logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

TERLALU TAMPAN

“Kita sudah sampai,” Arez menggenggam tangan Rania dan menatap gadis itu dengan lembut sebelum mengajaknya keluar dari basemant dan menuju lantai tertinggi apartemen-nya.
Rania menaikkan satu alisnya saat ia baru saja tiba di apartemen Arez setelah drama makan malam keluarga bahagia di rumah orang tua pria itu.
Ia duduk di ruang tamu yang cukup besar dengan dominasi warna soft white dan abu-abu gelap. Sangat maskulin, khas kepribadian pria itu yang terkesan dingin.
Rania menepuk-nepuk sofa yang terasa empuk di pantatnya, dahinya mengerut ketika melihat isi ruangan yang besar dan juga mewah. Benar-benar crazy rich yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
“Kau bisa gunakan kamar tamu. Istirahatlah,” ucap Arez datar sambil melempar jas mahalnya di sandaran sofa.
“Serius?” Rania mengerutkan dahi, “Kita tidak melakukan apapun malam ini?”
Arez menghentikan gerakannya, kembali menatapnya.
Oh ayolah, bukankah biasanya menurut Sully seorang sugar daddy akan melampiaskan napsu mereka meski baru pertama kali bertemu? Dan biasanya mereka adalah pria-pria yang memiliki napsu tinggi dan tidak puas dengan pasangannya sendiri?
“Kau ingin kita melakukan sesuatu?”
“Tidak… tidak. Tentu saja tidak,” Rania menggeleng cepat.
Kedua sudut bibir Arez tertarik ke atas. Ia melangkah pergi hingga punggung tegap itu menghilang di balik pintu kamarnya.
“Yes!” Rania memekik senang. Semoga saja Arez tidak menerkamnya malam ini. Ia sama sekali belum siap jika harus menyerahkan mahkotanya pada pria asing yang bahkan belum lama dikenalnya.
Mengingat ‘hal itu’ kaki Rania mendadak lemas. Ia sudah tinggal di apartemen pria itu, dan cepat atau lambat semua itu pasti akan terjadi. Sial.
Rania mulai mereguk oksigen dengan rakus. Sebelum kemudian ia terdiam, menghela napas panjang, lalu menekan dadanya kuat-kuat. Di sana, jantungnya bergemuruh dengan kencang tanpa bisa ia kendalikan.
Sebelum semua terlambat, Rania buru-buru memasuki kamar tamu yang ditunjukkan Arez padanya, kemudian menguncinya, sebelum pria itu berubah pikiran.
Ia lantas membersihkan diri di kamar mandi super mewah milik pria itu lalu memakai bathrobe yang tersimpan di sana.
Gadis itu mendesah panjang seraya mengeringkan rambut basahnya. Rasanya hanya dalam satu kejapan mata hidupnya telah berubah. Semua yang terjadi kemarin berlalu dan berganti dengan hari ini. Di mana Rania sudah berada di dalam kamar apartemen milik pria asing.
Rania menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Menangis sekali lagi di dalam kamar yang disediakan untuknya. Memikirkan penyakit mamanya, masa depannya, juga nasibnya karena berada di tempat ini dengan menjual tubuhnya.
Ya Tuhan. Apakah masih pantas dirinya menyebut nama Tuhan?
Rania memejamkan mata rapat-rapat, mungkin akan lebih baik baginya jika ia terpejam barang sejenak, melepaskan beban hidupnya, karena hampir selama dua minggu ia tidak tidur dengan nyenyak. Ia harus mengembalikan staminanya melalui lelap, agar bisa menghadapi semua masalahnya dengan semangat.
Namun rasa lelah karena terlalu banyak menangis membuat Rania tidur terlalu nyenyak. Bahkan ketika bulan telah lenyap dari peredaran dan menggiring mentari hingga telah menampakkan sinar terang, Rania tak kunjung terbangun.
“Apa saya terlalu berbaik hati kepada kamu?”
Sampai suara itu menyusup ke indra pendengarannya, membangunkan ia seketika. Sekujur tubuhnya merinding kala dari ambang pintu, tampak siluet pria berdiri di sana. Rania bangkit, mengusap matanya, dan wajah dengan tatapan tajam itu akhirnya terlihat jelas.
“Kenapa Anda bisa masuk?”
“Kamu lupa ini rumah siapa?”
Rania menelan ludahnya kasar. Baru hari pertama, tapi sudah membuat jantungnya berdegup tidak beraturan, apa kabar jantungnya nanti jika selama dua tahun dia akan tinggal di sini?
“Anda bisa mengetuk pintu dulu, kan?”
“Untuk apa? Ini rumah saya?”
Masih dengan detak jantung yang bergemuruh kencang, Rania menunduk, merapal doa agar tidak dilumat pria itu di pagi buta. Bukankah pada pagi hari kaum berhormon testosterone itu memiliki napsu yang sedang tinggi-tingginya?
Menunduk cukup lama, Rania lantas meringis kala tidak mendapati suara ketus dari pria itu. Penasaran ia mendongak, dan segera memberikan cengiran lebar kala sepasang mata tajam itu masih menangkap sosoknya dari ambang pintu.
Arez yang menggunakan kaos putih polos dan celana pendek, dengan rambut basah yang tidak serapi biasanya memantik rasa pesona Rania. Wajah pria itu tampak lelah namun tetap memancarkan gairah.
Astaga.
Kilat, Rania menelan salivanya. Ia mencoba menyadarkan akal sehatnya jika dirinya bukan perempuan yang mudah jatuh cinta begitu saja dalam pesona pria yang memiliki ketampanan bak dewa. Tapi dia juga sedikit tergoda untuk merasakan betapa kekarnya tangan Arez yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan terlihat kekar dengan otot biceps-nya itu melingkupi tubuhnya, lalu—.
“Apa kamu terbiasa menggoda pria?” suara Arez membuat kesadaran Rania kembali.
Pria itu melangkah selangkah membuat Rania refleks mundur ke belakang.
Gadis itu mendadak gelagapan.
Dia belum siap jika Arez bertindak melewati batas pagi ini.
“Ma-maaf, saya tidak mengerti,” terbata-bata Rania langsung menggigit bibir bawahnya kala Arez semakin mendekati dirinya yang kian terpojok.
“Lalu apa maksud memakai bathrobe waktu tidur?”
“Bath-robe?”
Astaga. Rania memperhatikan penampilannya. Dia masih memakai handuk mandi semalam.
Rania gugup. Ia meremas selimut lalu menutup tubuhnya hingga sebatas dada, “Itu um…, maaf, saya tidak sengaja. Kemarin Anda menjemput saya di kampus jadi saya tidak membawa baju ganti,” Rania berusaha meyakinkan di antara posisi yang tersudutkan.
Kening pria tampan bermanik abu itu berkerut dalam, “Tidak sengaja? Lalu kenapa kau tidak menalikan talinya?” sigap tangan yang sempat menjadi fantasi di kepala Rania beberapa saat yang lalu menangkap lengan gadis itu. Rania terkesiap. Ia melotot bersama suara kaget yang terdengar seperti kucing kejepit. Tapi dia benar-benar terjepit sekarang.
“Om?”
“Arez, Rania!”
“A-Arez.”
“Lain kali jangan menggunakan sesuatu yang menggoda di sini. Atau kau akan menanggung akibatnya,” pria itu menarik Rania, semakin menempel pada dirinya.
Rania menunduk, ia mengangguk dengan mata terpejam. Sekarang, semua fantasi liarnya lenyap, dan yang tersisa hanya rasa takut jika pria itu bertindak macam-macam. Apalagi di apartemen ini hanya ada dirinya dan Arez. Ini tidak aman.
“Tatap mataku saat aku berbicara,” desis Arez di telinga membangkitkan kumpulan bulu roma Rania. Pria itu melingkarkan tangan ke pinggul Rania hingga posisi mereka kian merapat, dan Rania tidak mampu memberontak.
“O-om… pelukan lima puluh juta, ditambah sentuhan sengaja se-sepuluh juta,” Rania menarik napas dalam, memberanikan diri untuk mendongak. Ia menatap Arez masih dengan gemuruh detak jantung yang mengerikan. Berusaha memberi ancaman agar pria itu menghentikan tindakannya.
Diam sejenak, pandangan mereka saling bertaut. Hingga seulas senyum di bibir Arez tercipta, dan Rania tidak mampu menghindari pipinya yang merona.
“Sejak kapan?” Arez mengeratkan rangkulannya.
“Sejak perjanjian kita tanda tangani,” Rania menjawab hati-hati, lalu kembali menunduk. Matanya tak sanggup menanggung tatapan seduktif Arez. Rania takut meleleh. “Sa-saya—”
“Oh, shit. Hentikan, ‘saya atau Anda’. Kita bisa mencoba untuk lebih dekat sebelum menikah.”
“Om….”
“Arez, Rania!” Arez mengeraskan rahangnya.
“A-Arez.”
“Sejak kapan?” desis pria itu lagi di telinganya sambil mengendus lehernya hingga tubuh Rania meremang.
“Sejak per-perjanjian kita.”
“Bukan! Setahuku sejak pertama kali aku melihatmu.”
“Haa?” Rania kembali menatap sorot tajam di hadapannya dengan kebingungan yang begitu kentara.
“Sejak kapan kamu sangat menggoda, Rania?”
“Ha?”
Menggoda katanya? Sepertinya pendengaran Rania sedikit bermasalah. Dia tidak mungkin mendengar Arez mengatakan dirinya sangat menggoda, bukan?
“Ma-maaf. Tapi tolong lepaskan saya,” Rania memberontak ketika alarm peringatan berdering nyaring di telinga. Ia sudah tidak kuat dengan jantungnya. Gadis itu sontak mundur saat Arez melepaskan pelukannya.
“Kamu harus mentransfernya, Om, jangan lupa!”
Arez kembali tersenyum dan jauh lebih lebar dari sebelumnya. Rania yang diberi keindahan seperti ini jelas tidak bisa membuang rasa kagumnya. Ia benar-benar tidak menyangka, jika di dunia ini ada manusia seperti Arez. Tampan sekali.
Rania yang terlalu berlebihan, atau memang Arez yang terlalu tampan? Entahlah.
“Arez, Rania! aku akan menghukummu jika sekali lagi kamu memanggilku, Om!” ucap Arez bersama dengan seringai yang semakin meruncing di sudut bibirnya. Manik abu gelap itu berkedip sebelah, menggoda Rania yang seketika terpana.
Ah.
*****

Comentário do Livro (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes