logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Titik Jatuh

Nesya tertawa sangat keras. Seluruh tubuhnya terguncang. Aku ingin sekali mencekiknya sampai mati.
“Kembalikan semua barang berharga yang sudah diberikan Mami padamu.” Aku menggulangi permintaanku dan ia semakin tertawa senang. Ia bahkan menunjuk-nunjukku dengan telunjuk saat tertawa. “Ini sama sekali tidak lucu!” tegasku padanya.
“Yang benar saja. Kamu meminta kembali yang sudah kamu berikan?” Nesya tersenyum menggejek. “Menjilat ludahmu sendiri, eh?”
“Terserah kamu mau bilang apa. Aku hanya minta barang-barang Mami dikembalikan semua. Aku tidak minta yang kuberikan padamu.” Aku tidak akan pulang dari tempat Nesya sebelum memberikan kotak perhiasan Mami dan juga kebaya pernikahan. Itu benda-benda kenangan dari Papi.
“Segitu parah nasibmu sekarang sampai meminta benda-benda murahan itu.” Untuk sesaat kulihat Nesya memalingkan wajah. “Malang sekali nasibmu, Sur,” ungkapnya sambil berdiri. Ia menghilang ke dalam rumah.
Aku menunggunya dengan perasaan was-was. Bagaimana jika Nesya tak akan keluar lagi? Walau semua benda yang kuminta memang tak seberapa harganya. Namun, kekhawatiranku berubah menjadi kelegaan saat sama-samar langkah kaki Nesya mendekat. Sebuah kotak mendarat di pangkuanku.
“Ambil, tuh! Lalu pergi.” Ia menggusirku segera. Sikap manis dan manjanya yang biasa menghilang sudah. Ia sudah terlihat seperti orang-orang lain yang mendekatiku hanya ketika ada maunya saja. Beginilah wujud sebenarnya dari kekasihku. Miris. “Kenapa masih di sini?” Suara Nesya meninggi.
Rasa sakit menjalar demikian cepat di hatiku. Begitu mudah aku dicampakkan. Aku pikir ia adalah gadis yang tepat untukku. Sikap manisnya mencerminkan hatinya yang juga manis. Sayang sekali aku salah. Aku salah. Kuangkat kotak berisi beberapa barang pemberian Mami untuk Nesya. Apa yang kusesali sekarang, bukankah sudah terlambat semua.
***
“Kebaya yang Mami kasih ke Nesya, kok, bisa balik di dalam lemari, ya?” Mami berdiri di depan pintu kamarku.
Aku tersentak mendengar pertanyaan Mami. Mami sangat sayang pada Nesya. Ia sudah punya rencana tentang apa-apa yang akan dilakukan dengan Nesya setelah aku menikah. “Surya putus sama Nesya, Mi.” Aku tidak akan berbohong pada Mami.
Tidak kudengar jawaban dari Mami selama beberapa saat, hanya gesekan sendal yang sedang dipakainya sedikit dengan lantai. Mungkin Mami terkejut mendengar kabar yang aku bawa. “Kenapa? Hubungan kalian baik-baik saja sampai kemarin?” Tidak bisa Mami menyembunyikan suara terkejutnya dariku.
Aku berdiri dari duduk, meninggalkan tepi ranjang tempat bermenung akan nasib, mendekati Mami dan memeluknya dari samping. “Nesya mungkin bukan orang yang cocok untuk Surya.” Aku tidak bisa mengatakan apa fungsiku untuk Nesya. Bagiaman Nesya ternyata punya orang lain di belakangku. Lalu juga tentang penyakitku.
“Dia gadis yang baik,” lirih Mami. Ia menoleh padaku yang meletakkan ujung dagi di bahunya.
Ingin sekali aku mengatakan pada Mami jika itu tidak benar. Jika Nesya ada gadis busuk yang hanya ingin uang dariku. Bahwa setelah mendapatkan segala kemewahan dari Surya Adipati ia kemudian bersenang-senang dengan si busuk lainnya. “Dia akan baik-baik saja tanpaku.” Sebab Nesya mungkin bahagia setelah ini. Ia tak harus terikat dengan seseorang yang menderita kanker hati stadium 2, yang mungkin sebentar lagi mendekati hari akhir.
“Kamu juga akan baik-baik saja, kan?” Mata Mami memancarkan kecemasan akan perasaanku.
Setelah ini, aku pasti akan baik-baik saja. Aku hanya mencemaskan Mami yang akan bagaimana jika tidak adadiriku. Tiba-tiba perasaan mual menyerangku. Aku menahan diri untuk tidak berlari ke kamar mandi dan muntah. Mami akan cemas. keadaan menyelamatkanku, pintu diketuk seseorang. Mami bergegas pergi dan aku segera berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perutku. Aku terduduk lemas setelah itu di dekat pintu, bukan cuma makanan yang kini ada dalam muntahanku, darah juga. Tidak mungkin jadi sedemikian buruk dalam seminggu. Baru seminggu lalu.
Sikap langsung kuubah saat Mami melonggok kembali di pintu. “Ada tamu.”
Jarang sekali ada yang mencariku lepas Isya. Biasanya aku yang menemui mereka di luar sana. Mungkin mereka merasa kehilangan karena sudah seminggu tak melihatku atau mereka bermaksud mengejekku kini. Apa kabar penyakitku sudah sampai di telinga mereka?
Bukan teman yang biasa nongkrong denganku yang ada di ruang tamu, melainkan Jingga. Apa kalimat pengusiranku sama sekali tak dipahami. Bagaimana aku mengatakan padanya jika tidak butuh bantuan. Ya Tuhan, gadis ini serasa menyebalkan dilihat dari segi mana pun.
“Hai Sur!” Jingga menyapaku dengan nada riang.
Aku memaksakan diri tersenyum dan melirik Mami. “Baru pulang kerja?” tanyaku berbasa-basi. Pakaian Jingga masih baju putih khas perawat.
Jingga mengangguk. Matanya tertuju pada Mami, seolah Mami yang bertanya bukannya aku. “Tadi langsung ke sini, Tante.”
“Ada perlu apa sama Surya?” Mami penasaran.
Aku berharap Jingga tidak mengatakan apa-apa soal penyakitku. Mami bisa pingsan mendengarnya. Kulihat Jingga seolah malu-malu, menunduk memandangi lantai tempat sepatu putih yang terlihat cantik, tapi sangat sederhana membalut kakinya.
“Saya ada suka sama teman Surya, Tante.”
Dasar pembohong ulung. Dulu seluruh sekolah heboh saat dia mengatakan suka padaku. Orang-orang yang awalnya menjadikanku bahan olokan malah segan. Mami berdiri, berkata ia ingin ke kamar dan istirahat, meninggalkanku dan Jingga. “Pastinya yang kamu katakan tidak ada yang benar.” Aku bersandar di tembok, di dekat pintu masuk. Tidak ingin duduk dan kemudian Jingga melihat kelemahan sikapku kini.
“Kamu lebih suka aku katakan alasan sebenarnya berada di sini?” Sikap tubuh Jingga mulai santai terlihat. Ia sedikit menyandarkan punggung di kursi, menatapku. “Aku masih ingin bicara denganmu.”
“Sudah kukatakan padamu. Aku tidak butuh bantuan. Biar aku dengan hidupku dan menjauhlah.” Kembali kuusir Jingga dan semua niat baiknya.
“Dua hari lalu kamu bertanya, tentang orang-orang yang sembuh dari penyakit ini. Di kota ini ada tiga orang.” Jingga menyerahkan sehelai kertas berisi nama-nama. “Aku memang tidak bisa mengakses data mereka di rumah sakit. Aku tidak berhak. Aku tahu dari orang-orang yang pernah merawat mereka. Sungguh, Sur, mereka sembuh,” yakin Jingga padaku.
“Apa gunanya untukku? Ah? Penyakitku dan mereka pasti berbeda. Aku sudah mencari data tentang kesembuhan orang-orang dengan kanker hati. Hampir Sembilan puluh persen kembali dengan Kanker jenis yang lain. Tidak ada kata sembuh dalam hal ini.”
“Pengecut.”
Tiba-tiba kata-kata itu meloncat dari mulut Jingga. Untuk siapa lagi kalau bukan aku. Mendengar itu seluruh tubuhku mendidih. “Jaga mulutmu!” seruku berang.
“Apa namanya kalau bukan itu?” Kini gadis didepanku bukan lagi malaikat berseragam putih. Ia terlihat menjengkelkan.
“Kamu … apa maumu?”
“Ikut denganku besok. Sehari saja, jangan menolak.”

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes