logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 4

Lebih baik jadi diri sendiri walaupun tak dihargai orang daripada jadi orang lain tapi bukan dirimu sendiri.
*****
Sabtu tiba, Arman dan Arba libur kuliah. Mereka memanfaatkan waktu luang mereka untuk membantu ibunya berbelanja di pasar.
Mereka membuntuti ibunya dari belakang, sambil melihat pemadangan kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi jual beli. Pandangan keduanya terarah pada seseorang yang ternyata Julian yang akan melangkahkan ke arahnya.
Arman dan Arba bingung apa yang harus mereka lakukan, mereka takut semuanya terbongkar kalau Juli tahu mereka kembar. Ya, dari TK sampai kuliah tak ada yang tahu kalau mereka kembar karena mereka selalu berbeda tempat sekolah. Dengan berpikir kilat , akhirnya Arba putar balik dan bersembunyi di kerumunan orang-orang yang sedang berbelanja sayur-sayuran.
Arman yang masih panik berusaha menenangkan dirinya dan berharap Juli tak melihat dia dan saudara kembarnya. Habis sudah riwayat keduanya kalau sampai teman kuliahnya tahu. Benar saja, Juli melambaikan tangannya ke arah Arman yang masih bengong.
"Lo ngapain di sini?" tanya Julian.
"Gue nemenin ibu gue ke pasar. Lo sendiri?"
"Sama," jawab Juli. "Ya udah, gue duluan," pamit Julian meninggalkan Arman.
Ditatapnya Julian yang mulai jauh dan Arman menghela napas lega.
Arba yang mengetahui kalau Juli sudah pergi menjauh melangkahkan kaki ke tempat Arman berdiri. Rasa lega sudah kembali bersarang dalam hatinya.
"Man, cari ibu, yuk!" Arba menepuk bahu Arman dari belakang dan Arman hanya mengangguk, mengikuti langkah saudara kembarnya. Setelah beberapa saat berkeliling pasar, akhirnya kedua anak kembar itu bertemu dengan ibunya yang sedang membawa barang belanjaan lumayan sangat banyak.
Arman dan Arba menghampiri ibunya dan membawa barang belanjaan pulang ke rumah yang tak jauh dari pasar dengan berjalan kaki. Sesampainya di rumah, keduanya menaruh barang belanjaan di atas meja.
"Untung tadi nggak ketahuan," kata Arman memulai pembicaraan.
Arba mengangguk. "Mampus kalau ketahuan!"
"Bentar lagi UTS. Atur strateginya gimana, Ba?" tanya Arman sambil mengedikkan bahunya, bingung.
"Tanggal berapa? Gue besok tanggal 12 Agustus dan gue udah ada jadwalnya." Arba menjawab pertanyaan Arman sambil berpikir bagaimana caranya membagi waktu saat keduanya sedang UTS kalau misal waktu ujian mereka besamaan.
"Gue tanggal 26 Agustus. Lo udah ambil jadwalnya?"
Arba mengangguk. Cowok itu masuk ke kamar untuk mengambil jadwal UTS dan kembali ke ruang tamu untuk berdiskusi tentang pembagian siasat pembagian waktu agar misi mereka tetap berjalan dengan lancar.
"Itu apa?" tanya Arman.
"Kartu ujian gue," jawab Arba sambil menyodorkan kartu itu ke Arman yang langsung diterima oleh Arman.
"Ya udah, lo ujian aja dulu, nggak apa. Lagian UTS-nya duluan kampus lo," ujar Arman sambil memperlihatkan giginya.
"Serius? Terus misi kita gimana?" Arba menyelidik dengan sejumlah pertanyaan. Dia hanya takut Arman diremehkan lagi oleh teman-temannya.
"Berhenti aja dulu. Lo mikirin aja ujiannya, jangan mikir itu dulu. Sukses buat UTS-nya," jawab Arman.
Arba salut dengan sikap Arman yang tidak egois dalam kondisi seperti ini. Dia sangat beruntung mempunyai saudara kembar seperti Arman. Mungkin Arman tidak pintar, tapi dia baik dan tidak mementingkan egonya sendiri. Arba pun merangkul bahu saudara kembarnya itu erat-erat.
"Thanks, lo nggak egois dalam kondisi seperti ini, Man," puji Arba.
Arman menganggukkan kepalanya, dia pun membalas rangkulan saudara kembar identiknya.
***
Malam harinya, Arba belajar untuk mempersiapkan UTS-nya hari Senin. Arman yang melihat saudara kembarnya belajar merasa bangga. Dia kadang malu pada dirinya sendiri yang belajar hanya pada waktu ada kuis, UTS dan UAS. Berbeda dengan Arba yang setiap harinya belajar dengan tekun.
Arba menoleh karena teringat sesuatu. "Man, laporan lo kemarin udah gue kerjain. Besok lo tinggal cetak aja, ya!"
"Iya, beres."
"Oh ya, gue selesai UTS tanggal 22 Agustus, jadi gue bisa gantiin lo pas UTS," ucap Arba.
"Lo serius?" Arman tak habis pikir dengan perkataan Arba.
"Iya. Mana pernah gue bercanda."
Arman menggeleng tak percaya. Saudaranya masih mau mengorbankan kuliahnya demi dirinya. Apapun itu, dia berterima kasih pada Arba yang sudah membantunya sampai sejauh ini.
"Lanjutin aja belajar lo. Gue ngantuk, mau tidur aja!" Arman menguap dan membaringkan badannya di kasur berdiameter 12x12. Rasa kantuk mulai menyerang padahal waktu baru menujukkan pukul delapan malam.
"Kayak ayam, jam segini mau ngebo," cibir Arba. Dia melesat di kasur lalu mengambil guling dan dipukulkan pada tubuh Arman, Arman pun mengerang kesakitan. Tak mau kalah Arman mengambil bantal yang ada di dekatnya dan memukulkannya pada Arba. Mereka pun saling pukul memukul sampai pada akhirnya salah satu dari mereka jatuh ke lantai.
"Badan gue sakit!" rengek Arba.
"Rasakan, lo mulai duluan!" seru Arman sambil menjulurkan lidahnya pada Arba.
"Senjata makan tuan ini namanya." Arba menertawai dirinya sendiri. Dia pun bangkit dari lantai kembali ke meja belajarnya.
"Udah gue mau tidur, jangan ganggu, Ba. Oke?" Arman memberikan kesepakatan supaya Arba tak menganggunya.
Arba mengangguk. "Iya."
Tiba-tiba lampu padam seketika. Arba menghampiri Arman yang sudah tertidur pulas.
"Man, bangun, mati lampu!" Arba menggoyang-goyangkan tubuh Arman dengan kencang. Tetap saja Arman tak merespon ama sekali, mungkin dia sudah memasuki alam bawah sadarnya.
Arba terus menggoyangkan tubuh Arman sampai akhirnya terbangun. "Apa sih, gue udah bilang jangan ganggu, gue mau tidur!" Arman berbalik arah sambil menatap Arba dengan rasa kantuk yang masih bersarang. Dia samar-samar melihat sekelilingnya menjadi gelap gulita.
"Mati lampu, woiii!" gertak Arba sambil memeluk Arman.
"Lo apaan meluk-meluk gue. Homo tahu nggak!" Arman melepaskan pelukan saudara kembarnya dan melangkah keluar kamar untuk mengambil lilin yang berada di ruang tamu kemudian kembali lagi ke kamarnya. Cowok itu menyalakan lilin untuk menerangi kamarmya. Kamar yang tadinya menyeramkan seperti rumah berhantu sudah diterangi oleh lilin yang menyala.
"Sial, mau belajar malah mati lampu!" umpat Arba sedikit kesal.
"Besok aja lagi belajarnya. Jangan belajar mulu, otak lo lama-lama penuh!" Arman menghampiri Arba dan merangkul bahunya.
Arba mengangguk. "Iya."
"Mending tidur aja, deh!" Arman melesat di kasurnya dan kembali tertidur pulas.
"Tidur mulu kerjaan lo!"
Tak ada respon dari Arman. Ya, pasti Arman sudah tertidur lelap.
Clek
Pintu kamar Arba dan Arman terbuka sendiri. Alangkah terkejutnya Arba saat melihat seseorang memakai kain serba putih seperti pocong berdiri di depan pintunya.
"Pocongggggg!" teriak Arba ketakutan. Arman yang tertidur pulas pun terbangun mendengar teriakan Arba yang histeris.
"Mana pocongnya, Ba?" tanya Arman sambil mengucek kedua matanya.
"Itu," tunjuk Arman menggunakan jari telunjuknya.
"Po... po... cong," ucap Arman dengan terbata-bata. Benar yang dikatakan Arba ada penampakan pocong di dalam kamar mereka. Suasana semakin mencekam ditambah dengan penerangan lilin yang tidak terlalu terang.
"Ini ibu, bukan pocong!"
Ternyata itu Ibu Juli yang memakai mukena karena sehabis shalat isya.
"Maaf, Bu," kata Arman dan Arba serempak.
Ibu Juli hanya menganguk dan keluar dari kamar Arman dan Arba sambil menutup pintu kamar mereka.

Comentário do Livro (210)

  • avatar
    Leni Meidola Putri

    cerita nya sangat menarik

    28/05/2022

      0
  • avatar
    channelBASRI PUTRA

    semangat dan semoga ke depannya akan ada terus cerita cerita yang lebih menarik.!!!

    22/12/2021

      0
  • avatar
    JuniantoRizki

    bgs

    22d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes