logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Episode 11

Sandra melirik jam yang ada di tangannya. Walaupun mobilnya memiliki pendingin, lehernya terasa gerah. Ia sedang memikirkan sesuatu. Dua temannya sedanga asyik menggoda Sabda sambil makan kentang goreng yang juga ia sukai.
Sesekali ia melihat Sabda lewat cermin atau spion dalam mobil yang berada di atasnya. Sabda tidak terlihat terganggu dengan keberadaan Juni dan Mae.
“Cakep, kamu mau sama tante Mae atau tante Juni?” tawar Mae pada Sabda yang mulai akrab dengan mereka berdua.
Sabda terlihat berpikir, mungkin lebih tepatnya tidak memahami apa yang Mae katakan.
“Sabda pasti tahu mana yang memiliki jiwa keibuan.” Nada sarkasme dari Juni menghantam telinga Mae.
“Apaan deh Jun! Emang aku nggak keibuan apa? Aku kan juga cewek yang bisa jadi ibu.” Kata Mae tidak terima.
Juni hanya tertawa, ia seringkali merasa kalah dari Mae. Kali ini ia yang memenangkannya.
“Kalian bisa menikmati lucu-lucunya Sabda aja. Repot loh punya anak.” Ujar Sandra yang masih menyetir.
“Di sini nggak ada yang bilang kalau ngurus anak enak, San.” Kata Juni.
Tiba-tiba suasana menjadi tidak nyaman. Juni yang semula terlihat senang dan biasa saja, mendadak terlihat tidak terima dengan pernyataan Sandra.
“Iya.. nggak ada yang bilang... kok..” kata Sandra sedikit merasa takut dengan ekspresi wajah Juni yang berubah.
“Ini emak-emak di depan pada ngapain ya? Gimana nih Sabda, sama tante Mae aja ya? Tante punya uang nih.. hahahah.” Usaha Mae untuk meredam ketegangan yang tiba-tiba di antara Sandra dan Juni sia-sia. Mereka berdua yang duduk di depan tidak merespon.
“Woy!” Mae memegang salah satu pundak dari masing-masing mereka. “Kalian kenapa sih?”
“Nggak, aku nggak kenapa-kenapa.” Ujar Juni.
Sandra hanya mengangguk, mungkin memang tidak ada apa bagi Sandra.
“Nggak. Kalian pasti ada apa-apa.” Kata Mae.
“Udah deh Mae, nggak usah sok tahu!” kata Juni sedikit berteriak.
Mae dan Sandra terkejut melihat Juni yang berkata dengan nada tinggi. Mae hanya menelan ludah sambil melirik Sandra yang masih menyetir tanpa ekspresi.
Dalam sekejap, suasana mobil terasa begitu tegang. Mae menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa tujuan sebagai imbas akan kebingungannya. Sandra terus menyetir tanpa merasa ada sesuatu yang terjadi.
“Jun, alamatnya di mana untuk kontrakan yang di kompleks rumahku?” tanya Sandra dengan ekspresi datar kepada Juni.
Juni tersadar, ia meraih ponselnya dan mencari alamat yang sempat ia catat. “Ini.” katanya sambil memberikan ponselnya.
“Oke, ini satu blok sama aku. Selisih dua rumah dari rumahku.” Ungkap Sandra.
“Kita langsung ke rumahmu aja San. Sabda kayaknya ngantuk ini. dia kan nggak tidur siang.” Tawar Mae dari belakang sambil mengelus dahi Sabda.
Sandra mengangguk tanda setuju.
--
Senja telah nampak di atas langit. Suasana yang terkesan oranye menyambut malam serta kepulangan para pekerja menuju rumah. Harusnya, dengan segera, Ken memilih untuk pulang. Tapi perasaannya tidak menginginkan demikian.
“Nggak pulang, pak?” salah satu karyawannya menyapa Ken yang berdiri di depan dispenser pantry.
“Habis ini, masih pingin diem dulu.” Ungkap Ken dengan senyumannya.
Salah satu karyawan wanitanya juga menyapanya untuk berpamitan pulang. Ken membalas dengan senyuman yang utuh, tidak dibuat-buat. Ia segera masuk ke ruangannya.
“Ken!” seseorang memanggil Ken dengan nada seperti teman sendiri. Dilan datang membawa makanan dan merangkul Ken yang terheran akan kedatangannya.
“Dilan? Ngapain ke sini? Jangan bilang mau minta uang?” tanya Ken.
“Tentu tidak. Aku malah bawa makanan ini. haha. Aku pikir kita akan makan-makan sebagai teman lama. Tapi daripada makan di luar, mending di kantormu saja yang sepi.” Ujar Dilan menunjukkan sekotak ayam goreng renyah dengan merk MaxD.
“Wow! Makanan ini kan mewah banget di zaman kita kuliah. Hahaha.” Timpal Ken sembari mengenang ketika ia masih menjadi mahasiswa. “Ayo masuk ke ruanganku!”
Ken dan Dilan masuk dengan makanan yang dibawa oleh Dilan. Ia mengamati seluruh ruangan Ken yang terlihat tidak biasa. “Ini pasti Sandra yang desain.”
“Iya lah. Mau siapa lagi? Aku nggak terlalu tertarik dengan desain awalnya. Tapi lama-lama benar juga katanya kalau ruangan yang nyaman bisa membuat kita berpikir lebih jernih.”
“Sandra memang keren dari dulu. Dulu dia sering nulis, sekarang dia malah bisa desain. Keren!” puji Dilan yang masih mengelilingi ruangan dengan desain yang cukup estetik.
“Tapi Sandra udah nggak nulis lagi sekarang, Lan.”
“Mungkin dia sudah bosan?”
“Mungkin.” Jawab Ken yang sebenarnya menyangkal kemungkinan akan hal itu. “Sandra berbeda sekarang, Lan.”
“Bukankah setiap orang pasti akan berubah, ya?”
Ken menarik nafas dalam, menghembuskannya. Ia mengulanginya sampai lima kali. Ia menyadari Dilan mungkin tidak akan memahaminya. Ya, Dilan belum menikah. Dilan akan menganggap perubahan akan selalu ada dan bisa diterima. Padahal dalam sebuah pernikahan, perubahan sebagian bisa menjadi malapetaka yang tidak bisa dibayangkan.
“Ponselmu bunyi tuh!” kata Dilan.
Ken tidak sadar bahwa selama ini ponselnya tidak di kantongnya. Ia menemukannya di atas meja kerjanya.
“Ciye, istri tercinta telepon!” goda Dilan yang mengintip dari belakang punggung Ken.
“Halo, sayang? Ada apa?”
“Sayang, Juni sama Mae ada di sini. Mereka mau makan malam di sini. Kamu ke sini ya?”
Ken terdiam. Sebentar, ia mencerna nama-nama yang disebutkan oleh Sandra. “Juni dan Mae? Ada Mae?” tanya Ken dalam hati. Ken berusaha mengontrol diri.
“Sayang?” tanya Sandra memastikan panggilannya belum terputus.
“Hei aku masih di sini kok.” Kata Ken memastikan. “kebetulan kalau begitu, aku ajak Dilan ya?”
“Dilan siapa?”
“Dilan temen kampus lah. Nggak inget?”
“Nggak. Siapa sih?” tanya Sandra penasaran.
“Tanya sama Mae. Pasti dia tahu. Aku sama Dilan pulang sekarang.”
--
Sandra telah membeli makanan dari restoran dekat rumahnya. Sambil menunggu Ken dan Dilan, Juni dan Mae ikut menyiapkan peralatan makan dan menatanya di meja. Sabda yang baru saja bangun terkejut melihat banyak orang di rumahnya.
Ken datang dengan motor bersama Dilan. Mae melihat dari jendela dan mengabari kepada Sandra bahwa mereka sudah datang.
“Dilaaaan!” Mae keluar dari pintu dan memeluk Dilan tanpa malu-malu.
“Astaga Mae! Gini nih calon ketua divisi? Semir sana-sini, kayak rambut isinya lampu neon.” Timpal Dilan mengomentari penampilan Mae yang berbeda dari ketika mereka masih mahasiswa.
Mae hanya tertawa. Ia menoleh ke arah Ken yang hanya tersenyum kepadanya kemudian berjalan menuju Sandra yang menantinya di dalam rumah.
“Apakah hal itu masih ada?” tanya Dilan mengamati tatapan Mae kepada Ken.
Mae terdiam kemudian tersenyum. “Hal itu? Hal apa?” kata Mae kemudian menggandengnya ke dalam rumah Sandra.
“Ya, hal itu. Apa lagi?”
“Udah! Kamu sekarang berada di rumah sepasang suami-istri.” Kata Mae yang menginginkan hal itu tidak dibahas kembali.
Langkahnya semakin dekat dengan posisi Ken dan Sandra. Mae merasakan dengan cermat apa yang terjadi dengan dirinya. Degup masa lalu itu masih ada. Debar yang pernah ia sembunyikan pun juga terasa. Apakah ia sanggup untuk melanjutkan langkahnya? Bukankah sebelum dia memutuskan untuk menghubungi Sandra kembali, ia tahu ada risiko yang akan membuat hidupnya tidak seperti sekarang?

Comentário do Livro (98)

  • avatar
    Qilaaja Qilaaja

    wahh ini sngt bagus🤩

    18/08

      0
  • avatar
    Ryo Azali

    500

    21/07

      0
  • avatar
    Ame

    seru banget bacanya🥰

    16/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes