logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 12 Rasa Bersalah

“Tugasku sudah selesai. Aku pergi sekarang,” tutur sang interogator sembari bergegas merapikan perkakas. “Kirimkan saja bayaranku ke rekening yang kuberikan.”
“Kau masih berani meminta bayaran setelah melanggar kesepakatan?” bentak Max tak terima. Tangannya masih mendekap erat gadis yang hilang kesadaran.
“Justru kau seharusnya membayar lebih. Kau tahu, aku tidak hanya berhasil menggali informasi dari satu orang, melainkan dua orang.”
Alis sang CEO sontak bertambah dalam. “Apa maksudmu?”
Sharp Knife menutup kotak perkakas, menentengnya, lalu berbalik menghadap si klien.
“Bukankah kubilang tugasku sudah selesai? Itu berarti, aku telah berhasil mendapatkan apa yang kau minta.”
Max menggeleng tak mengerti. Ketika telunjuk sang interogator teracung, kebingungannya semakin menjadi.
“Pertama, gadis ini tidak bersalah. Dia memang tidak tahu apa-apa,” terang si pria berjubah dengan tampang yakin.
“Kenapa kau bisa menyimpulkan begitu?”
“Karena belum pernah ada orang yang mampu melewati batas ketakutannya bersama dengan rahasia orang lain. Jika memang gadis ini dibayar, untuk apa dia melindungi orang itu dan mengorbankan diri?"
Setelah mendengus kecil, sang interogator kembali memecah keheningan.
"Ayolah Tuan CEO! Bukankah kau terkenal cerdas dan berpandangan luas?”
Max pun termenung. Setelah diam sesaat, ia kembali bersuara, “Kalau gadis ini memang polos, kenapa kau memotong jarinya?”
“Itulah informasi kedua. Sepertinya, kau sudah jatuh cinta pada gadis ini. Bukankah cinta membuat orang berpikir tak jernih? Kau seharusnya memperhatikan bahwa alat tadi hanyalah mainan.”
Max tersentak. Cepat-cepat ia meraih tangan kanan Gabriella dan memeriksanya. Ada lima jari lentik melekat di sana.
“Aku tidak mungkin tega memotong jari gadis sepolos dirinya. Dia tidak bersalah, Tuan. Hatimu pun sadar akan hal itu. Aku sedikit heran kenapa kau memaksakan akal sehatmu untuk percaya pada kebohongan yang kau ciptakan sendiri?”
Sang CEO tak mampu menjawab. Ia terus memandang jari lentik Gabriella di atas telapak tangannya.
“Aku pamit, Tuan CEO. Tidak perlu mengantarku. Kau urus saja wanitamu. Selamat siang!”
Max melihat punggung Sharp Knife menjauh dan menghilang di balik pintu dengan ekspresi datar. Setelah menghela napas dan menelan ludah, ia membuka simpul tali yang melingkar di kedua pergelangan tangan Gabriella. Memar baru kini melintang, memperdalam rasa bersalah sang CEO.
“Gadis ini polos?” gumam Max seraya mengelus jejak kekejamannya dengan ibu jari. Sedetik kemudian, ia tertunduk terbebani penyesalan.
“Ah, apa yang telah kulakukan? Aku seharusnya tidak terpengaruh oleh peneror itu supaya mampu melihat mana yang benar.”
Max mengangkat Gabriella dan membaringkannya ke ranjang. Disekanya jejak air mata yang mulai mengering di pipi sang gadis. Hatinya kini bertambah sesak.
“Apa yang harus kulakukan pada gadis ini sekarang? Dia telah melewati masa sulit karenaku.”
Max menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Sambil terus memandangi wajah Gabriella, ia berpikir.
“Lalu, aku harus bagaimana? Peneror itu sama sekali tidak meninggalkan jejak.”
Selang beberapa saat, Max mendesah dengan mata terpejam.
“Ah, aku tidak boleh kehilangan jati diri. Sejak kapan seorang Max Evans goyah seperti ini?"
Sedetik kemudian, ia menegakkan kepala dan menatap Gabriella dengan rahang yang berdenyut.
"Mulai detik ini, aku harus kembali menunjukkan kekuatan. Sudah cukup peneror itu menekanku. Aku harus membuktikan kalau tidak ada satu orang pun yang bisa memengaruhiku.”
Max mengambil salep dari kotak obat di dalam laci. Tanpa ragu, ia olesi setiap memar di tubuh Gabriella dengan obat itu.
“Gadis ini ... mulai sekarang menjadi tanggung jawabku,” gumamnya tanpa ragu.
***
“Engh ... engh!”
Gabriella tiba-tiba mengerang di tengah malam. Sentakan tangannya membangunkan pria yang sedang menggenggam jemarinya.
"Gabriella?"
Dengan mata yang masih menyipit, Max mendekat dan memeriksa wajah yang pucat itu.
“Engh!”
Sang gadis kembali tersentak meski matanya terpejam. Bola mata di balik pelupuknya bergetar tak tentu arah.
“Kau bermimpi buruk? Bangunlah.”
Max menyentuh pipi sang gadis hendak menepuk. Namun, begitu ia menempelkan telapak tangan, matanya terbelalak.
“Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?”
Secepat kilat, Max meraih ponsel dan mencari kontak sang dokter. Akan tetapi, begitu hendak menelepon, ia bergeming.
“Kalau Dokter Raul memeriksa gadis ini, dia pasti akan langsung tahu bahwa akulah yang sudah menyiksa Gabriella. Ck, bagaimana ini?”
Setelah melihat wajah pucat sang gadis, Max meletakkan ponsel kembali ke meja. Sebagai gantinya, ia menghampiri Gabriella dengan sebaskom air dan handuk kecil.
“Aku harus merawat gadis ini sendiri.”
Sepanjang sisa malam, sang CEO bersiaga di samping Gabriella. Hal itu merupakan sejarah penting bagi keluarga Evans. Max akhirnya memberi perhatian lebih kepada seorang wanita.
Begitu terbangun, hal pertama yang menjadi fokus Max adalah Gabriella. Ia langsung menempelkan telapak tangan di kening sang gadis. Setelah mengangguk lega, pria itu bergegas menemui si kepala pelayan.
“Bi, aku mau pergi. Tolong jaga perempuan di kamarku. Dia tampak tidak sehat. Dan, tolong ... rahasiakan dari siapa pun.”
Max merendahkan suara di akhir perintah. Wanita kurus yang memasang telinga pun mengangguk-angguk mendengarnya.
Setelah bersiap, sang CEO meluncur dengan mobil hitamnya. Ia berhenti ketika memasuki area yang penuh dengan sisa reruntuhan. Sebagian besar daerah itu telah dibereskan tetapi masih terlihat berantakan.
Begitu menjejakkan kaki, Max langsung menghampiri satu titik. Pekarangan rumah Gabriella yang penuh dengan pecahan batu dinding. Rasa bersalah kembali menerjang dirinya.
Max menarik napas lalu mengembuskannya cepat. Ia ingat betapa bercahayanya mata Gabriella saat itu, saat rumahnya masih berdiri. Meskipun sang gadis pada waktu itu memasang tampang garang, Max tetap bisa merasakan kehangatan dan keceriaannya. Mengapa baru sekarang pria itu mengakuinya?
“Tuan CEO!” sapa seorang pekerja yang menghampiri sambil berlari-lari, sementara rekannya yang tertinggal di belakang sedang membawa sebuah kotak dengan santai.
“Selamat pagi, Tuan CEO. Ada apa Anda datang kemari? Apakah untuk memeriksa pekerjaan kami?” tanya pria berbadan tegap di bawah topi proyeknya.
Max pun tersenyum dan mengangguk-angguk. Tampaknya, para pekerja tidak tahu bahwa dirinya sedang dibekukan dari jabatan.
“Saya hanya ingin melihat-lihat saja.”
“Omong-omong, Tuan ... maaf. Apakah ada seorang gadis menghampiri rumah Tuan?”
Mata sang CEO spontan melebar.
“Sayalah yang memberi alamat Tuan kepadanya. Waktu rumahnya diruntuhkan, ia terlihat sangat putus asa," jelas sang pekerja setengah meringis.
"Kami merasa bersalah dan mencoba memberinya semangat, tapi dia tetap berdiam diri sambil menangis. Akhirnya, kami menyarankan kepadanya untuk menemui Tuan karena kami yakin bahwa Tuan pasti bisa memberikan kompensasi yang bijak.”
Degup jantung Max otomatis berpacu. Rasa dingin diam-diam merayap di punggung dan tengkuknya, terus merambat hingga ke wajah dan membekukan senyumnya.
“Jadi, Anda yang memberikan alamatku?” ucap Max kaku.
“Ya, Tuan. Maaf atas kelancangan saya. Kami hanya merasa kasihan pada gadis itu. Dia sangat baik dan polos, Tuan. Bahkan ketika ia benci lingkungannya dirusak, ia tetap menyuguhi kami kopi dan sesekali memberikan kue.”
Kepala Max hampir tertunduk dan mulutnya hampir mendesah. Ia telah menyakiti perempuan yang berhati lembut.
“Saat jam istirahat, kami sering mendengarkan permainan pianonya. Sangat indah, Tuan. Ah, saya jadi merindukan gadis itu sekarang.”
Senyum di wajah Max terancam lepas.
“Jadi, apakah Tuan tahu di mana gadis itu sekarang? Kami sudah mengumpulkan barang-barangnya yang masih bisa diselamatkan dari reruntuhan. Tidak banyak, tapi kami harap bisa membuat gadis itu sedikit tersenyum.”
Pekerja itu menunjukkan kotak yang dibawa oleh rekannya. Mata Max pun beralih ke isinya. Sebuah boneka beruang kutub yang tidak lagi putih karena debu menempati posisi teratas.
“Biar saya saja yang memberikan kotak ini kepada gadis itu. Saya tahu dia berada di mana,” angguk Max seraya memaksa lengkung bibirnya lebih lebar.
“Benarkah? Wah, Anda memang baik hati sekali, Tuan.”
Pujian itu terdengar seperti sindiran bagi Max. Dirinya tidak mampu mempertahankan senyum palsu lebih lama lagi.
Setelah menyudahi percakapan singkat itu, sang CEO kembali ke mobil bersama kotak yang kemudian diletakkan pada jok di sebelahnya.
“Jadi ..., masih ada yang bisa diselamatkan?” gumamnya ketika memandangi boneka beruang kotor itu.
Dengan sudut bibir yang tak lagi tinggi, Max mengangkat boneka itu ke depan wajahnya. Sobekan pada bagian kaki dan punggung beruang membuatnya menarik napas panjang.
“Apakah Gabriella akan senang jika melihat boneka ini? Atau malah semakin membenciku?” pikirnya seraya mengembuskan udara lewat mulut.
“Bibi pasti bisa memperbaiki boneka ini,” gumam Max sembari menekan busa yang mencuat dari sobekan.
Setelah meletakkan boneka itu di jok, sang CEO beralih mengamati barang-barang lain. Album foto dan buku-buku mengisi hampir seluruh ruang dalam kotak. Sisanya memuat pernak-pernik yang tidak berguna.
“Ck, sayang sekali gelas itu tidak terselamatkan,” desah Max sebelum mengetuk-ngetuk jari di roda kemudi.
“Apakah gelas seperti itu masih ada yang menjual?”
Setelah memiringkan kepala dan mengangkat alis, ia pun menyalakan mesin mobil dan memacunya ke pabrik keramik.
Untuk pertama kalinya, sang CEO sibuk mengurusi hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Rasa bersalahnya tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan kekhawatiran mengenai jabatannya.

Comentário do Livro (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    29d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes