logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Episode 10

Sandra baru saja mendapatkan pesan singkat dari Mae untuk menjemputnya dari apartemen. Setelah sebulan ia merasakan hidup di sana, Mae memutuskan untuk benar-benar mencari rumah untuk tempat tinggal.
“Menurutku tagihannya terlalu mahal.” Ungkap Mae pada Sandra semalam lewat telepon. Ia mengeluhkan tagihan air dan listrik yang lebih banyak daripada ketika ia berada di kosan.
“Ya, beda dong, Mae!” respon Sandra terdengar cukup sewot,”lagian, aku udah pernah ngomong kan kalau di tinggal di apartemen kudu siap uang mungkin tiga kali lipat dari kosan? Mending nyari kosan pasutri aja, lah!”
“Kosan pasutri? Yang bener aja! Aku sama Juni bisa dikira pasutri! Nanti bakalan rumor macam-macam. Kamu tahu kan, aku nggak bisa hidup sebagai orang terkenal.” Ungkap Mae yang terdengar seperti sarkasme. Juni dan Sandra pun tahu bahwa di antara mereka bertiga yang cukup terkenal di kalangan kampus adalah Mae.
Sandra terkekeh, meragukan apa yang dikatakan oleh Mae. “Oh.. kamu nggak pingin hidup sebagai orang terkenal? Okay.” Suara Sandra terdengar menyindir.
Sandra berencana mengajak Sabda bersamanya. Hari ini Sandra ingin bersama dengan Sabda. Ponsel Sandra berdering, ia melihat di layar ponselnya bahwa Mae sedang meneleponnya. “Apa? Aku mau berangkat ini!” kata Sandra dengan tangan yang sedang menyiapkan perlengkapan untuk Sabda.
“Beneran mau berangkat? Nggak nelat kan? Aku baru bangun tidur nih.” Ujar Mae, suaranya memamg terdengar seperti orang yang baru membuka matanya.
“Nitip makan ta?”
“Juni udah keluar, katanya dia mau beli soto di depan apartemen.”
“Okay.”
“Ajak Sabda, kan?”
“Iya! Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Kangen Sabda. Hahaha. Boleh nggak aku nikah sama dia? Kutungguin gede deh!”
“Heh! Ngawur! Udah ah! Kamu pasti ngomong sambil merem kan?” tanya Sandra juga menebak. Kemungkinan Mae pun habis minum bir cukup banyak.
“Aku sambil melek, kok! Mau video call ta?”
“Udah! Ini aku mau berangkat. Bye!”
Sandra mencium kening Sabda yang telah selesai berganti baju. Kali ini, Sandra merasa bahwa ia adalah ibu yang beruntung di dunia. Walaupun demikian, ia masih sering merasa bahwa Sabda mungkin akan lebih baik dengan orang lain dan yang bisa menyayanginya lebih baik daripada Sandra.
Tetapi, siapa yang akan menyayangi anak kecil lebih baik daripada orang tuanya sendiri, mungkinkah?
--
Mae beranjak dari tempat tidurnya. “Untung di sini ada water heater. Ini yang membuatku mau tinggal di apartemen. Tapi kenapa tagihannya mahal-mahal banget? Huhu.” Rengek Mae pada mesin pemanas air di atasnya.
“Mae! Aku beli soto nih! Cepet bangun!” terdengar Juni baru membuka pintu apartemen.
“Aku mandi Jun! Aku di sini! Kamu mau ikutan ta?” goda Mae terdengar dari kamar mandi.
“Cih! Sikat gigi yang bener. Bau mulutmu itu nggak enak banget!” teriak Juni di depan pintu kamar mandi.
Mae hanya meringis. Bisa-bisanya Juni berkata seperti itu. Sejak lulus kuliah, ia mengalami perasaan tertekan saat bekerja. Ia pun mengikuti teman-temannya yang suka pergi ke tempat hiburan malam. sampai sekarang, bir adalah sesuatu yang harus ada di kulkasnya.
“Kamu beli bir nggak?”
“Nggak! Mending kamu beli kopi aja deh! Uangmu kan banyak beli alatnya sekalian!”
Mae tahu teman-temannya tidak akan mengizinkannya untuk mengonsumsi alkohol berlebihan. “Mereka aja yang nggak tahu betapa enaknya bir sama ayam goreng!” gumam Mae dalam hati.
Juni menata peralata makan dan menyiapkan sarapan. Walaupun Juni bisa masak, ia memilih untuk membeli karena tidak terlalu percaya diri dengan masakannya.
“Kamu kan bisa masak, kenapa nggak masak sih?” kata Mae keluar dari kamar mandi.
Juni hanya tersenyum. “Kata Bambang, masakanku nggak enak.” Ujarnya.
Mae tersentak, matanya terbelalak. “Bisa ya dia ngomong gitu ke kamu Jun? Perasaan telur dadarmu enak, deh!”
Juni melirik dengan mata yang menyipit, “Semua orang bisa masak telur dadar, Mae! Makasih lo.”
“Eh, bukan gitu! Ada tuh artis yang nggak bisa goreng telur. Kamu nggak tahu?”
“Iya, tahu. Terus hubungannya apa sama aku?”
“Kalau Bambang selingkuh karena kamu nggak sempurna, dia lebih nggak sempurna dong. Nggak bisa masak hal yang sederhana, semacam telur dadar. Tapi suaminya biasa aja tuh.”
“Dia cantik, Mae. Jangan samain sama aku lah.” Kata Juni sambil memberikan nasi ke piring Mae.
“Ya, tapi selingkuh itu keputusan dengan sadar Jun! Kamu jangan terus menyalahkan diri sendiri.”
“andai aku bisa berpikir seperti itu.” Juni mulai untuk makan dengan lahap. “Tiba-tiba aku pingin kentang goreng.”
Mae hanya menatap dengan heran. Dia tahu, ketika Juni seperti ini, perasaannya sedang tidak baik-baik saja.
Pintu apartemen mereka terdengar ada yang mengetuk. Sandra datang bersama Sabda yang tersenyum cukup lebar.
Mae segera datang dan menggendong Sabda kemudian menggelitiknya untuk mengharapkan tawa Sabda yang tidak berdaya.
“Yang dicariin Sabda nih? Bukan aku?” goda Sandra.
“Kan aku emang nyariin Sabda. Bukan emaknya. Ya kan cakep?” Mae mengambil coklat yang ada di kulkas lalu diberikan kepada Sabda.
“Eh, San. Waktu aku browsing nyari kontrakan, kayaknya aku nemu rumah kontrakan di daerah kompleksmu deh.” Ujar Juni yang juga sedang menyelesaikan sarapannya.
“Oh ya? Di sebelah mana?” tanya Sandra.
“Aku udah janjian sama dua orang buat lihat rumah di deket kantor. Atau pas pulang kita ke rumah Sandra aja sekalian? Enak juga kan kalau bisa tetanggaan.” Saran Mae yang masih bermain dengan Sabda.
“Nggak apa-apa sih! Aku bisa nitipin Sabda ke Mae kalau aku lagi repot. Hahaha.”
“Aku sih nggak keberatan. Apa kubawa Sabda ke kantor aja ya? Bisa jadi penghibur buat aku.”
“Sialan! Anakku dijadikan penghibur!”
Mereka bertiga tertawa bersama.
--
Mae, Juni, Sandra menyelesaikan pertemuan dengan pemilik rumah yang akan disewa oleh Juni. Namun Mae merasa tidak cocok dengan rumah pertama, sedangkan Juni merasa tidak nyaman dengan rumah kedua.
Mereka bertiga memilih beristirahat ke rumah Sandra sambil memeriksa apakah benar ada rumah yang bisa disewakan di kompleks tempat Sandra tinggal.
“Kita butuh cahaya, Mae! Rumah kedua tuh gelap banget!” kata Juni.
“iya, sih. Tapi itu cukup lo buat kita berdua dan nggak terlalu padat.” Ungkap Mae.
“Sudah, kita cek deh di kompleksku beneran ada rumah kontrakan nggak.”
Sesekali Sandra melihat ke belakang untuk memeriksa keadaan Sabda. Sandra senang kali ini Sabda tidak rewel seperti yang ditakutkannya.
“Kalau kamu merasa aneh sama dirimu sendiri, kamu bisa periksa ke psikolog atau psikiater.” Kata Juni pada Sandra.
Sandra yang sedang menyetir hanya tersenyum. Ia merasa belum perlu melakukan saran dari Juni. “
“Aku mau kentang goreng!” tiba-tiba Juni berkata seperti itu.
“Turutin aja San, dia daritadi pingin kentang goreng.” Kata Mae.
Mae dan Sandra mungkin tidak sadar bahwa Juni sedang berusaha melupakan apa yang pernah terjadi dalam hidupnya. setiap kali ia mengingat tentang kehidupannya bersama Bambang, ia butuh waktu berhari-hari untuk tidak memikirkannya lagi.
“Aku dulu sangat mengangumimu, Bang. Aku pikir aku telah mendapatkan kebahagiaan. Tapi kamu malah membuatku sadar. Yang terlihat baik belum tentu benar-benar baik.” Gumam Juni dalam hati.

Comentário do Livro (98)

  • avatar
    Qilaaja Qilaaja

    wahh ini sngt bagus🤩

    18/08

      0
  • avatar
    Ryo Azali

    500

    21/07

      0
  • avatar
    Ame

    seru banget bacanya🥰

    16/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes