logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Chapter 4: Sapphire Nightlight

[Ben Andrews]
Di kawasan kumuh yang jarang dijamah orang, terdapat sebuah kios kecil yang diterangi dengan temaram lampu jalan. Berkas-berkas sinarnya menyoroti beberapa benda yang dijual di kios itu. Ada apel yang sudah berkerut tua, jeruk yang bercacing dan berjamur tapi masih tertata rapih, serta pisang yang sudah berwarna hitam dan memiliki bau yang sangat menyengat. Aku heran, kenapa Olive mengarahkanku ke tempat seperti ini? Sebetulnya apa yang ingin ia beli?
Aku merogoh secarik kertas kecil dari saku bajuku, lalu membuka lipatan itu pelan-pelan sampai tulisan Olive yang serupa cakar ayam bisa aku baca dengan jelas. Mataku menyipit, membaca ulang setiap huruf yang tertera pada kertas itu. “Buy X-01,” tulisnya.
Aku mulai berjalan mendekati pintu papan yang letaknya persis di samping kiri rak buah, serta di samping kanan pagar putih berbahan kayu tersusun berbanjar. Tangan kananku menjangkau permukaannya yang kasar dan lapuk, kemudian menokok buku-buku jari dengan kepalan tangan lemas. “Permisi, Bu,” ucapku bernada lembut dan sopan, berharap tidak membuat orang itu merasa risih dan terganggu.
Selang beberapa jenak, aku mendengar permukaan sendal jepit bergesekan dengan permukaan lantai. Terdengar juga suara seorang Ibu yang menggema dari sela-sela pintu di mana angin malam berhembus kencang. Aku pun melangkah mundur sejenak, menginjak teras depan rumah di mana debu dan tanah merah yang lengket dan pekat menempel pada permukaannya.
Krek! Ibu itu menarik gagang pintu hingga terdengar bunyi engsel yang memekik, kemudian menunduk seraya memberiku senyuman ramah tanpa menghiraukan gigi-geligi palsu yang bernoda karat.
“Selamat malam, Mas.”
“Iya, Bu. Selamat malam. Saya Benny, teman Olive ingin membeli X-01,” aku mengulurkan tanganku untuk memberinya kertas tipis itu. Manikku tertuju pada kerut alisnya yang menurun dan mengernyitkan mata, agar ia bisa membaca tulisan Olive secara lebih jelas.
“Ohh …, X-01,” balas Ibu itu menggumam pelan. “Yuk, kemarilah …”
Ia pun menggeser papan pintu ke samping untuk memperlihatkan kiosnya secara menyeluruh. Gelap, tidak ada seorang pun yang bisa melihat benda-benda yang dijual di sana kecuali sebagian rak kayu yang disinari oleh cahaya dari luar pintu. Sejenak manikku tertuju pada sekilas bayang-bayang boneka kain, di jenak berikutnya terdengar ceklikan saklar yang menghantarkan kios kecil ini kepada cahaya redup berwarna kuning-kejinggaan. Manik mendapati koleksi boneka kain dan plastik impor dari Deutchlande yang tersusun rapi, mengapit tangan satu sama lain agar tidak jatuh dari rak tersebut. Roma rambut boneka teddy adalah coklat muda yang meneduhkan mata. Busana elok dari boneka plastik berhiaskan gaun hitam yang dibalut oleh kain celemek putih, disertai tudung kepala yang mempersilahkan sebagian rambut keriting untuk menuruni bahu hingga menyentuh permukaan punggung dan dada. Begitu indahnya nuansa classical vintage yang mengundang nostalgia ke saat-saat aku mengunjungi West Queenstate, tempat di mana boneka-boneka seperti ini seringkali dijadikan hiasan rumah warga.
Manik-manik boneka antik itu mendarat pada rak persis di depannya. Rak itu mendapat sentuhan sinar jingga dari lampu hias berbahan kaca, berbentuk spiral dengan pernak-pernik serupa batu sapphire kuning. Sinar yang tersebar secara luas dan menyeluruh telah mewarnai ruangan itu dengan sapuan cahaya remang, serta menimbulkan bayang-bayang gelap di sisi kiri dan kanan rak itu. Ia digunakan sebagai sandaran bagi wadah-wadah kaca di mana hewan-hewan berkaki banyak dan berkeriapan hidup di dalamnya. Ada yang berkaki delapan, semisal tarantula. Ada juga yang tidak ada kaki sama sekali, namun berkeriapan dan melata seperti ular pithon, derik dan kobra. Mengapa hewan-hewan seperti ini banyak digemari oleh kalangan pecinta hewan, ya? Bukankah ini hewan beracun?
“Mas … Mas …,” sapa Ibu itu seraya mengibas-ngibas lengan.
Aku mendecak kaget. Rupanya, aku masih berada di luar kios itu dengan jari-jemari kaki masih ditutupi kaos kaki basah akibat keringat panas.
“Jangan bengong, Mas. Masuklah ke dalam, hari sudah menjelang malam.”
“Iya, Bu.”
Ia menuntunku masuk ke kios, membuat telapak kakiku merasakan halusnya permukaan lantai marbel. Tidak kusangka kios ini adalah sebuah kotak kado dengan bungkusan semrawut, tetapi sekali dibuka isinya adalah benda-benda yang bernilai amat sangat tinggi, seperti emas, permata dan batu krisopras. Berbagai motif dan ornamen khas melayu, yaitu sulur-sulur batik yang sambung-menyambung menjadi satu, menghiasi sudut-sudut ruang seperti bingkai foto pranikah dari orang-orang Java. Adalah sebuah pengalaman estetik yang tak ternilai harganya, setiap kali manikku tertuju pada benda-benda antik yang berbaris di sepanjang sisi ruangan ini. Jam dinding pun tertawa melihat aku diam dan membisu, dengan mulut yang menganga takjub akan guci-guci mahal dan bertuliskan aksara Java. Ia juga tertawa karena aku tersontak kaget, sebab saudara tuanya — jam raksasa yang berdiri tegap dengan motif sulur-sulur anggur berbahan kayu jati — berbunyi begitu keras bagaikan lonceng raksasa Big Benjamin dari Queenstate United.
“Astaga,” aku berucap terkesiap. Perhatianku seketika buyar dari hewan-hewan eksotik dan boneka-boneka antik yang mungkin saja sedang menanti-nantikan aku untuk menjadi majikan mereka. Benda-benda itu memiliki nilai estetika yang amat sangat tinggi. Aku heran, mengapa ibu itu masih ingin menjual buah-buahan di kala benda-benda mahal ia simpan di tempat ini? Aku pun menyipitkan mata, melihat jam kayu raksasa yang baru saja berdering. Ah, rupanya benda ini dijual dengan harga fantastis yang tertulis di secarik kertas tipis, yaitu 30.000 sRP . Kalau ia menjual barang-barang mahal, untuk apa berdagang buah-buahan busuk? Ini memberiku kesan yang cukup janggal.
“Bu, barang-barang antik di sini kan bagus banget dan pasti laris manis bila dijual ke orang-orang kaya. Namun untuk apa Ibu menaruh buah-buahan busuk di luar? Untuk dijual, bukan?” Aku bertanya karena rasa ingin tahu.
Sang Ibu masih membaca sebuah buku catatan guna mencari rak di mana X-01 berada. Namun, ia tetap meladeni pertanyaanku. Jawabnya, “Ya, tentu dijual lah, Mas. Karena ada banyak sekali orang yang membeli buah-buahan itu.”
“Apa, banyak yang membeli? Kok bisa, Bu?” tanyaku terkejut dengan pernyataan barusan. Aku sudah mulai menduga-duga, jangan-jangan pedagang kaki lima yang tidak bertanggung jawablah yang melakukan hal tersebut.
“Iya banyak yang membeli. Yang beli itu abang-abang serta ibu-ibu yang biasa jualan di emperan warung Golden Palace. Aku cuman kasih tahu kamu karena aku kenal Olive, kalau ngga, ya, paling aku bilang nggak laku,” jawab Ibu itu dengan nada santai, tanpa merasa sesal karena telah membantu melariskan jualan dari orang-orang yang egois dan tidak tahu diri.
Aku menggertakkan gigi-geligi gerahamku karena rasa geram. Masa ia sudah berusia lanjut, tetapi tidak memberi contoh yang baik kepada orang-orang di luar sana? Bukankah ia menyimpan berbagai macam alat antik serta hewan eksotik yang bisa dijual dengan nilai uang yang fantastis? Mengapa ia tidak fokus menjual barang-barang itu saja?
“Tenang Mas, tenang,” ucap Ibu itu berusaha untuk menenangkanku, mungkin karena raut wajahku yang tidak bisa menutupi rasa jengkel ini. “Itu aku lakukan untuk mendapat uang membeli jajanan bagi ular, tarantula dan hewan-hewan eksotik yang aku pelihara. Lagipula, barang-barang antik ini selalu laku terjual setiap bulannya, menghasilkan uang yang amat sangat banyak dan berkelimpahan. Uang itu aku pakai untuk jalan-jalan, atau aku simpan untuk diteruskan ke anak cucuku bila rohku meninggalkan dunia ini. Itulah Firdaus bagiku.”
“Firdaus?” Aku menggumam heran. “Jadi, bagi Ibu Firdaus itu bisa dicapai dengan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya melalui berbagai macam cara?”
“Ya tentu, Mas. Kemiskinan bukanlah tiket masuk Firdaus. Banyak yang berkata bahwa Firdaus hanya bisa dicapai dengan kepercayaan yang benar, tidak boleh belok-belok.
“Namun, bila kamu hidup mengikuti prinsip itu, uangmu datang dari mana? Semua Spiritualisme yang katanya “benar”, menolak asas-asas dasar Kapital. Kalau kamu ikutin mereka, otomatis dompet kamu tipis. Dompet tipis, keluargamu makan apa? Kamu pasti masuk Hades kalau ngga kasih makan keluarga kamu, benar kan?”
“Mungkin benar sih, Bu. Pastor sering ngomongin ini di mimbar kuil,” aku menunduk pelan, walau tidak mempercayai semua kata-katanya tapi aku rasa beliau ada benarnya juga.
Di saat aku berusaha untuk mencerna apa pun yang ia katakan padaku, ia pun menepuk pundakku dua kali.
“Mas,” sapanya dengan suara lembut. “Sudahlah, kamu masih terlalu muda untuk memikirkan hal-hal itu. Ambillah telur X-01 nya baru kita bicarakan nilai-nilai Kapital di lain waktu. Pedagang-pedagang itu sudah mau datang ke mari.”
“X-01 itu telur? Telur apa?” Tanganku merentang lurus ke depan, meraih plastik bening yang melingkupi wadah bening itu. Manik tertuju pada semangkuk telur-telur kecil yang serupa bulir-bulir padi dan gandum.
“Iya, X-01 adalah istilah di toko Ibu untuk telur jangkrik, Ben,” jawab ibu itu dengan santainya. ”Minggu lalu Olive, tunanganmu, sudah membeli wadah-wadah plastik untuk memelihara jangkrik.”
“Hah, jangkrik?!” ucapku spontan.
“Iya, dia mau jualan jangkrik. Itu karena setelah kami berdiskusi soal Sistem Keuangan Kerajaan Firdaus, dia mulai memelihara hewan-hewan ini untuk dijadikan pakan hewan eksotik seperti tarantula, kobra dan lain-lain yang sedang tren di pasaran. Banyak warga Pollux yang mau membeli jangkrik, lho. Jangan salah.”
“Ohh begitu … Bagus juga, ya. By the way, sistem Keuangan Firdaus itu bagaimana?”
“Itu adalah sistem keuangan yang diajarkan oleh Pastor Jacobson dari Trevesvalle Temple. Ia berideologi Rossanisme, sama kayak kamu dan Olivia. Katanya untuk bisa menjadi berkat bagi banyak orang, kamu harus merauk untung sebanyak-banyaknya sesuai permintaan pasar. Aku menjual buah-buahan busuk karena banyak dari temanku adalah pemilik-pemilik warung hemat di Golden Palace. Mereka adalah pasar atau market-nya Ibu. Sehari yang beli buah busuk bisa lima sampai tujuh orang. Masing-masing membawa lebih dari sepuluh biji. Itu kan permintaan mereka, ya aku ikuti aja. Misal pembeli rugi ya salah mereka, Ibu hanya ikuti permintaan dari para penjual saja. Toh, aku dan para penjual sama-sama untung. Aku bisa memakai uang ini sebagai amal buat mereka yang membutuhkan, serta untuk memelihara hewan-hewan eksotik ini. Mereka juga bisa memakainya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masalah kostumer mereka, itu di luar urusanku. Mau mereka sakit atau ngga sakit setelah makan buah busuk, ya itu urusan penjual dan pembeli, bukan aku yang cuman kasih stok barang ke penjual.”
“Lah, tapi kan sama saja ibu menyandung para penjual itu untuk melakukan hal tidak benar! Wong ibu yang menyediakan barang-barang busuk itu.”
“Ya buah-buahan busuk sangat laku di sini, Mas. Terserah kamu lah, intinya Sistem Keuangan Firdaus tidak memperbolehkan kita merugikan orang lain secara langsung, tetapi tidak melarang kita untuk mengikuti permintaan pasar. Toh, ini buah dijual dengan setengah harga dari buah biasa. Sehari ya ramai lah yang beli, khususnya di kala hari masih jam empat sampai lima subuh. Saya tidak perlu memedulikan para pelanggan yang membeli jus buah dari mereka. Yang penting saya untung.
“Ingat Mas, kamu hidup adalah untuk dirimu, Olive, keluargamu, serta orang-orang di sekitarmu yang butuh uang. Jikalau kamu bisa beramal sebanyak-banyaknya, Sang Mahatinggi pasti kasihan untuk membuat hidupmu susah. Namun untuk beramal, kamu harus punya banyak uang. Jadi kamu wajib menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, oke?”
“Ehm… okedeh kalau begitu.”
Aku sengaja menghentikan pembicaraan yang tidak mengenakkan hati. Apa yang ia ajarkan sama persis dengan ucapan Papa di saat ia sedang berbicara dengan klien-kliennya tentang strategi untuk menaklukkan pasar lawan. Biasanya aku menutup telinga karena hati nuraniku merasa tidak enak, sebab di satu sisi aku suka uang, tetapi di sisi lain aku tidak ingin merugikan orang lain. Aku pun menggeleng risih dan geram, lalu menaruh satu lembar uang 10 sRP di atas meja dan pergi meninggalkan kios ini.
Olive, kamu kenapa sih mau temenan sama ibu ini? Dia itu benar-benar mata duitan! batinku bingung dan cemas.

Comentário do Livro (53)

  • avatar
    PutraGalang

    kerasss

    23d

      0
  • avatar
    Amelia

    500

    18/08

      0
  • avatar
    A.HASRAWATI

    kamu jelek

    31/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes