logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Malam Pertama

Tok tok tok!
Ketukan di pintu membuat Tania tersadar dari tidurnya. Dia menggeliat malas.
"Taniaaaa ... ini tante." Ovi mengetuk pintu pelan. Sedari tadi dia menunggu di luar tapi belum ada jawaban. Padahal mereka sudah ditunggu untuk dirias untuk acara resepsi.
Mendengar suara ketukan, gadis itu membuka mata. Dia terbangun dengan kepala yang terasa berat. Eh, tapi tunggu dulu! Tangan siapa ini yang memeluknya dari belakang? Rasanya tadi tidur sendiri. Dia berbalik dan terkejut setengah mati.
"Om Nero!!"
Nero tersentak. Dia yang masih terlelap, terbangun dengan kaget.
"Ngapain om di kamarku?!" teriaknya.
"Om numpang istirahat." Lelaki itu terduduk dipinggir tempat tidur. Nyawanya baru setengah terkumpul, kini harus menerima kemarahan dari istrinya.
"Bohong! Om sengaja ya cari kesempatan!" Wajah Tania menunjukkan kemarahan.
"Om gak bohong, cuma ketiduran di sini." Nero membela diri.
Lama-lama dia juga merasa kesal jika diperlakukan seperti ini. Hey, dia juga menolak perjodohan mereka. Siapa juga mau menikahi gadis kecil yang manja? Sekalipun dia sayang sebagai keponakan, tidak pernah bermimpi mempunyai istri remaja yang masih labil.
"Terus, sengaja pake meluk-meluk aku!" Tangannya menunjuk wajah Nero. Di matanya hawa amarah berkilat, seperti hendak membakar lelaki yang ada di depannya.
"Semalaman om juga ga tidur. Apa salah?"
"Bohong. Om sengaja mau manfaatin aku!" geramnya.
"Tania! Om ini suami kamu. Lagian ini juga kamar kita. Om berhak tidur di sini." Nero balas membentak. Mungkin sesekali, gadis ini perlu ditegur. Terlalu manja membuatnya lupa menghormati orang yang lebih tua.
"Tapi aku ga mau tidur sama om." Dia melipat tangannya.
Nero hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tania, kenapa kamu jadi begini kepadaku?
Suara ketukan terdengar lagi. Nero segera membuka pintu. Dia sudah tidak memperdulikan ocehan Tania.
"Maaf, tante ganggu kalian, ya?" Ovi tersenyum saat masuk dan mendapati bahwa suasana di kamar itu tidak nyaman.
"Tanteeee ..." Tania berlari memeluk Ovi. Dia menangis.
"Kenapa sayang?" Ovi mengelus rambutnya.
"Om Nero. Dia sengaja tidur di sini terus peluk-peluk aku." Gadis itu terisak.
Ovi menatap Nero. Ada rasa kasihan di dalam hatinya melihat Nero yang hanya terdiam. Dia melihat lelaki itu membuang muka dan meremas rambutnya. Menarik napas berkali-kali. Simalakama. Tania juga tidak bisa disalahkan. Gadis itu belum siap.
"Sudah, jangan nangis. Ayo siap-siap. Kita mau make-up lagi buat acara nanti." Ovi menuntun Tania mengambil sendal.
"Nero sana ke kamar sebelah. Sudah ditunggu." Ovi memberi kode. Lelaki itu mengangguk, kemudian melangkah keluar kamar.
"Awas ya, kalau om kalau ke sini lagi. Ini kamarku. Aku gak mau tidur bareng om!" ancamnya.
"Nak, kamu gak boleh bilang gitu. Nero itu suamimu." Ovi menegurnya.
"Tania gak mau tante," tangisnya makin menjadi.
"Sudah-sudah. Nero ayo cepat ke sana." Ovi mengusirnya halus. Semakin lama dia di sini, semakin panjang pula cerita.
Nero mengangguk patuh dan segera keluar kamar. Terserah mereka maunya apa. Dia hanya melakukan apa yang diinginkan Bram, demi kesembuhannya.
* * *
Pesta berlangsung meriah. Bram mengundang ribuan orang. Nero juga. Sedangkan Tania tak mengundang satu orang pun. Dia malu. Lagi pula pernikahan ini berlangsung setelah kelulusan. Jadi, dia sudah tidak perduli dengan teman-temannya.
Tania terlihat cantik sekali dalam balutan gaun pengantin. Ovi mendampingi Bram di kursi pelaminan. Sesekali mendatangi Tania yang terlihat kelelahan. Memberikan semangat kepadanya.
Banyaknya tamu dan foto-foto membuat wajah gadis itu cemberut selama acara. Belum mata yang bengkak karena menangis sepanjang malam. Untung saja make-up bisa menutupinya sedikit.
Dia membantu mengarahkan agar gadis itu selalu tersenyum. Membetulkan letak tangan Nero di pinggang saat pemotretan berlangsung, karena Tania tidak mau disentuh suaminya sama sekali.
Pukul sebelas malam semuanya selesai. Seperti tadi pagi, selesai acara Ovi langsung menuntun Tania ke kamar. Bahkan dia sendiri tak memerdulikan suami dan anaknya. Untunglah mereka mengerti.
"Ayo kita ke kamar. Kita bersihkan wajahmu sama ganti baju." Ovi menggandeng tangan Tania. "Ayo Nero," ajaknya.
Mata Tania melotot. Nero jadi serba salah.
"Om Nero gak usah ikut!" bentaknya.
Ovi hanya bisa menggeleng kepala. "Tania. Gak boleh gitu. Ini kan malam per ..."
"Gak ada malam pertama. Aku jijik." Dia berlalu pergi meninggalkan semua orang menuju kamarnya. Mengentakkan kaki melampiaskan kekesalan. Pengantin macam apa ini?
"Sabar ya, Nero," bisik Ovi.
"Gak apa-apa. Kamu yang temani dia di kamar. Aku masih mau bicara sama Mas Bram." Nero memastikan kepada Ovi bahwa semuanya baik-baik saja.
Wanita itu segera menyusul Tania.
"Loh Nero? Kok kamu ga ke kamar?" Bram mendatanginya. Terlihat bingung saat melihat wajah Nero yang kusut.
"Anu, Mas ..." Lelaki itu tak dapat berkata.
"Kenapa? Mana Tania, kok gak bareng?" tanya Bram heran.
"Duh, Mas Bram ini gak ngerti apa? Sudah jelas Tania benci sama dia. Masih saja menanyakan itu," batin Nero. Lalu dia berkata. "Tania sudah ke kamar sama Ovi."
"Yaudah kamu nyusul sana. Gak mau malam pertama?" bisik Bram menggoda.
Kuping Nero menjadi panas. Dia menggeleng. "Tania gak mau sekamar sama aku, Mas. Dia marah."
Bram tercengang, lalu mengangguk tanda mengerti.
"Lagian aku juga gak bakal ngelakuin itu sama dia. Mas ngertilah." Nero menatap Bram.
"Hem ..." Bram termenung, berpikir sejenak.
"Mas ini kayak gak tau aja. Tania benci sama aku." Nero tertunduk lesu.
"Kalau gitu kita cari kamar lain aja, ya. Mas sudah boking hotel ini. Mudahan masih ada yang kosong." Bram mengajak Nero menuju meja resepsionis.
* * *
Tania termenung di kamar, tidak bisa tidur sedari tadi. Pikirannya melayang entah ke mana. Kenapa takdirnya seperti ini? Kenapa papa tega? Om Nero juga. Kenapa semua orang berpihak yang sama? Tidak ada yang mengerti perasaan, juga keinginannya.
Selama ini dia sudah menuruti keinginan papa. Sampai masa depannya pun sudah diatur. Sekolah, les, atau jalan dengan teman semua harus sepengetahuan papa. Kenapa jodohnya juga harus dipaksakan?
Jangankan menjadi istri Nero, membayangkan pernikahan saja dia jijik. Dia masih ingin menikmati masa mudanya. Traveling, kuliah, kampus, dan juga pacar.
Pacar? Dia bahkan belum sempat merasakan indahnya pacaran. Papa selalu melarang, mengawasinya dengan ketat. Ke sekolah diantar jemput supir. Pergi kemana-mana harus izin. Sebenarnya ada satu yang dia sukai, tapi pupus sejak menikah dengan Nero.
Mereka sudah berencana setelah kelulusan akan tour ke Bali, jalan-jalan sebelum ikut ujian masuk perguruan tinggi. Dia mengincar salah satu universitas terkenal di sini. Walaupun tidak juara umum, tapi nilainya di atas rata-rata. Tania ingin menjadi dokter, cita-citanya sejak kecil.
Sekarang semuanya kandas. Itu karena Nero. Entah apa yang dia ucapkan, hingga papa memaksanya menikah dengan laki-laki itu. Sedihnya, tante Ovi pun ikut menyetujui. Semua keluarga juga. Tidak ada yang berpihak kepadanya.
Saat melihat cara Nero memandangnya setelah akad nikah tadi, perutnya langsung mual. Lelaki itu berkali-kali meliriknya dengan wajah memerah. Bahkan saat foto, Nero memeluk pinggangnya erat. Dia ingin menepis tangan lelaki itu, tapi dilarang Ovi. Di depan tamu dia harus selalu tersenyum. Berpura-pura bahagia, padahal hatinya sakit. Hidup, apa memang harus begitu?
Bukannya sudah biasa ya, Tania? Kamu bersama dengan Nero?
Itu dulu, saat hubungan mereka hanya sebatas paman dan keponakan saja. Sekarang dia tidak mau disentuh Nero.
Dia sudah dewasa walaupun usianya baru delapan belas tahun. Tahu apa itu menikah. Apa yang suami istri lakukan untuk mendapat keturunan. Walaupun belum pernah melakukan, tapi dia mengerti sistem reproduksi manusia yang dipelajari di sekolah.
Dia tjuga ahu malam pertama itu apa. Mengingatnya dia menjadi benci pada Nero. Pasti omnya mau melakukan itu padanya. Apalagi ketika dia terbangun dan mendapati Nero memeluknya tadi siang.
Tania tidak rela, tidak mau jika sampai Nero menyentuhnya. Lelaki itu pasti senang sudah mendapatkannya. Tania tahu, lelaki itu juga mengincar perusahaan papa. Dasar licik.
Salahkah jika dia ingin menikah dengan orang yang benar-benar dicintai? Menjalani pernikahan yang normal seperti pasangan yang lain, bukan karena terpaksa seperti sekarang.
"Tunggu saja. Aku akan membuatmu menyesal menikahiku, Om," batinnya. Dia akan mencari cara, agar mereka bisa secepatnya berpisah.

Comentário do Livro (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    21d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes