logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Chapter 13: Pulanglah Bersamaku, Chery

Jake mengurut pelipis dan memperhatikan beberapa keterangan yang Rudith laporkan mengenai Diana. Dia bingung harus bagaimana mengatakannya pada Mike, karena Jake yakin Mike akan sangat tidak senang pada kabar yang akan dia sampaiakan.
Suara pintu berderit mengalihkan perhatian Jake dari layar ponsel, dia menodongak dan mendapati Mike yang memasuki ruang kerjanya dengan wajah kusut. Dari kantung mata pria itu jelas terlihat bahwa Mike tidak tidur beberapa malam ini dan hal itu semakin membuatnya merasa aneh.
“Kenapa kau masuk ke ruanganku? Aku bisa men-datangimu jika kau memerlukan sesuatu,” kata Jake sembari beranjak dari bangkunya dan mendekati Mike yang berdiri di depan jendela kaca transparan yang menghadap ke luar gedung MikeHill Corporate. Pandangan Mike menerawang ketika melihat lalulang kesibukan aktivitas jalanan di bawah gedung.
“Bagaimana perkembangan laporan bawahanku?” tanya Mike to the point tanpa basi-basi maupun sapaan.
Jake menyentuh cuping hidungnya dan bergerak gelisah saat Mike berbalik hanya untuk memperhatikannya.
“Dia... bekerja di desa itu,” jawab Jake ragu-ragu. Mike menyipitkan mata dan Jake yakin pria di hadapannya dapat mencium kabar tidak menyenangkan yang hendak dia katakan.
“Lalu?” tanya Mike tidak sabar.
“Dia ... bekerja menjadi pembantu di sebuah rumah keluarga yang terpandang di sana,” jawab Jake lagi sembari menunggu reaksi dari sahabatnya.
Lima menit mereka terdiam, tetapi Mike hanya menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi seolah itu hal yang tidak memengaruhinya. Jake semakin bingung apakah prediksinya salah bahwa Mike akan meledak-ledak lalu menyeret Diana begitu saja dari sana setelah mendengar berita barusan.
Sebuah senyum miring perlahan mengembang di wajah Mike, membentuk seringai dengan sorot mata yang tajam. Jake bergidik ngeri, ternyata prediksinya benar dan dia bersiap-siap untuk menunggu reaksi Mike selanjutnya. Dalam hati, Jake berdoa semoga setelah ini Diana baik-baik saja dari apa pun yang hendak sahabatnya lakukan.
“Pembantu?” tanya Mike dengan suara sumbang. Jake menengguk saliva dan ingin rasanya dia menenggelamkan diri di bawah lantai yang dia pijak.
Suara tawa Mike yang pecah mengisi ruang kerja Jake. Bahu Mike berguncang karena menahan geli mendengar berita barusan. Setelah tawanya selesai, Mike melirik Jake tajam.
“Ikut aku!” perintah Mike dengan suara tegas. Mau tak mau, Jake mengikuti Mike yang berjalan mendahuluinya keluar dari ruangan. Jake menghela napas dan entahlah, dia tidak yakin soal apa yang akan terjadi nantinya.
***
Diana baru saja selesai belanja di pasar dengan keranjang belanjaan yang penuh akan sayuran. Dia menghapus keringat yang mulai bercucur di keningnya. Siang ini matahari bersinar begitu terik dan hawa panas seolah membakar kulit. Diana memilih duduk di bangku tunggu halte pasar tempat metro mini biasanya menaikkan dan menurunkan penumpang. Mata Diana menyapu seluruh pemandangan di sekitar. Dia mem-perhatikan lalulalang ibu-ibu yang membawa keranjang-keranjang mereka, dan beberapa penjual kaki lima yang mulai mengipas-ngipaskan handuk kecil yang melingkar di leher masing-masing.
Dari tempatnya duduk, Diana bisa mendengar suara ribut bagai dengungan lebah mengisi kios-kios penjual yang menawarkan dagangan. Ini kali pertama Diana benar-benar menginjakkan kaki di pasar tradisional, tidak pernah terpikir olehnya sebelum ini bahwa dia akan memasuki tempat yang penuh sesak dan sumpek oleh padatnya penjual dan pembeli. Beberapa kali Diana menutup hidung dari bau keringat yang menyengat, dan bersabar saat menunggu giliran dilayani ketika membeli sayuran.
Dia bahkan harus mau mengalah ketika ada ibu-ibu tua yang menyerobot antriannya untuk membayar selapik telur. Dan lagi-lagi kesabarannya diuji saat seorang penjual daging meng-godanya dengan tidak memberikan kembalian uang hanya untuk menarik perhatiannya. Setidaknya Diana merasa bahwa ini adalah bagian dari neraka. Dia harus merasakan panas, bau, ribut, dan bersabar pada manusia-manusia yang tak lagi memiliki aturan dalam mengantre.
Kepala Diana menunduk ke bawah, dia mendengus nyaris berteriak saat melihat kakinya yang putih mulus ternoda oleh lumpur hingga membuat penampilannya kotor dan dekil. Sendal kuning cerah yang tadi dia pakai sudah tidak lagi memiliki warna karena tertutupi lumpur seluruhnya, bahkan rok putih selutut yang Diana pakai penuh akan bercak-bercak tanah. Diana berdiri dan memeriksa pakaiannya. Kini dia yakin dirinya sudah benar-benar kacau dan berantakan, apa lagi saat Diana merasakan rambut hitam panjangnya kusut masai dan beberapa helai rambutnya lengket dan menempel di sekitar leher.
“Kau masih tetap cantik walau berpenampilan seperti itu.”
Diana berbalik saat mendengar suara Bram. Dia merasa malu dengan penampilannya saat ini.
Bram terkekeh ketika mendapati pipi merona Diana, yang membuatnya semakin menarik di mata Bram.
“Ayo kita pulang.” Bram menarik keranjang belanjaan dari tangan Diana dan gadis itu pasrah saja saat Bram menuntunnya ke sebuah motor matic.
“Kenapa kau tahu aku ada di sini?” tanya Diana saat Bram mulai menghidupkan mesin motornya.
“Tadi aku sudah mencarimu ke dalam, tetapi tidak ketemu dan entahlah mungkin kita sudah jodoh sehingga bertemu di sini,” kata Bram. Sengaja menggoda Diana. Bukannya tersanjung atau tersipu, Diana malah mendiamkan Bram. Dia masih tidak senang dengan godaan-godaan yang sudah sering Diana dengar.
***
Bram membawa motornya hingga ke pekarangan dan dia menurunkan Diana di depan gerbang. Sengaja Bram turun dari motornya sebelum dia pergi meninggalkan gadis itu.
“Jangan pasang wajah cemberut seperti itu,” kata Bram ketika melihat Diana yang hanya menekuk wajah sejak mereka meninggalkan pasar. Diana menatap Bram sekilas dan mem-berikan senyum tipis. Bram Ingin Diana benar-benar tersenyum tulus padanya, tetapi sepertinya Diana tidak ingin melakukannya dan membuat semuanya tidak mudah.
“Aku masuk dulu,” kata Diana dengan suara pelan. “Terima kasih sudah menjemputku.” Setelahnya Diana benar-benar meninggalkan Bram yang masih berdiri di sebelah motornya, tetapi Bram tidak ingin semua berlalau secepat itu. Dia menarik tangan Diana dan menatap lurus mata gadis itu. Diana hanya bisa diam terpaku tanpa mengerti harus melakukan apa. Bram mendekatkan wajah, dan hal itu menyadarkan Diana apa yang hendak Bram lakukan. Tangan Diana refleks mendorong Bram agar menjauh.
Mendapat penolakan barusan, Bram pun sadar. Dia mengumpat dalam hati atas kelancangannya. Diana pasti tidak senang dengan apa yang dilakukannya, dan dia merasa malu serta bersalah karena terlalu terburu-buru.
“Maaf, aku tidak bermaksud ....” Bram menjeda ucapannya. Dia bingung harus mengatakan apa. Diana meng-angguk dan langsung meninggalkan Bram tanpa mengatakan sesuatu. Tubuh gadis itu menghilang dari balik pagar. Diana tidak ingin berbalik dan melihat ekspresi Bram, dia ingin segera memberikan belanjaan di tangannya pada Mbok Nah.
*
Mike yang berada di bangku belakang mobil menatap foto-foto yang Bima kirimkan padanya. Rahang Mike mengeras ketika melihat satu foto yang menunjukkan kedekatan Bram dan Diana. Di sana tampak Bram seakan mencium Diana dari ke-dekatan jarak wajah mereka. Mike melempar MacBooknya ke samping dan dia menghempaskan tubuh ke sandaran. Jake yang duduk di bangku kemudi melirik Mike dari spion yang ada di atasnya. Dia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi, tetapi Jake memilih untuk tidak bertanya.
***
Pagi itu, Diana bergegas keluar dari rumah, dia sudah bersiap hendak ke rumah keluarga Darmawan. Saat Diana sudah yakin pintu gerbang rumahnya terkunci, gadis itu melangkah mundur dan hendak berbalik, tetapi dia menabrak dada bidang yang sudah berdiri dari tadi di belakangnya. Karena terlalu sibuk dengan kunci-kunci itu, Diana tidak menyadari kehadiran seseorang yang sudah menggu di balik punggungnya. Kepala Diana mendongak, dan dia memekik kaget ketika mendapati wajah yang kini menatapnya dengan tatapan tajam seperti elang mengunci buruan.
Sebuah seringai mengulas wajah pria itu hingga membuat Diana bergidik ngeri. Diana berjalan mundur dengan rasa takut luar biasa, dan rasa dingin menyentuh punggungnya saat dia membentur pagar besi di belakang tubuhnya. Pria itu terus mempersempit jarak mereka hingga Diana tidak bisa melarikan diri, dia terjebak di antara pagar dan tubuh pria itu yang hanya beberapa jengkal di depan tubuhnya.
“Kau mau ke mana, Chéri,” tanyanya dengan suara yang dalam dan serak. Diana bisa merasakan jantungnya yang berpacu dan bulu romanya meremang ketika pria itu menyentuh sisi wajahnya yang mengharuskan Diana untuk menatap lurus pada mata pria di hadapannya.
Pria itu tidak lagi membuat jarak di antara mereka. Tubuh mereka teramat dekat hingga Diana dapat mencium wangi parfum pria itu yang akhir-akhir ini membayangi penciumannya. Diana meremas kaus merah mudanya dengan tangan bergetar.
“Pe-pergi!” kata Diana terbata sembari mendorong tubuh besar pria itu.
“Tidak!” tolaknya dengan tegas. Dan seketika pria itu menarik Diana ke dalam pelukannya hingga tiada ruang bagi Diana untuk bergerak. Berkali-kali Diana memukul dada bidang pria itu, tetapi pria di hadapannya hanya bergeming, seolah pemberontakannya sia-sia dan membuat Diana putus asa. Ketakutan yang menjalar di hati Diana membuat air mata menumpuk di sudut matanya.
“Ayo kita pulang,” bisik pria itu tepat di telinga Diana. Tangan Diana menggantung di udara saat mendengar suaranya yang jernih, dalam, dan menenangkan. “Ayo kita pulang, Chéri,” ulangnya sembari melilitkan tangan kekarnya yang begitu hangat di sekitar pinggang ramping Diana.
Diana tidak lagi berontak, suara pria itu seolah menghipnotisnya dan entahlah, kata pulang membuatnya tak mampu berpikir. Dia seolah memiliki tempat karena ucapan pria itu. Benarkah pria ini mengajaknya pulang, ke mana?
Diana tidak memiliki rumah, dan baginya di sinilah rumahnya. Perkataan pria itu mengahangatkan hatinya seketika. Bahkan dia bisa merasakan betapa hangatnya pelukan pria ini, tangan kokohnya yang melingkari tubuhnya seolah menjaganya, dan suaranya yang rendah begitu menenangkan. Diana tidak tahu dan tidak mengerti harus melakukan apa sehingga dia hanya bisa diam di dalam pelukan pria itu, walau air matanya nyaris jatuh membasahi pipi.
“Pulanglah bersamaku, Chéri.”

Comentário do Livro (810)

  • avatar
    NaonBolu kukus

    iya saya mau nonton

    29d

      0
  • avatar
    NadyaEka

    ceritanya sangat keren🤩

    27/07

      0
  • avatar
    Lusia Valensiana Bone Adi

    aku suka novelah

    14/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes