logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 10 Feeling

"Al."
Matt menegur Danny yang masih mengecupi Prince sejak lima menit lalu. Miley sudah menunggu.
"Sorry. Sorry. Here." Danny menyerahkan Prince kepada ibunya.
"Makanya bikin. Seru tau punya mainan. Apa masih pake pengaman?" Goda Miley pada mereka berdua.
"You gotta go. Go. Go. Go!!" Matt mendorong punggung kakaknya menjauh.
Danny melambaikan tangan saat Miley mengacungkan kepalan mungil Prince sebelum masuk ke dalam mobil.
"Ready for the real surprise?"
Danny membalikkan tubuhnya begitu mendengar perkataan Matthew.
"Excuse me?" Danny menaikkan alis kanannya.
Matthew menswipe aplikasi pada smartphonenya dengan gerakan cepat. Kemudian menyerahkan benda kotak miliknya pada Daniella.
IMMI GRANT NOTIFICATION
"Di granted? Whoaaaaa." Danny masih tak percaya, ia menscrolling lembaran pdf. Ketika mendapati nama Matthew tertera, ia menjerit.
Danny melompat ke pelukan Matthew. Aplikasi Resident Return Visa resmi di perpanjang dalam waktu kurang lebih 6 hari.
"Happy?" Tanya Matt menatap Danny.
Danny mengangguk.
"Ternyata aku emang pinter. Mungkin kali lain aku ambil ujian MARA biar jadi Migration Agent," kata Danny.
"Kok malah happynya kesitu sih?" Matthew menyentuh hidung Danny.
"Eung?" Danny memiringkan wajahnya.
"Aku pernah bilang apa kalau visaku di granted? Aku bakalan bantu kamu apply partner visa. As a sponsor." Matt memegangi kedua sisi lengan Daniella.
"What? Seriously? Resikonya mas harus ngejomblo sampe visa nya di grant lho. Trus mas nggak bisa punya pacar selain Permanent Visa atau Citizen Australia. Karena mas otomatis nggak bisa nyeponsorin mereka yang berkewarganegaraan asing, kalo punyaku belom kelar. Kasian masnya."
Matthew hampir kehilangan kendali, rasanya ia ingin sekali mencium bibir Daniella yang terlihat sangat lucu saat menjelaskan berbagai macam resiko jika Matt membantu Danny.
"Aku uda tanya Minara. Ada tiga kemungkinan untuk tetep stay di Aussie. Satu, kamu bisa lanjut sekolah. Sedangkan kita tau, WNA yang menempuh pendidikan di Aussie. Harus bayar uang sekolah tiga kali lebih mahal di bandingkan warga lokal. Itu artinya tabungan kamu bakalan langsung habis dalam sekejap. Belom lagi kamu capek karena harus kuliah sambil kerja. Otak kamu bisa meledak nanti. Pilihan ini nggak bagus buat kamu.
Kedua, kerja di Aussie. Tapi, kan kamu bilang perusahaan tempet kamu kerja uda nggak ngasi surat sponsor lagi kan? Jadi, otomatis pilihan ini gugur.
Ketiga, cari pacar atau syukur syukur suami yang uda permanent resident atau asli orang australia alias citizen biar kamu bisa apply partner visa. Selama proses visa berjalan kamu bakalan dapet bridging visa (visa pengganti) kan? Visa itu ngebolehin kamu kerja, kuliah selama di sini.
Yah, menurutku itu pilihan paling bijak sih. Toh kita applynya nggak harus dengan status nikah kan? De facto (tinggal bersama tanpa status menikah) bisa."
Daniella tersenyum, merasa kagum. Matthew ternyata sudah terlebih dahulu belajar mengenai Partner Visa. Setidaknya ia tidak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa menjatuhkan pilihannya pada pilihan ketiga.
"Itu artinya aku bakalan brenti kerja dari tempatnya Mas Matthew. Nggak papa? Aku nggak mau di kata nggak tau diri." Danny mencebikkan bibirnya khawatir. Selalu ada saja pikiran jelek terbesit di otaknya.
Matthew terkekeh, ia mengusap kepala Daniella pelan.
"Al, karyawan itu bisa di cari. Lagian yang punya kafe kan aku. Kenapa kamu yang pusing? The important thing for now is pursuing your dream. Ngerti?" Matt masih meletakkan tapak tangan di pucuk kepala Danny.
"Thank you for helping me mas." Danny tersenyum, manis sekali. Membuat jantung Matthew bekerja lebih cepat dari biasanya.
"Kamu uda banyak bantu aku. Sedangkan aku cuma bisa bantu ini." Matthew berdehem, membuang pandangannya karena merasa panas.
***
Terdengar bunyi bel,
Danny terlebih dulu melangkahkan kakinya ke ruang tamu.
"Kak Will?"
"Hi Dan. Matthew ada?"
Wilmer tampak kacau, senyumannya juga tak semanis biasa.
"Will? Masuk." Matthew muncul di belakang Daniella.
Mereka bertiga duduk di sofa yang berbeda. Danny dan Matthew saling bertukar pandang. Wilmer mengeluarkan kotak beludru berwarna merah dari dalam saku jaketnya. Lalu meletakkana benda kecil itu di atas meja. Mereka masih menunggu penjelasan dari pacar Kia.
"I'll get the beer." Danny beranjak ke dapur.
Tak lama kemudian ia membawa beberapa kaleng bir juga sebungkus besar kacang kulit.
"Kia denied my proposal." Wilmer menyunggingkan senyuman lara. Lalu meraih kaleng bir terdekat.
***
Wilmer Story~
Musik masih mengalun dari speaker ketika Kia dan Wilmer menyudahi ronde kedua dari permainan ranjang mereka beberapa menit yang lalu. Kia masih menempelkan telinga ke dada telanjang sang kekasih. Menyentuh garis garis halus pada bagian perut Wilmer menggunakan jemari lentiknya.
"Ki. Jangan bercanda." Wilmer memegangi tangan Kiana, masih dengan kedua mata terpejam.
Kia tertawa, bergerak pelan dari tempat semula. Mengecup bibir Wilmer perlahan. Tadinya pria itu menanggapinya dengan santai. Karena Kiana memang suka sekali bermain seperti ini. Tapi, lama kelamaan ciuman lembut Kiana berubah menjadi agak menuntut.
Wilmer membelai punggung Kia, membalikkan tubuhnya sehingga berada di atas.
"Bentar lagi kamu harus pergi buat survey tempat buat pameran. Inget." Wilmer menatap Kia, wanita itu menempelkan bibir mungil ke ceruk leher Wilmer dan meninggalkan tanda merah di sana.
"I know, i know. I get it. Move," kata Kia mendorong tubuh kekar Wilmer.
Laki - laki itu menarik tangan Kiana. Satu tangannya yang bebas mengambil sesuatu dari dalam laci dan menggenggamkannya ke telapak tangan Kia.
Seketika air wajah Kiana berubah, senyumnya menipis. Tatapannya menjadi pesimis. Ia baru saja membuka kotak beludru berisikan cincin dari Wilmer.
"Marry Me." Wilmer menggenggam tangan Kiana, mendaratkan kecupan pada tiap jemarinya. Sudah lima taun berlalu dan Wilmer masih saja jatuh cinta pada Kiana.
"We already talk about this Wil. Aku harus berapa kali bilang sama kamu kalau aku belum mau melangkah ke pernikahan. Apalagi sekarang makin banyak project yang aku handle. Pernikahan nggak akan ngebantu sama sekali." Kiana menatap Wilmer.
Ada tatapan kecewa bersarang di sana. Kiana selalu menghindari pembicaraan yang mengarah ke pernikahan. Baginya komitmen hanya akan mengekang kebebasannya menggapai mimpi. Apalagi sekarang ia tengah berada di puncak karir sebagai fotografer top. Tanpa status istri dari seseorang, ia merasa lebih mudah berbaur dengan berbagai kalangan tanpa harus menahan diri karena sudah menjadi milik orang lain.
Lagipula pernikahan itu kan bukan hanya sekedar mengucap janji suci di gereja kan? Pernikahan itu sakral dan Kiana merasa belum pantas melangkah ke dalam lingkarannya. Ya, sebut saja dia egois. Mimpinya lebih penting di bandingkan Wilmer. Karena selama ini ia sudah berusaha keras mencapainya. Puncak karir Kiana sudah ada di depan mata. She just can't let go of it easily like that.
Wilmer terdiam, tak berniat memaksakan kehendaknya lebih lanjut. Sepertinya memang Kiana tidak ada niatan melangkah ke jenjang selanjutnya. Menikah itu artinya melepas keegoisan yang ada dalam diri kita. Menikah itu tidak hanya tentang 'aku' tapi 'kita'. Wilmer selama ini sudah berlaku seperti itu, menyadari jika Kiana masih punya impian. Tapi, apakah sampai seterusnya Kiana akan bertingkah sebaliknya?
"Sorry." Kiana mengembalikan kotak maroon pada pemiliknya dan beranjak ke kamar mandi.
***
"Kak Wil nikah ama aku aja yuk."
"HEH!"
Wilmer terbahak ketika Matthew menegur Daniella.
"Hih, siapa kamu coba." Danny beringsut ke samping Wilmer. Memeluk lengan berotot pacar Kiana.
"Lepas nggak? Lepas!" Matthew melempari kulit kacang ke arah Danny.
Wilmer masih tertawa. Kedatangannya ke sini memang tepat untuk menghibur diri.
"Mungkin Kak Ki pikir. Menikah itu bakalan buat dia kehilangan identitas diri sebagai Kiana Arindra. Kadang orang kan mikir gini. Wah, kalo uda jadi istri. Uda jadi nyonya Agastya bearti aku harus berubah. Uda nggak single lagi soalnya. Aku harus melayani suami. Mengesampingkan diri sendiri. Padahal menyatu dalam pernikahan itu nggak mengharuskan kita berubah jadi orang lain. Iya kita berubah, tapi dalam artian berubah menjadi partner dari seseorang. Support satu sama lain, mengerti pribadi masing - masing lebih dalam lagi. Soalnya nikah kan nggak cuma nyatuin fisik, tapi spiritual sama emosional. Ya belajarnya seumur hidup selama bersama. Siapa yang beban kalo denger penjelasan nikah kayak yang aku bilangin barusan kak? Pasti jadi parno, panas dingin. Bahkan nggak pengen nikah. Kak Kiana pasti uda menelaah semuanya tentang hal pernikahan. Cuma antara pikiran, batin sama emosi masih konflik. She needs her own time. Sabar ya." Danny menepuk bahu Wilmer, lalu memberinya sebuah pelukan dari samping layaknya adik yang tengah menghibur kakaknya.
Matthew tak tahu, jika Daniella mampu mengembangkan pikirannya sejauh itu. Membuatnya semakin kagum akan pribadi Danny. Kenapa tak dari dulu mereka berteman sehingga dapat bertukar pikiran tanpa harus mengurung diri di kamar pada saat dirinya frustasi.

Comentário do Livro (2781)

  • avatar
    Rg Magalong

    Sana Mas madali

    11d

      0
  • avatar
    yantiely

    😭😫

    22/07

      0
  • avatar
    PratamaZhafran

    aku sama sekali tidak bosan membaca ini dengan ska

    12/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes