logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Obrolan Santai

Pagi hari.
Bram ke luar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil. Ia hanya mengenakan handuk yang membelit pinggang serta bertelanjang dada.
“Mas?” Suci terbangun dari tidur ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. “Kamu baru pulang?”
“Hm ...” Bram mendekati lemari dan mengambil bajunya.
“Semalam?”
Bram tidak menjawab. Dia merasa tidak perlu melaporkan pada Suci segala yang telah dia lalui sepanjang hari kemarin. Toh, dia menikahi Suci hanya karena warisan, bukan cinta.
Seandainya saja orang tua Bram tidak memberikan syarat-syarat untuk mendapatkan warisan mereka, Bram juga tidak sudi terikat status yang sangat menjengkelkan dengan wanita mana pun.
Bagi Bram, wanita itu merepotkan. Sejak remaja, dia bercita-cita hanya ingin tinggal satu atap dengan perempuan tanpa diikat status supaya bisa meninggalkan wanita itu kapan pun jika dia sudah bosan.
Meski masih mengantuk, Suci tetap bangun dan membantu Bram mencari pakaian yang akan dikenakan hari ini.
“Kamu kapan pulang, Mas? Aku sudah semalaman menunggui kamu hingga tertidur. Barusan? Atau subuh?” tanya Suci sembari sibuk membongkar lemari. Entah kenapa akhir-akhir ini Bram jarang pulang.
Bram berdecih. “Kamu jangan banyak bertanya. Lagian itu juga bukan urusanmu. Cari saja bajuku.” Bram pergi menuju ruang kerja untuk menyiapkan semua berkas-berkas kantor.
Suci menghela napas berat. Sikap Bram tak kunjung berubah sejak pertama menikah. Padahal ketika mereka masih berpacaran, Bram merupakan pria yang sangat romantis.
Bram sering memberikan Suci bunga, cokelat, bahkan tak jarang barang-barang mewah, seperti tas, sepatu, dan lain sebagainya.
Siapa yang tidak akan meleleh jika diperlakukan seperti seorang ratu? Suci tidak pernah mempersalahkan soal harga, tetapi Suci kagum pada perhatian Bram.
Namun, setelah mereka resmi jadi sepasang suami-istri, sikap Bram mendadak berubah. Dia ketus, selalu bersikap kasar dan arogan, ingin menang sendiri, bahkan tak segan-segan hampir memukuli Suci ketika sedang marah.
Suci hanya memendam semuanya demi anak semata wayang mereka, Agha. Suci tidak ingin Agha tumbuh menjadi anak nakal akibat dampak dari perceraian orang tuanya.
Sebenarnya kemarin Bram pergi dan menginap di mana? Apa di kantor?
Sebagai seorang istri, Suci ingin mengetahui segala kegiatan Bram di luar sana, tetapi Bram selalu menutup diri dan tidak suka jika kehidupannya diusik.
Bram seakan menganggap Suci sama seperti orang lain, bahkan kadang tak pernah mengakui keberadaannya. Namun, setidaknya sikap buruk Bram akan berubah saat berada di dekat Agha.
Bram mendadak menjelma menjadi ayah yang baik dan ramah pada Agha. Itulah alasan Suci memutuskan untuk tepat mempertahankan rumah tangganya.
Ya, semata-mata hanya karena napas hidup dan separuh jiwanya, yaitu Agha. Tiada yang lebih penting bagi Suci selain melihat kebahagiaan sang putra. Apa pun akan Suci lakukan demi Agha, meski dia harus mengorbankan dirinya.
***
Suci tertawa dan bercanda dengan para orang tua teman anaknya di sebuah kafe. Mereka mengadakan pertemuan kecil untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama orang tua murid sembari membahas seputar putra-putri masing-masing dan lain sebagainya.
“Oh iya, Say.” Salah satu dari mereka menepuk pundak Suci pelan. “Kemarin aku lihat Agha dijemput seorang wanita cantik, loh. Apa kamu menyewa jasa babysister?”
Suci menggeleng. “Ah, nggak, kok. Wanita itu adalah guru les privat baru anakku. Namanya Zulfa.” Suci tersenyum.
“Oh, begitu ….” Mereka manggut-manggut.
“Tapi, kok, guru privat sampai jemput Agha ke sekolah? Setahu saya kalau nggak salah, itu bukan termaksud tugas seorang guru les privat, kan?”
Suci terkekeh kikuk. “Memang benar, sih, Say. Tapi karena kebetulan saat itu aku lagi kepepet banget ada pesanan banyak, sampai-sampai nggak bisa aku handle, apalagi ditinggal begitu saja. Alhasil, aku minta tolong guru privat Agha untuk menjemputnya.”
“Tumben banget ada guru privat sebaik itu, loh, Jeng. Guru les anak saya aja ogah-ogahan kalau saya minta tolong apa pun yang berhubungan dengan anak saya. Harus ada duit, duit, dan duit. Pusing saya.”
“Benar, tuh, Jeng! Kamu harus baik-baik terus sama dia, jangan sampai dia nggak betah kerja di rumahmu. Jarang-jarang ada guru les privat sebaik dia. Saya juga kepingin, tapi nggak nemu-nemu.”
Suci terkekeh. “Pasti, kok, Jeng. Malahan saya dan dia sudah dekat banget bak sahabat. Apalagi umurnya nggak jauh berbeda dari saya.”
“Cowok atau cewek guru privatnya?” Salah satu teman Suci baru menimbrung setelah habis ke kamar mandi dan tak sempat mendengar pembicaraan mereka dari awal.
“Cewek dong, Jeng. Namanya juga ‘Zulfa’.”
“Oh iya, ya!” Semuanya terkekeh geli.
“Tapi Jeng harus hati-hati. Zaman sekarang lagi zamannya teman makan teman, loh.”
Suci mengernyit. “Maksudnya?”
“Ah, si Jeng! Jangan polos-polos banget. Masa Jeng nggak nonton TV atau medsos, sih?”
“Makanya, Say, jangan sibuk mengurus anak dan bisnis doang, dong. Sekali-sekali kita harus tahu dunia luar. Iya, nggak, semuanya?”
“Benar, tuh!”
“Ah, jangan langsung berpikir seperti itu. Nggak baik, loh. Apalagi sama orang yang belum dikenal,” tegur Suci sopan. “Saya tahu persis bagaimana tingkah laku suami saya. Dipikiran dia selalu kerja, kerja, dan kerja. Jadi mana mungkin suamiku dan guru les Agha saling tertarik satu sama lain.”
“Bagus deh, Jeng, kalau suami Jeng sukanya cuma kerja, doang, dan langsung pulang ke rumah. Lah! Suami saya sering keluyuran nggak jelas ke mana-mana. Saat subuh baru pulang. Saya iseng-iseng langsung selidiki, eh, tahu-tahunya punya selingkuhan di apartemen.”
Suci terdiam, termenung pada semua peristiwa yang sudah terjadi dalam rumah tangganya. Semua tanda itu terdapat pada diri Bram.
Apakah mungkin … nggak, nggak, nggak! Suci langsung menggeleng cepat. Mana mungkin Bram selingkuhi aku!
***
Suci duduk di sofa tamu sambil menghela napas berat. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal.
“Asyik! Ibu sudah pulang!” Agha berlari menghampiri Suci lalu memeluknya. Suci tidak meninggalkan anaknya seorang diri di rumah, ada bibi yang setia menjaga Agha ketika dia sedang ada urusan di luar.
Suci membalas pelukan Agha.
“Lihat, Bu! Gambar Agha! Agha bisa gambar sendiri, loh!” Agha menunjukkan pada Suci sebuah lukisan yang dibuat oleh tangan Agha sendiri. Bocah itu memamerkan deretan gigi indahnya.
“Wah! Bagus sekali, Sayang! Sampai kamu dapat nilai 90. Siapa yang mengajarimu?”
“Tante Zulfa, dong! Makanya aku jadi jago menggambar!”
“Tante Zulfa?” Suci tersenyum lebar. Zulfa benar-benar telah berhasil mendidik anaknya hingga menjadi murid pintar dan berprestasi sehingga Agha bukan saja cerdas dalam soal pelajaran, melainkan seni lukis pun ikut dia borong.
Kali ini, dia harus mengucapkan terima kasih dengan memberikan sesuatu. Segala ketakutan Suci pun lenyap. Dia harus membuang jauh-jauh segala pemikiran aneh gara-gara terlalu memikirkan omongan ibu-ibu di kafe tadi.
Terkadang Suci harus menyaring segala informasi yang sudah masuk melalui telinganya.
“Kamu mau jalan-jalan lagi dengan Tante Zulfa, Sayang?” ajak Suci antusias.
“Mau, Mau!”
“Ayo kita siap-siap!”
“Asyik!”
***
Tbc

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    YusufMohammad

    bagus pake banget

    5d

      0
  • avatar
    LitaDuma

    aku pengen punya diamond

    27d

      0
  • avatar
    SaprudinUdin

    seru

    14/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes