logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Kebahagiaan Semu yang Diharapkan Perempuan Menyedihkan

"Tapi bukan sebagai guru lesnya, brengsek!"
Bram terkekeh sinis. "Masih mending aku mengizinkanmu untuk dekat dengan Agha. Kenapa kamu malah marah-marah padaku? Oh! Atau jangan-jangan … kamu ingin dipisahkan lagi?" ejeknya.
Bram selalu berkuasa di mana pun. Ahlinya adalah mengekang orang-orang di dekatnya ke dalam kendalinya.
"Kurang ajar!" Zulfa melempar vas bunga ke arah Bram, tetapi Bram langsung menepisnya. "Awas saja kalau kamu berani-berani melakukan hal itu! Aku tidak akan segan-segan memberi tahu kebusukanmu pada Suci dan keluargamu!"
"Kamu mengancamku?" tanya Bram. Tidak ada yang lebih penting baginya selain harta kekayaan orang tua. Bram rela melakukan apa pun demi mendapatkan warisan dengan cara licik sekalipun. Seperti memisahkan anak kandung dari ibunya.
Bram tidak peduli perasaan Zulfa yang hancur. Toh, sekarang mantan kekasih dan istrinya bisa sama-sama merawat Agha tanpa mengancam posisinya.
"Aku sudah melakukan apa yang kamu inginkan. Awas saja kalau kamu sampai melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan untuk menghabisimu. Selamanya, Agha tidak perlu tahu siapa wanita yang telah melahirkan dia!" lanjut pria tampan itu.
"Dasar pria brengsek! Berani-beraninya kamu mengorbankan kebahagiaan orang lain demi kepentinganmu sendiri!" bentak Zulfa.
Bram menyeringai penuh kemenangan. "Aku bukan pria berengsek, Sayang. Melainkan pria cerdik. Terkadang kita harus mengorbankan orang lain demi kebahagiaan kita. Karena itu, aku bisa mendapatkan apa pun dengan kecerdikanku. Yang penting sekarang, kamu sudah bisa dekat dengan Agha, kan? Meski hanya berpura-pura sebagai guru lesnya."
Zulfa mengepalkan tangan kuat-kuat. Jika dia tidak mengingat Agha, sudah dari dulu dia membunuh pria berhati iblis di depannya ini.
"Bagaimana pertama kali kamu mengajari anak kita? Pasti kamu menyadari kepintarannya sama sepertimu, kan?" Bram tersenyum semringah. "Bagiku dia mirip sekali dengamu. Kecerdasan dan senyumannya."
Zalfa mendengus-dengus bak banteng. Ia harus bisa menahan emosi meski pujian Bram terdengar seperti sebuah ejekan.
"Kamu pasti bahagia, Sayang? Sekarang kamu bisa dekat dengan anak kita, Agha. Apa kamu tidak mau memberikan sesuatu untukku sebagai ucapan terima kasih?"
Apa yang harus Zulfa lakukan sebagai tanda terima kasih pada Bram? Apa yang sudah Bram berikan padanya selain luka dan penderitaan? Apakah Zulfa harus berterima kasih dengan kekejian Bram yang telah memisahkan dia dari anaknya?
"Aku akan mengirim malaikat maut untuk menghabisi nyawamu dari dunia ini! Sekarang pergi dari sini! Aku muak melihat tampang menjijikkanmu!"
Zulfa segera ke kamar dan membanting pintu dengan kasar hingga suara empasannya menggelegar di apartemen. 
Tangis Zulfa pecah. Dia mengempaskan dirinya di belakang pintu sambil menangis terisak-isak dalam keheningan.
Jangan sampai Bram tertawa melihat penderitaannya, bisa-bisa Bram akan bersikap semena-mena.
Perlahan tubuh Zulfa merosot hingga terduduk menyentuh lantai. Zulfa mencengkeram rambutnya frustrasi.
Entah sampai kapan penderitaan Zulfa akan berakhir? Zulfa sudah muak dengan semua ini. Dia hanya ingin merebut kembali kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya yang Bram dan Suci rampas pergi, lalu jauh-jauh meninggalkan kenangan pahit bersama Agha nantinya. 
Apalagi hampir tiap hari Zulfa harus bertemu Bram, pria bajingan itu, Zulfa benar-benar benci. Namun, takdir seperti enggan melepaskannya dari jeratan mantan kekasih.
Zulfa tidak bisa berlama-lama hidup dalam kegelapan tak berujung. Zulfa harus segera mengakhiri semuanya.
***
Suci menemani Agha tidur pada malam hari seperti yang sering dia lakukan. Sebelum tidur, Suci rutin membacakan dongeng untuk putranya karena Agha terkadang sulit tidur.
Setelah beberapa menit membaca, akhirnya Suci berkata, "Akhirnya mereka hidup bahagia, selamanya. Selesai." Suci tersenyum sambil menutup bukunya.
"Yah … Kenapa sudah selesai, Bu? padahal aku mau dengar cerita lagi? Aku masih belum bisa tidur," keluh Agha.
"Besok Ibu bacakan dongeng lagi, ya. Sekarang kamu tidur saja. Besok kamu pagi-pagi harus berangkat sekolah." 
"Tapi aku belum bisa tidur, Bu." Agha merengek-rengek. "Ayolah! Baca lagi!"
Suci tetap sabar menghadapi anaknya yang kadang rewel. "Tapi buku dongengnya sudah dibaca semua, Sayang. Besok Ibu belikan buku dongeng yang baru lagi, ya. Yang lebih seru. Oke?"
"Nggak mau! Nggak masalah juga buku yang sudah dibaca saja boleh, yang penting Agha tidur." Agha takut kalau ditinggalkan sendiri saat dia belum benar-benar tidur. Apalagi kamarnya hanya diterangi cahaya lampu tidur.
"Baiklah." Suci tersenyum kecil. "Bagaimana kalau kamu ceritakan apa yang sudah kamu lakukan seharian ini?" usul Suci antusias.
"Apa yang kulakukan sehari ini?" 
Suci mengangguk. "Benar, Sayang." Sejujurnya Suci sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Agha dan Zulfa saat di taman tadi hingga lupa waktu. Dia saat memercayai Zulfa, hanya saja saat jarang Agha bisa dekat sama orang hingga lupa segalanya.
"Oh! Aku tadi main sama tante Zulfa di taman! Seru sekali!" 
"Benarkah? Seseru apa, sih? Sampai kalian lupa waktu. Memangnya apa yang kalian lakukan di taman tadi? Ibu mau dengar." Suci pun mendengarkan Agha dengan saksama.
"Banyak! Main kejar-kejaran, main sepatu roda, foto sama badut!" Agha bercerita dengan ekspresi menggemaskan.
"Wah! Asyik sekali Kok Ibu nggak diajak, sih?" Suci pura-pura cemberut.
"Salah Ibu sendiri, karena Ibu terlalu sibuk di toko sampai telat menjemput aku." Agha memanyunkan bibir, kesal.
"Oh, ya. Ibu lupa menjelaskannya padamu, Sayang." Suci menatap Agha penuh penyesalan. "Maafkan Ibu, Sayang. Ibu benar-bensr tidak bermaksud terlambat menjemputmu. Saat itu, Ibu sangat sibuk sekali. Banyak sekali pesanan yang harus Ibu selesaikan pada hari itu juga. Makanya Ibu jadi minta tolong sama tante Zulfa."
Agha mengangguk. "Nggak apa-apa, kok, Bu! Karena Ibu nggak bisa jemput aku, aku jadi bisa main di taman sama tante Zulfa! Lain kali, kita main-main ke sana, ya!"
Suci tersenyum. "Tentu saja."
"Jangan lupa ajak tante Zulfa, ya?!"
"Pasti, Sayang!"
"Asyik! Aku jadi nggak sabar menunggu hari itu!"
"Karena itu, sekarang kamu tidur, ya."
"Baiklah, Bu." Agha tidur di pelukaan Suci. 
Suci terus mencium kening anaknya sambil mengusap-usap kepala supaya Agha cepat tertidur.
Suci tersenyum tanpa sadar. Kehadiran Zulfa ternyata banyak membantunya bukan hanya sekadar mengajari Agha. Suci tahu bahwa Zulfa sangat tulus menyayangi anaknya. Karena kasih itu, Zulfa sampai berinisiatif sendiri untuk mengajak Agha ke taman supaya terhibur. 
Suci tahu maksud Zulfa. Dia sudah mendengar dari guru bahwa Agha terus menangis karena ketakutan tinggal sendiri di sekolah.
Suci sangat beruntung dipertemukan dengan Zulfa. Entah dari mana Bram kenal dengan wanita itu, tetapi Suci benar-benar berterima kasih karena Bram sudah bersusah payah mencarikan guru privat untuk Agha.
Selama ini, Agha tidak pernah cocok dengan guru-guru sebelumnya. Bahkan, Agha malas bertemu dengan mereka. Alhasil, guru-guru itu menyerah dan mengundurkan diri.
Namun, sangat berbeda saat dengan Zulfa. Dengan semangat menggebu-gebu, Agha  selalu antusias belajar hingga mendapat nilai terbaik.
***
Tbc

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    YusufMohammad

    bagus pake banget

    5d

      0
  • avatar
    LitaDuma

    aku pengen punya diamond

    27d

      0
  • avatar
    SaprudinUdin

    seru

    14/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes