logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 11 Papa Ke Mana?

Semenjak akur, Tania dan Nero sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, Juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja, atau meminta sesuatu kepada suaminya.
Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup.
"Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu ga gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero.
Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir romantis sekali pasangan ini.
"Ke Singapura," jawab Nero.
"Masa?"
"Kenapa, kangen sama papa ya?"
Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpura-pura cuek.
"Emangnya, papa papa klien di sana?" Tania ikut mengambil snack di tangan Nero.
"Ya adalah," jawabnya singkat.
"Apa papa mau buka kantor cabang baru? Tapi kok di luar negeri, sih?" Tania bertanya lagi.
"Gak. Ada urusan bisnis,"
Nero menatap layar televisi dengan intens. Sebenarnya dia tidak tahu acara apa yang ditonton, karena ini Channel pilihan Tania. Dia juga sudah tidak fokus. Matanya memang sedang menonton, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
"Apa jangan-jangan, papa nikah lagi?" Tania menerka.
Beberapa bulan ini, perilaku papanya memang agak aneh. Sering pergi dan tidak memberi tau kemana. Setiap dia tanya, papa hanya menjawab urusan pekerjaan. Memang akhir-akhir ini perilaku papanya sedikit mencurigakan. Walaupun sudah tidak tinggal serumah, dia tetap bisa merasakan hal itu.
"Hus! Kok ngomong gitu!"
Nero mencubit hidung Tania. Gadis ini kalau bicara seenaknya saja, tidak pakai dipikir lagi. Setahunya, Bram sangat mencintai istrinya. Bahkan rela menyendiri hingga bertahun-tahun hingga Tania dewasa.
"Kali aja papa punya istri lagi. Diem-diem. Kan aku ga setuju kalau papa nikah lagi."
Tania menepiskan tangan suaminya, tidak suka diperlakukan seperti itu. Dia kan sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Padahal Nero gemas ingin melakukan yang lain.
"Gak, lah. Papa pasti bilang kalau itu," jelasnya.
Tania mengubah posisi duduk. Kali ini dia berhadapan langsung dengan suaminya.
"Om. Kalau di kantor, papa suka godain cewek-cewek, gak?"
Nero menatap Tania dengan lekat. Laki-laki itu menduga sebenarnya apa yang dipikirkan istrinya karena pertanyaannya aneh semua.
"Gak, tuh. Papa baik aja, gak ganjen. Papa itu bertanggung jawab dengan pekerjaan."
"Masa', sih?" tanya gadis itu karena masih tidak percaya.
Dulu Bram memang pernah mengenalkan beberapa wanita sebagai temannya. Namun, tidak ada satupun yang Tania yang suka. Mungkin karena itu sebabnya dia enggan menikah lagi. Putrinya tidak pernah setuju. Kalau sampai itu terjadii, Tania mengancam akan lari dari rumah. Sekalipun mamanya pergi sejak dia masih kecil, gadis itu tidak mau ada wanita lain di kehidupan mereka.
"Kalau om sih, iya. Kalau ada yang cakep, om godain."
Nero sengaja mengatakan hal itu. Ingin tahu bagaimana reaksi istrinya kalau dia membicarakan wanita lain.
"Ih. Om genit. Udah punya istri juga." Wajahnya berubah marah dengan bibir yang ditekuk. Dalam hati Nero membatin, ini anak cemberut terus. Kapan senyumnya.
"Habis istrinya suka marah-marah. Manja lagi, mending om nge-date sama cewek-cewek," jawabnya asal. Satu lagi, haknya sudah dua bulan tidak diberikan.
"Habisnya om ngeselin."
Panas hati Tania mendengarnya. Tak bisa membayangkan jika Nero berduaan dengan wanita lain. Kenapa dia jadi cemburu?
"Hem." Lelaki itu malas meladeni kalau istrinya sudah mulai begitu.
"Om" Tania melingkarkan tangan dan memeluk suaminya.
"Apa?"
Nero kembali fokus ke layar. Padahal di dalam sana, jantungnya berdebar tak karuan. Duduk berdekatan seperti itu justeru membuatnya semakin gerah.
"Kalau mau ada bayi ... harus itu dulu, ya?"
Nero tersedak. Tania cepat-cepat mengambikan minuman.
"Kok nanya gitu?" Kerut di dahi Nero tercetak jelas saat mendengar pertanyaan tadi.
"Om sama tante Saskia dulu gitu juga?" tanya Tania sembari menatap Nero dengan pandangan yang ... entah.
"Duh, Gusti. Mau jawab apa?" lirihnya.
Neto menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung bagaimana menjelaskan hal ini kepada Tania. Mungkin lebih baik dia langsung mempraktekannya.
"Iya, itu juga," jawabnya dengan ekspresi datar.
Nero tidak mengerti jika harus menjelaskannya dengan kata-kata. Kalau eksekusi sudah jelas, dia jagonya.
"Tapi kok tante gak hamil?"
Dengan santainya Tania bertanya sembari membuka bungkus snack yang masih ada, kemudian lanjut mengunyah seperti tidak ada beban.
"Tante kan sakit. Gak bisa hamil, Sayang."
Tania mengangguk, mengerti atau tidak yang penting Nero sudah menjawab dengan jujur.
"Om."
"Apa? Mau nanya apa lagi?"
"Katanya kalau lagi masa subur, walaupun cuma sekali ngelakuin, bisa hamil. Beneran?"
Nero menelan ludah, sembari berpikir kata-kata apa yang paling cocok untuk mrnjadi jawabannya.
"Iya, bisa jadi kalau rezeki. Kalau belum, ya di ulang lagi."
Jantung Nero rasanya mau copot menjawab pertanyaan seperti itu.
"Yah. Kalau ga hamil juga, masa diulang-ulang terus?" Ada nada kecewa dalam suara Tania.
'Kamu pikir yang begitu cuma buat hamil saja? Itu kebutuhan, Sayang. Terutama suami kamu ini, butuh banget,' gumam Nero. Rasanya dia ingin menumpahkan semua uneg-uneg di kepala.
"Oh gitu. Eh, Om. Itu-- "
"Apa lagi?!"
MNero sudah tidak bisa berkonsentrasi menonton. Sejak tadi Tania membahas itu terus, membuat pikirannya jadi berkelana ke mana-mana.
"Katanya kalau masih virgin pas ngelakuin itu sakit, ya?"
What the h***
Nero berbalik menghadap Tania dan memegang bahunya.
"Kata siapa? Dari tadi "katanya" terus?"
Ini anak dengar dari mana juga. Nero sampai tak habis pikir dibuatnya.
"Clara." Wahai kau gadis lugu nan polos.
"Kamu mau ngapain nanya-nanya begituan?" Wajah Nero panas. Kali ini dia benar-benar serius menanggapi pembicaraan Tania.
"Mau kasih papa cucu," lirihnya. Suaranya hampir tak terdengar karena tertunduk malu.
"Kenapa gitu?"
"Aku pengen kuliah."
Air mata Tania mulai menetes. Itu berarti drama sinetron akan segera dimulai.
Nero mengusap wajah, lalu berkata, "Ini semua ulah papamu." Nero merutuk dalam hati.
"Papa tetap gak boleh aku kuliah kalau aku belum kasih cucu." Air mata Tania semakin berlinang. Dia terisak-isak sembari memebersihkan hidung dengan tissue.
Nero menarik Tania ke dalam dekapan, berusaha untuk menenangkan dan memberikan kenyamanan. Dia mengerti posisi Tania saat ini. Anak itu butuh seseorang untuk mengerti keinginannya.
"Sudah jangan nangis. Nanti om coba bicara lagi. Papa memang gitu. Pelan-pelan, kamu sabar."
Nero berusaha membujuk. Dekapannya semakin erat. Tangannya mengusap helaian rambut Tania dengan lembut. Bibirnya mengecup pucuk kepala Tania berulang kali.
"Tapi waktunya tinggal satu bulan lagi. Kalau telat tahun depan baru bisa kuliah."
"Kalau gitu setahun ini kamu bimbel aja dulu. Sambil bantuin om di kantor. Belajar apa gitu."
"Aku gak mau nerusin usaha papa. Aku gak suka," tolaknya.
"Tania. Kamu itu anak satu-satunya. Papa mau kamu yang jadi penerus. Tapi om yang harus ngajarin. Gak ada maksud jahat mau ambil alih. Kamu jangan salah sangka." Nero mencoba menjelaskan. Padahal Bram sedang sekarat dan mereka harus merahasiakannya.
"Maaf, Om. Aku udah nuduh yang gak-gak." Tania sedikit menyesal. Ternyata selama ini suaminya tak seburuk yang dia kira.
"Om nikahin kamu atas permintaan papa. Awalnya juga nolak." Nero masih mengusap rambutnya. Kalau sudah begini Tania kembali menjadi gadis kecilnya.
"Om."
"Ya?"
"Gak apa-apa deh aku kasih papa cucu dulu. Asal tahun depan aku masuk FK UI. Boleh?"
"Yakin?"
"Iya." Tania mengangguk, menatap suaminya dengan penuh permohonan.
"Kamu mau itu sama aku?" Nero serasa ingin jungkir balik. Perutnya mendadak mulas.
"Asal om pelan-pelan." Tania menatapnya ragu.
"Maksudnya?" tanya Nero bingung.
"Kan aku masih virgin. Aku takut sakit." kata-kata itu meluncur saja seperti tanpa ada beban.
Nero membuang muka.
"Tania, dengerin! Kalau pun kamu mau ngelakuinnya, harus dengan cinta. Gak boleh karena terpaksa."
"Tapi kan aku gak cinta sama om."
"Kenapa?" Alis Nero terangkat.
"Om kan udah tua."
'Itu lagi. Salahku apa juga?' rutuk Nero dalam hati.
Tiba-tiba saja Tania melepaskan pelukan dan berjalan ke kamarnya. Nero termenung melihat sikap istrinya. Sungguh, rasanya dia sudah benar-benar gila.

Comentário do Livro (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    20d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes