logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Cengeng

Sudah beberapa lama Celine menghabiskan waktunya di Papua. Belum sampai sebulan. Namun, ia sudah ingin kembali ke tanah kelahiran, Sumatera. Pagi ini ia bulatkan tekadnya untuk menyampaikan keinginannya kepada kedua orang tua Leon.
Celine merapikan tempat tidurnya. Gadis itu bergegas menuju ke dapur untuk membantu Mama Leon memasak. Wanita paruh baya itu tengah asik menyiapkan sarapan kesukaan semua penhuni rumah.
"Celine, tolong tante sebentar ya! Lanjutin dulu memasaknya, tante mau ke belakang dulu, sakit perut," ucap Naya seraya memegang perutnya dengan tatapan wajah yang meringis.
"Oh ... iya Tante, biar aku yang lanjutin," jawab Celine seraya meraih sendok goreng yang dipegang oleh Naya.
Celine mulai sibuk mengaduk isi wajan yang berisi nasi goreng. Tinggal sedikit lagi hidangan itu akan matang. Celine mencoba mencicipi, memastikan jika bumbunya sudah pas, lalu mengaduknya lagi beberapa kali sampai kemudian ia menuangkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan oleh Naya sebelumnya.
Celine kembali meraih wajan yang bersih lalu memanaskan minyak. Gadis itu berniat untuk membuat 4 telur mata sapi sebagai teman nasi goreng. Namun, tiba-tiba ia dikagetkan oleh sesuatu yang merangkul pinggangnya dari belakang.
"Ma ... Mama masak apa sih? Harum sekali baunya!"
Bisikan manis dan lembut terdengar di telinga Celine. Seseorang menyandarkan kepala di pundaknya.
"Ih ... kamu apa-apaan sih? Kamu salah orang deh! Aku Celine, bukan tante Naya!" teriak Celine yang menyadari jika laki-laki yang memeluknya adalah Leon.
"Cie ... romantis sekali sih anak sama calon mantu mama. Awas lo, jangan aneh-aneh, kalian itu belum menikah," tegur Naya seraya tersenyum lebar.
"Tante apaan sih! Ini nih ... Leon malah main peluk-peluk, aku dikira Tante!" Celine berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Leon tersenyum licik, ia duduk di meja makan lalu melirik tajam ke arah Celine. "Dia yang menggoda aku duluan, Ma."
"Kamu jangan berbohong, Leon." Seketika itu tangan Celine yang memegang sendok secara refleks melemparkan sendok gorengnya ke arah Leon dan tepat mengenai kepalanya.
Leon meringis seraya mengucap-usap kepalanya yang sakit. "Kamu tega banget ya! Celine, kalau mau jadi istriku itu jangan galak-galak, nanti cantikmu hilang!"
"Siapa juga yang mau jadi istri kamu? Tidak minat!"
"Oke! Kita lihat aja nanti, awas kalau sampai kamu beneran jadi istriku, kualat!"
"Sudah, sudah, kalian ini kenapa sih? Belum juga menikah sudah bertengkar terus, nggak bosan-bosannya! Papa aja bosan dengan kalian yang bertengkar terus setiap hari." Rendy baru saja keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian dinas lalu duduk di meja makan bergabung dengan anak istri juga calon menantunya.
"Om, Tante. Sehabis kita sarapan aku mau bicara."
"Bicara apa? Kamu kayak orang penting saja!" Leon menyela.
"Leon ... jangan gitu ah!" Naya menegur putranya.
"Ya sudah, sekarang kita sarapan dulu ya!" lanjut Naya.
***
"Jadi gini, Tante, Om. Aku kan sudah lama di sini, memang sih belum ada sebulan, tapi rasanya ini sudah terlalu lama. Mama papa aku juga sudah tidak ada, mungkin lebih baik aku pulang saja, balik kembali ke Sumatera." Celine mengutarakan keinginannya.
"Loh! Kenapa dadakan? Bukannya liburan Celine masih lama ya?" tanya Naya.
"Masih lama sih, Tante, tapi aku nggak ada kegiatan apa-apa juga di sini. Kalau di kampung aku bisa ke kampus, ketemu teman-teman."
"Itu alasannya saja, Ma. Sebenarnya dia ingin balik ke Sumatera karena dia ada pacarnya di sana," Leon menyela.
"Benar kata Leon seperti itu, Celine?" Naya menatap Celine lekat.
Celine menghela napas pelan. Ia memutar bola matanya tak percaya dengan ucapan Leon yang 100% benar. Namun, tak mungkin ia berkata jujur mengatakan itulah alasannua.
"Bukan itu alasan utamaku, Tante. Lagian di sini gini-gini aja, aku bingung juga harus melakukan apa. Liburan tapi tidak ada tempat untukku melepaskan penat. Kalau aku di Sumatera aku bisa jalan-jalan dengan teman-teman kemudian pergi ke tempat pariwisata, tentu saja untuk melepas rasa sakitku karena kehilangan dua orang tuaku."
Naya terdiam, ia paham dengan maksud Celine. Ia mengerti bagaimana perasaan Celine. Naya pun tak memungkiri jika tanah tempatnya kini tinggal tidak seindah tempat lain yang memiliki beraneka ragam fasilitas hiburan.
"Sebentar ya, Celine. Tante bahas dulu dengan papanya Leon. Bukannya tante melarang kamu pulang, tapi, tante ingin menjalankan amanah kedua orang tua kamu. Menjaga kamu dan tentunya mendekatkan kamu dengan Leon."
"Tapi, Tante ...."
"Sudah ...."
"Leon, bersiaplah! Ajak Celine jalan-jalan mungkin dia jenuh," titah Naya kepada putranya.
"Jalan-jalan ke mana, Ma?" Leon merasa bingung karena ia sendiri tahu, tak ada tempat untuk bersenang-senang di kota ini.
"Kamu pikirkan sendiri, Leon. Terserah kamu ajak Celine ke mana. Yang jelas buat dia senang."
"Mama ini yo! Dikiranya aku ini pintar menghibur orang ka pa? Aku bukan badut, Ma."
"Stop, stop sudah kamu membantah, Leon. Cepat sana siap-siap!"
"Pele ... Mama ini! Oke sudah!"
Leon bangun dari duduknya lalu menatap Celine penuh kekesalan. "Semua gara-gara kamu, anak cengeng!"
"Kamu bilang apa? Aku anak cengeng? Kemarin kamu sendiri yang ngomong mau jaga aku! Terus kenapa sekarang disuruh ngajak aku jalan-jalan aja kamu ngeluh? Dasar plin plan! Tidak tepat pendirian!"
"Oh ... kamu mulai ya, mau ngajak aku ribut?"
"Yang mulai duluan siapa?"
"Kamu!"
"Kamu!"
"Kamu!"
Celine dan Leon mulai saling tatap. Saling memandang dengan tatapan penuh dendam.
"Sudahlah, kalian ini kok selalu bertengkar nggak habis-habisnya. Sana siap-siap, terus jalan. Ini perintah mama ya! Tidak ada yang boleh membantah." Naya mencoba melerai keduanya.
Leon dan Celine memasuki kamar mereka masing-masing selalu bersiap.
"Mau ke mana?" tanya Leon pada Celine yang sedang duduk menunggunya di ruang tamu.
"Mana aku tahu mau ke mana! Aku aja tidak tahu wilayah ini. Kok malah nanya sama aku!"
"Kamu nih ya, benar-benar ngajak ribut! Aku tanya baik-baik kamu jawabnya ketus."
"Udah, kalau memang nggak niat ngajak aku jalan, nggak usah! Mending diem aja di rumah!"
Bola mata Celine mulai berkaca-kaca. Gadis itu memang lemah. Sekali saja ia diajak ribut atau bahkan bertengkar, Celine akan berakhir dengan kekalahan dan menangis.
"Kalian ini kok ribut terus sih? Mama capek nih dengarnya. Kalau kayak gini terus nanti mama nikahin kalian cepat-cepat, mau kayak gitu?" ancam Naya.
"Enggak, Ma."
"Engga, Tante."
Celine dan Leon menjawab hampir bersamaan.
"Ya sudahlah, sana pergi jalan! Masalah tempat, atur berdua. Nanti di jalan jangan bertengkar lagi. Bisa-bisa kalian ditangkap sama satpam portal! Mau?"
"Nggak, Ma."
"Nggak, Tante."
Lagi-lagi Celine dan Leon menjawab hampir bersamaan.
"Sebenarnya kalian berdua memang cukup kompak," ucap Naya yang senyum-senyum lalu pergi meninggalkan keduanya masuk ke dalam kamar.
"Cengeng! Ayo jalan sekarang!" ucap Leon menatap Celine.
"Oke, pemarah!"

Comentário do Livro (130)

  • avatar
    RahmatianiNaila

    sangat baguss👍

    20d

      0
  • avatar
    KmuuuSayang

    asli

    26d

      0
  • avatar
    CeesRa

    sangat seru

    19/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes