logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Permen Kapas

Semua orang, termasuk aku, pasti ingin bahagia dalam hidupnya. Bagaimana caranya bahagia aku tak tahu sampai detik ini. Takdir seakan mengulur waktu agar aku selalu menangis di antara tertawaan orang-orang. Mereka bahagia? Aku tidak.
Katanya, dalam hidup ini kita yang menjadi tokoh utama. Memegang seluruh peran dalam hidup dan menjalankan. Mereka semua hanya penonton yang hanya tinggal menyaksikan, mencibir, dan mencaci.
Aku membenamkan wajah karena lelah. Seharian ini menambah daftar siksaan mereka yang aku terima. Kau boleh saja mengatakan aku bodoh dan lemah. Itu memang kenyataan, aku gadis tak berdaya yang sulit menolak perlakuan mereka.
“Ara!” panggil Ayah. Aku menghapus air mata dan segera memenuhi panggilannya.
“Kemarin, ‘kan aku sudah bilang. Pulang sekolah langsung ke Bude Rita. Bantu aku cari uang. Entah mau mencuci atau apa di sana aku nggak peduli. Jangan jadi anak malas!” perintah Ayah setengah membentak. Aku manggut-manggut saja karena tak berani melawan perintahnya.
“Tugas Ara hanya belajar dan bersekolah. Nggak  perlu disuruh kerja. Masih ada aku!” Mama tiba-tiba menyeletuk kasar sambil menjauhkan aku dari Ayah. Lelaki bertubuh kekar itu mendekati Mama perlahan. Aku sembunyi di balik tubuh Mama, sesekali mengintip kira-kira apa yang akan terjadi.
“Andalkan kamu? Istri nggak becus, apa yang mau diharapkan? Aku iri lihat istri lain di luar sana, udah bantu suaminya. Susah memang punya istri sakit-sakitan!” bentak Ayah, Mama mulai terisak. Aku mendongak melihat air mata itu mengalir. Ayah menendang meja di depannya lalu pergi entah ke mana. Aku memeluk tubuh wanita itu, ia terlihat tegar tapi aslinya rapuh. Inilah alasannya aku tak menceritakan apa-apa. Takut Mama semakin kepikiran dan kesehatannya terganggu.
Ini cobaan dari Tuhan? Atau sebuah karma untukku?
Setiap tengah malam aku bangun. Mencari ketenangan dan mencurahkan semua isi hati pada-Nya. Siapa lagi tempatku mengadu, tempatku berkeluh kesah? Di saat semua orang acuh tak acuh, datang ketika butuh, dan hanya ingin merendahkan. Aku seperti raga tak bernyawa. Nadiku berdetak tapi sukmaku entah ke mana.
Apakah aku berguna?
***
“Minggir-minggir, ada anak setan mau lewat!”
Gadis berambut lurus itu terus menunduk. Buku pelajaran yang ia genggam erat menjadi pertanda bahwa ia sedang gugup. Jalannya semakin dipercepat, wajah-wajah iba itu hanya mampu bergeming. Membela gadis korban bully sepertinya malah mengundang bencana.
“Masih hidup juga lu? Mukanya tebel banget ternyata, udah kita ceburin ke selokan kemarin masih aja masuk sekolah,” kata remaja perempuan berpipi tirus itu sambil berlaga sombong. Ia melirik Ara dari atas ke bawah sambil memicingkan mata. Jelas sekali dalam pikirannya ia meremehkan gadis itu.
“Lu nggak perlu capek-capek belajar. Buang waktu aja, mending jadi peternak sapi sana!” ujar Dara sambil tertawa, diikuti kedua sahabatnya.
“Ayo, guys. Kita pergi dari sini. Lu tinggal ngepel doang,” kata Ria sambil menyodorkan pel dan ember ke Ara. Ria berjalan mendahului dan kedua teman lainnya mengekor.
“Ups, maaf, nggak sengaja.” Dengan sengaja Ria menyenggol tangan Ara hingga buku-bukunya terjatuh berceceran. Ara diam melihat ketiga remaja itu berlalu, ia malu ditatap siswa lain. Apa yang mereka pikirkan? Tentu saja ia terlihat hina.
“Lawan dong, Dek. Kamu kok lemah banget dibully begitu.” Sosok bertubuh tinggi berada di samping Ara. Gadis itu mendongak dan bangkit perlahan.
“Kakak juga nggak bisa bantu apa-apa. Ria itu anak komite sekolah. Seandainya dia siswa biasa, udah Kakak balas perbuatan dia,” lanjutnya membungkuk dan mengambil buku-buku tadi. Ara ikut membereskan kertas yang tercecer, sesekali mencuri-curi pandang. Ia merasa tak asing dengan pemuda ini.
“I-iya, Kak. Saya nggak bisa melawan karena Ara ….”
“Karena kamu nggak punya keberanian, ‘kan? Kakak tahu tipe orang sepertimu. Tapi, Dek, apapun alasannya perundungan itu salah. Pembully dan korban bully bakal dapat efek terburuknya.” Pemuda itu menyungging senyum tipis. Ah, manis sekali seperti kata-katanya.
“Ya, sudah. Kakak saranin kamu konsultasi ke guru BK. Nih, bukunya, semangat, ya!” Kakak kelas itu menyerahkan buku yang tadi ia bereskan. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih. Guru BK di sekolah ini? Mengapa ia baru kepikiran hal itu?
***
“Assalamu’alaikum, Bu. Boleh saya masuk?” Aku mengucapkan salam, setelah sebelumnya bertanya pada WAKA Kesiswaan di mana ruang guru BK.
“Wa’alaikumsalam, iya masuk aja,” jawab beliau mempersilakan. Aku melepas sepatu dan masuk ke ruangan yang luasnya sama dengan kamarku.
“Kenapa?”
“Saya mau konsultasi, Bu. Mengenai permasalahan saya di kelas. Saya harap Ibu bisa membantu,” jawabku gugup. Ibu Tyas hanya mengangguk pelan lalu kembali menatap layar komputernya. Ia mengambil tiga buah buku dan menyerahkannya padaku.
“Tuh, baca aja. Lengkap semua. Pendidikan seks usia dini, tips belajar efektif dan efisien, tips jitu mengarang karya fiksi,” katanya tanpa menatap mataku sama sekali.
Aku tergugu dan bergeming sesaat, bukan ini yang aku maksud. Ibu bahkan belum mendengar ceritaku.
“Pasti heran, ‘kan kenapa saya tahu kamu perlu buku ini? Ya, jelas. Rata-rata siswa di sini keluhannya sama. Itu-itu aja,” lanjutnya. Oh, aku semakin merasa tak dilirik sama sekali, tak ditanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Tapi, Bu. Bukan ini yang saya maksud. Masalah saya lebih besar dari ini,” kataku mulai berkaca-kaca. Ia mengangkat kepalanya dengan ekspresi datar. Wajah menor dan jilbab yang tak beraturan. Ekspresi meledek yang membuatku ingin pergi secepat mungkin, mengurungkan niat berkonsultasi.
“Terus apa? Cewek kayak kamu punya masalah seberat apa? Masih gadis aja kok sok banget punya beban hidup. Apa kabar saya sudah hidup 40 tahun? Paling masalah cinta-cintaan. Dasar remaja zaman sekarang!” katanya kembali menyudutkan. Setidaknya dengar aku dulu, masalahku mungkin tak seberapa bagi orang dewasa seperti mereka. Namun, untuk gadis sepertiku, itu sangat menyiksa.
Ingin rasanya aku berteriak di depan wajahnya. Meluapkan semua emosi dan isi hati yang tidak diketahui orang. Apa begitu etika guru BK sebenarnya? Masalahku tak bisa dipukul rata. Aku tidak mengerti tentang cinta apalagi kepikiran untuk menjalin hubungan. Hei, lihat diriku. Apakah pantas anak buangan ini disayangi seorang lelaki?
“Baik, Bu. Terima kasih atas waktu dan bukunya, saya mohon maaf jika mengganggu. Assalamu’alaikum …,” kataku sambil berusaha meredam emosi. Ia hanya melirikku sedetik, lalu layar yang ia tatap sedari tadi kembali mengambil perhatiannya. Hadirku seolah tidak ada.
Aku keluar dan duduk memasang sepatu. Anak-anak yang lewat melempariku dengan tisu bekas dan botol minuman. Menghela napas panjang, mengucap asma Allah, dan kembali bangkit. Aku melihat anak-anak bermain sepak bola di lapangan. Dari kejauhan, terlihat Ria dan kedua temannya.
Seseorang tak sengaja menyenggol bahuku. Ia melirikku sekilas lalu berlari menjauh.
“Dih, najis bersentuhan sama anak pembawa sial tadi langsung gatel badanku.”
Aku mendengarnya. Tak usah kau sembunyi atau lari menjauh agar bisa membicarakanku. Tidak ada perlawanan selagi kesabaranku masih ada. Mungkin tidak pernah habis karena Allah selalu bersamaku.
“Kau boleh mengujiku sesakit apapun, asal beri aku ketabahan,” ucapku di suatu malam, ketika hanya terdengar tangis seorang gadis di dalam kamar.
Satu tahun sudah aku bertahan. Aradelia Lisa, nama yang terlalu cantik untuk takdir yang sepahit ini. Rindu masa-masa kecil yang bahagia. Ketika tangisku hanya karena merengek ingin permen kapas. Ketika Ayah dan Ibu masih terlihat mesra. Ke mana semua itu? Di mana Kau sembunyikan?
***
“Ayah, Ayah, Ara mau itu!” rengek gadis tujuh tahun yang memakai piyama berwarna pink.
“Minta uang sama Ibu dulu, Ayah nggak bawa uang ini.”
“Ibu, minta uang! Mau beli permen kapas!”
“Pakde, permen kapasnya satu buat Ara!”
Gadis kecil itu berlarian sambil memegang permen kapas. Sesekali  Ayah ikut mengejarnya agar tak berkeliaran di jalan raya. Sang Ibu yang tertawa riang melihat buah hatinya bahagia, ceria, ikut mengejar anak sematawayangnya. Raut kebahagiaan keluarga kecil itu sangat terasa.
“Aduh!” Sang Ayah yang terkejut melihat anaknya terjatuh langung menggendong dan menenangkan. Gadis itu terus saja menangis karena luka di lututnya. Ibu berlari mengambil kotak P3K dan segelas air.
“Udah Ibu obati, nih. Jangan nangis lagi, dong. Nanti cantiknya hilang,” bujuk sang Ibu sambil meniup luka Ara. Gadis kecil itu menatap permen kapas yang sudah jatuh ke tanah.
“Jangan, gak boleh. Itu sudah kotor, Pakdenya sudah pergi. Besok, ya Ayah belikan lagi?” Ara menggeleng, ia meminta turun. Ibunya tersenyum tipis melihat tingkah putri kecilnya.
“Ini permen kapas pertama yang Ayah beli untuk Ara. Sekarang, permen itu udah gak bisa dimakan. Ara kasihan sama Ayah,” ucap gadis itu sambil menyingkirkan rambut ikal yang menghalangi mata bulatnya. Alih-alih sedih karena terjatuh, Ara justru memikirkan nasib permen kapas berwarna pink tersebut.
“Loh, tadi ‘kan Ara jatuh, jadi permennya juga jatuh. Ayah gak apa-apa kok, Sayang. Besok kita beli lagi, ya?” ucap pria beralis tebal itu.
“Gak, Ayah. Ayah gak pernah belikan Ara sesuatu semanis ini. Pertama kalinya Ayah memberi Ara permen kapas. Ara gak mau permennya terbuang sia-sia. Pasti Ayah capek kerja, ‘kan? Maaf, Ayah. Ara salah,” jelas gadis itu kembali menangis. Kali ini ia sesenggukan, sang Ayah mengiba dan berlutut menyesuaikan tinggi dengan buah hatinya itu.
Ibu yang sedari tadi menyaksikan, turut merasa kasihan. Ia tak menyangka anaknya bersikap seperti ini. Mengerti kondisi keuangan keluarga yang biasa-biasa saja.
“Duh, Sayang. Ayah jadi pengen nangis denger Ara bilang begitu. Udah, gak usah dipikirkan. Permen kapas itu manis,’kan?” tanya sang Ayah sambil mengusap air mata Ara. Gadis kecil itu mengangguk.
“Nah, semut suka makanan manis, ‘kan? Jadi, anggap aja Ara memberi makan semut di sini.”
“Iya, putri Ibu jangan cengeng. Ara sayang binatang, ‘kan? Semut-semutnya pasti senang dapat makana dari anak pinter kayak Ara,” timpal Ibunya lalu mencium pipi Ara. Gadis itu perlahan tersenyum.
“Benar begitu, Yah? Semut, kalian senang,’kan dapat permen dari Ara? Tadinya Ara mau habiskan permen dari Ayah tapi jatuh. Buat kalian aja, deh!” Sepasang suami istri itu tersenyum haru.
“Ayah, janji, ya suatu saat belikan Ara permen lagi,” kata Ara sambil menyodorkan jari kelingking.
“Iya, Sayang. Ayah janji.”
***

Comentário do Livro (61)

  • avatar
    Feewa

    very best this stories

    25/08/2022

      5
  • avatar
    Wawan

    bagus sekali alur ceritax

    17/08/2022

      1
  • avatar
    AswarHaerul

    mantap

    9d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes