logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 TUJUH

Badran menghela napas berkali-kali, meratapi kondisi motornya setelah menabrak motor yang mengejarnya kemarin. Kaca lampu depan retak, dashboard bengkok, dan spakbor depan pecah.
“Kira-kira bisa diperbaiki nggak, Pak?” Badran bertanya, saat ini ia sedang bersama Pak Eko sang pemilik kos.
“Bisa, Dran. Nanti aku bawa ke bengkel dulu ya.”
“Kira-kira habisnya berapa, Pak?” Badran bertanya lagi.
“Kalau benerin semua, bisa habis dua ratus sampai tiga ratusan, Dran.”
Badran menganggukan kepala. “Oke, nanti aku siapkan tiga ratus ya, Pak.”
“Iya, Dran.”
Setelah berkonsultasi dengan Pak Eko sang pemilik kos, Badran segera meminta Pieter untuk mengantarnya ke kantor. Ini sudah jam setengah tujuh, janji Badran hari ini ia sampai di kantor jam tujuh.
***
Kantor megah Jogjapolitan terlihat sepi, tempat parkir tak sepadat biasanya, hanya terdapat beberap motor yang terparkir di sana. Munngkin itu motor para redaktur, pikir Badran setelah Pieter menurunkan Badran di halaman depan kantornya.
“Makasih ya, Pit.”
“Oke, Mas. Sama-sama.”
Setelah Pieter meninggalkan kantor itu, Badran segera memasuki kantor, melewati gedung lantai satu tempat para pegawai administrasi, terlihat kosong tiada orang, hanya meja dan komputer-komputer yang tidak dinyalakan. Mungkin mereka sendang menikmati hari liburnya di rumah masing-masing bersama keluarga, atau jalan-jalan untuk sekedar menghilangkan rasa penat.
Badran membayangkan kenikmatan mereka di hari libur ini, namun sekilas Badran segera membuangnya, ia pun segera menaiki anak-anak tangga menuju lantai tiga tempat para pegawai beristirahat, makan, atau memesan kopi.
Lantai tiga di kantor Jogjapolitan memang didesain seperti cafe dengan ruangan terbuka, tempat ini biasa mereka sebut Warung Redaksi. Memang sangat istimewa kantor Jogjapolitan, pantasan para pegawainya banyak yang betah bekerja di sini.
Badran sampai di lantai tiga, ia menemukan Redaktur Chilmi dan Dwi sedang duduk di salah satu bangku dengan atap terbuka, bercakap-cakap sambil menghisap rokok filter, dan ditemani secangkir kopi dan secangkir teh hangat. Setelah memesan teh, ia pun segera bergabung bersama kedua orang itu.
“Tadi aku dapat informasi, bahwa hari ini ada pergerakan aksi damai yang dilakukan oleh gabungan organisasi Mahasiswa Jogjakarta, dan Serikat Pekerja di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga. Dan kabarnya aksi itu akan di mulai jam sembilan, dan aku ingin kalian tiba di sana satu jam sebelum aksi itu dimulai. Kabari informasi mana aja jalan yang akan ditutup, untuk bahan postingan di sosial media Jogjapolitan.”
“Siap, Mas.” Badran dan Dwi mengangguk, menerima arahan Redaktur Chilmi.
“Oke kalau gitu, kalian berdua silakan berdiskusi, membagi tugasnya masing-masing. Sebentar lagi ada rapat redaksi pagi.” Setelah memberi tugas untuk kedua wartawannya, Redaktur Chilmi pun beranjak dari tempat duduknya dan segera berlalu meninggalkan lantai tiga.
“Jadi kita harus tiba di lokasi sebelum jam delapan, Dran.”
“Kita belum tahu mahasiswa dari universitas mana aja yang ikut aksi damai itu.” Badran mengambil sebatang rokok filter, dan segera membakarnya.
“Kalau itu aku udah dapat, Dran. Mas Chilmi tadi udah kasih data-datanya.”
“Oke, kalau gitu aku buatkan dulu susunan rencana peliputannya. Oh ya, Wi, kamu buatkan informasi-informasi apa aja yang harus kita gali.” Badran segera membuka note di ponselnya, dan sibuk menulis rencana peliputan hari ini.
Kali ini Badran ditemani Dwi seorang wartawan pendidikan dan pemerintahan, yang ditugaskan Redaktur Chilmi untuk menemani Badran meliput aksi damai Hari Buruh di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga. Sebenarnya ini sudah sekian kalinya Badran mendapat tugas liputan demo selama tiga tahun bekerja di surat Jogja 24politan.
“Oh ya, nanti pakai motormu ya, Wi.”
“Loh motormu mana?”
“Lagi di bengkel.”
“Kenapa? Rusak?”
Badran menghela napas sejenak. “Namanya motor kalau udah di bekel, itu sudah pasti rusak, bukan kehabisan bensin.”
“Oh iya pertanyaanku salah.” Dwi menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi putihnya. “Emang rusaknya kenapa?”
Badran diam sejenak, ia enggan menceritakan kejadian kemarin malam. “Jatuh,” jawab Badran berbohong.
“Oalah.. Tapi kamunya nggak papa?”
“Nggak papa, aku orangnya kuat kok.”
Dwi tertawa. “Percaya, Dran.”
***
Sinar mentari telah menyorot dari timur, pagi yang cerah di Jogja. Kepulan asap-asap kendaraan berterbangan disertai debu-debu jalanan. Tepat pukul 7.45, Badran dan Dwi telah sampai di lokasi yang nantinya akan ada gerakan aksi masa.
Segelintir orang—orang berseragam aparat sudah berjaga-jaga di sana. Setibanya di lokasi Badran langsung bergegas mencari informasi mana-mana saja jalan yang nantinya akan ditutup untuk laporan ke redakturnya, sementara Dwi bergegas mencari penitipan motor.
Tak lama Dwi datang menghampiri Badran yang tengah berbicara dengan seorang petugas kepolisian. Mendapati kedatangan Dwi, Badran segera mengakhiri obrolannya.
“Gimana udah dapat informasinya?”
“Udah dapat sih, Wi. Cuma bingung jawabannya. Aku tadi udah tanya ke Polisi, Satpol PP, dan Dishub. Tapi jawaban mereka beda-beda, aku jadi nggak yakin.”
“Gimana kalau kita cek sendiri, Dran?”
“Kita ke timur aja yuk.”
“Naik motor?”
“Jalan kaki aja, Wi.”
“Capek lah, Dran.”
“Nih, minum.” Badran menyodorkan sebotol air mineral.
“Yaah, minum aja?” Dwi menerimanya, tidak ikhlas.
“Makannya nanti siang, kan tadi udah sarapan. Kalau mau liputan kayak gini tuh jangan banyak makan, nanti kecirit di jalan susah. Udahlah, yuk. Keburu mulai nih.” Badran tak menggubrisnya lagi ia langsung melangkahkan kakinya dengan cepat. Sementara Dwi berjalan di belakangnya, mengikuti Badran.
Setelah Badran dan Dwi menyusuri jalan Letnan Adi Sucipto ke timur, dan kemudian kembali ke barat, akhirnya ia mendaptkan informasi yang lebih jelas, soal jalan mana saja yang ditutup. Badran dan Dwi pun kembali mecari tempat nyaman untuk beristirahat sebentar sambil menulis laporan situasi terkini di Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga. Sementara Dwi menyibukkan dirinya mengambil beberapa gambar di lokasi tersebut.
Tak lama beberapa rombongan dari organisasi mahasiswa Jogjakarta berdatangan, 1 truk di depan diikuti rombongan sepeda motor, masing-masing berboncengan sambil membawa bendera lambang organisasi mereka. Terlihat ramai sekali, suara-suara mesin dan kelakson dibunyi-bunyikan. Para petugas kepolisian sudah merapat, membentuk barisan untuk melakukan pengamanan.
Pukul 9.10, masa dari beberapa kelompok organisasi mahasiswa dan serikat pekerja sudah memenuhi jalan Letnan Adi Sucipto sisi selatan. Para wartawan dari berbagai media yang memang bertugas liputan demo hari buruh juga sudah tiba di lokasi, berbagai peralatan kamera, dan peralatan liputan lainnya telah disiapkan. Beberapa wartawan televisi melakukan live on tape ada juga yang melakukan live report.
Salah satu orang dari mereka yang menjadi pemimpin aksi gerakan tersebut menemui wartawan untuk melakukan wawancara. Badran dan para wartawan yang ada di sana pun mengerumuninya sambil menyodorkan kamera dan alat perekam suara. Berbagai macam pertanyaan dilontarkan dari seorang wartawan, dan dijawab langsung oleh sang pemimpin aksi dengan penuh semangat dan emosional.
“Kami sudah sepakat melakukan aksi damai, tanpa anarkisme. Saya pastikan, aksi ini akan berjalan terib, masing-masing koordinator organisasi bertanggung-jawab atas aksi massa dari organisasi masing-masing. Dan aspirasi yang akan kami sampaikan, kami menuntut perbaikan upah kerja, lapangan pekerjaan yang masih sempit, kami menolak kapitalis dan komersialisasi sistem pendidikan, dan terakhir kami meminta demokratisasi dan kebebasan berekspresi di kampus diterapkan.” Begitu jawaban dari salah satu pemimpin massa aksi organisasi mahasiswa saat diwawancara oleh wartawan.

Comentário do Livro (49)

  • avatar
    FiahAl

    bagus banget karyanya

    13d

      0
  • avatar
    dithaapramu

    seru

    19/06

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    badran selalu membawa perlengkapan jurnalisnya didalam tasnya.

    07/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes