiarsih. “Ya bu. Biyanto berjanji tak akan meninggalkan sholat.“ sahut Subiyanto dengan kebeningan hati. “Untuk dapat menguasai ilmu warisan Mbah Sapuan, kamu tidak boleh meninggalkan sholat dan mengotorkan diri dengan barang yang najis.“ balas Subiarsih. “Baik bu.“ sanggup Subiyanto. “Kemudian kamu harus menjalankan semua yang ibu perintahkan.“ lanjut Subiarsih. “Insyaallah Biyanto akan bisa bu.“ balas Subiyanto. “Minggu depan saat libur sekolah, ibu akan mulai mewariskan ilmu yang pernah dimiliki Mbah Sapuan.“ kata Subiarsih sambil memegang bahu Subiyanto. “Baik bu.“ jawab Subiyanto. “Sekarang kamu ke sawah membawa makan siang ini untuk ayah dan adikmu.“ perintah Subiarsih. Subiarsih memberikan nasi putih yang terbungkus daun pisang dengan sambal dan ikan asin serta air putih sebagai penghilang dahaga. Subiyanto segera membawanya dengan langkah cepat menuju ke sawah yang sedang dijaga ayah dan adiknya. Sedangkan Subiarsih segera membantu ibunya untuk mandi karena ibunya sudah sangat tua dan sulit berjalan sendiri. Subiarsih menguatirkan Sulastri terjatuh kalau dibiarkan mandi sendiri. Namun yang lebih dalam dari semua itu, Subiarsih memang sangat menyayangi ibunya. Empat kakak laki-lakinya sudah tak mempedulikan ibunya sedangkan adik perempuannya tinggal cukup jauh dan hanya sekali-sekali menjenguk Sulastri. Dalam beberapa menit setelah bekal itu siap, Subiyanto berjalan menuju ke tempat ayah dan adiknya menjaga sawah. Di tangan kanan dan kiri tergenggam makan siang bagi ayah dan adiknya. Kadang-kadang ia berhenti sejenak untuk menghilangkan pegal di tangan akibat beban yang dibawanya. Namun, ia tak berlama untuk beristirahat. Ia segera melanjutkan tugas yang diberikan ibunya. Ia melihat teman-teman sebayanya yang sedang bermain dengan permainan anak-anak desa. Teman-temannya memanggil namanya untuk diajak bermain. Namun Subiyanto tetap berjalan. Hatinya tetap teguh untuk membawa makan siang bagi ayah dan adiknya. “Pak. Ini makan siangnya.“ kata Subiyanto setelah sampai di gubug yang dipergunakan menjaga sawah. Subiyanto segera menggantikan ayah dan adiknya untuk mengusir burung-burung yang mengincar tanaman padi siap tuai. Ia menggoyang-goyangkan tali untuk membersihkan petak sawahnya dari pengganggu. “Biyanto!“ panggil Jaelani. “Yapak.“ jawab Subiyanto. “Besok sepulang sekolah, bapak dibantu ya.“ pinta Jaelani. “Ya pak.“ sanggup Subiyanto. “Sekarang, kamu makan dulu. Sini bapak gantikan mengusir burungnya.“ujarJaelani. Subiyanto menyusul adiknya yang masih menikmati makan siang. Ia segera menikmati makanan yang dibawanya dengan duduk di sebelah Sularso sambil menyuap nasi dengan ikan asin dan sambal sebagai laukpauknya. Ketika malam tiba, rumah Jaelani sudah dipenuhi warga dusun untuk melakukan pengajian sekaligus selamatan untuk melakukan panen pada esok hari. Dengan alas tikar, para tamu duduk melingkar dengan dua buah tumpeng di tengahnya. Kiai Jasiri segera memulai pengajian itu dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran diikuti doa memohon selamat. Tak lupa kiai itu menaikkan doa bagi seisi rumah Jaelani dan permohonan untuk dapat memanen padi dengan aman. Setelah itu, tumpeng dipotong untuk dibagikan dan dinikmati oleh setiap tamu yang hadir. Kehangatan dan guyub terasa dalam acara tersebut. Walau mereka hanya merupakan orang yang dusun. Tenggang- rasa menjadi kekuatan yang hidup dalam warga dusun sehingga kebahagiaan satu orang atau keluarga menjadi kebahagiaan seluruh warga desa. Apalagi dusun di Kalicilik itu tak luas kawasannya. Dusun yang dikelilingi sawah dan jalan desa melingkari rumah-rumah warga, merupakan dusun kecil dengan warga yang mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh. Kebersamaan dan rasa senasib- sepenanggungan menjadi landasan kehidupan dengan nilai-nilai agama sebagai penguatnya. Acara selametan menjelang panen padi merupakan salah satu perwujudan dari hal tersebut. Aplikasi upacara selametan itu adalah tak sedikit warga desa yang ikut membantu Jaelani dalam memanen padi pada keesokan hari. Subiarsih menyiapkan sajian yang disiapkan untuk semua warga desa yang membantunya. Dengan ani-ani, padi dipetak sawah Jaelani dipotong lalu biji padi dipisahkan dari tangkainya. Mereka bekerja dengan cepat dan penuh ketulusan. Subiyanto dan Sularso ikut serta dalam menuntaskan panen padi itu. Walau Subiyanto masih anak-anak, namun tangan kecilnya sudah pandai memainkan ani-ani untuk memotong batang padi itu. Jaelani memandang dengan penuh rasa bangga karena Subiyanto dan Sularso memiliki hati yang benar- benar peduli pada kehidupan keluarganya sendiri. Kedua anak ini juga sering membantu Jaelani dan Subiarsih dalam menuntaskan semua pekerjaan di rumah. Mereka berdualah yang diharapkan dapat membantu tegaknya tiang-tiang kehidupan keluarga. Menjelang azar, seluruh pekerjaan memanen padi dapat diselesaikan dengan hasil yang melimpah. Walau hanya sepetak, padi yang dihasilkan cukup memadai bahkan berlebih. Setiap orang yang ikut-serta membantu proses memanen hingga membawa masuk ke lumbung, memperoleh tanda kasih dengan menerima padi hasil panen tersebut. Walau jumlahnya padi tak banyak yang diberikan, tetapi ada nilai-nilai luhur yang hidup dalamnya. Padi yang diterima bukan sekedar tanda mata atau pun upah. Ia merupakan perwujudan harmonisasi dan kebersamaan. Nilai- nilai inilah yang mulai memudar dalam masyarakat desa di Jawa Tengah dan berganti dengan nilai- nilai ekonomis. Upah menjadi tujuan dari setiap orang yang membantu menanam dan memanen padi. Demikianlah Jaelani dan Subiarsih hidup dan membangun keluarga di Kalicilik. Jaelani yang menjadi ujung tombak bagi tegaknya tiang kehidupan keluarga dengan Subiarsih sebagai pengelola hasil yang diperoleh serta Subiyanto dan Sularso sebagai penunjangnya. Kebahagiaan hadir dalam kedamaian di Kalicilik karena sikap hati yang bersyukur. Rejeki selalu diyakini sebagai takdir dan ketetapan Allah. Keselarasan dalam hidup bersama warga desa yang lain membuat hidup terasa nyaman dan tentram.
Obrigado
Apoie o autor para lhe trazer histórias maravilhosas
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0Ver Todos