logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Kentut

"Leonnnnnn!!" teriak Celine. Bulir bening di sudut matanya mulai terlihat. Ia berusaha berdiri mencoba menghindar dari lumpur yang sudah mengenai beberapa bagian tubuhnya.
"Kamu sih!"
"Apa? Kamu mau nyalahin aku?"
"Kalau bukan kamu yang salah, siapa lagi? Angin? Mikir!" Leon semakin emosi.
"Kamu juga mikir donk! Kamu bilang aku penipu! Astaga! Kejam banget kara-katamu! Ga punya perasaan sama sekali!" sungut Celine. Pelupuk matanya sudah dipenuhi oleh bulir-bulir bening yang siap-siap jatuh ke pipinya.
"Hahaha ... Hahaha ... maaf, aku lupa! Aku kasih tahu kamu ya, kalau di Papua, tipu itu sama dengan bohong! Bukan berarti penipu dalam artian penjahat, Celine!" jelas Leon.
Celine merungut, wajahnya kusut, ia memonyongkan bibirnya maju dan menundukkan kepala. Bulir bening itu sudah jatuh membasahi kedua pipinya.
"Sudah, jangan nangis lagi. Aku minta maaf kalau sudah membuatmu salah paham. Jadi gimana? Kita mau pulang atau melanjutkan perjalanan?" tanya Leon.
Leon berdiri, mengibaskan tangan, menyapu beberapa bagian tubuhnya yang terkena lumpur, kemudian mengeluarkan tangannya kepada Celine, membantu gadis itu berdiri.
"Kita lanjutkan perjalanan saja, tidak apa-apa kan?" tanya Celine dengan suara pelan.
"Baiklah, kita ke makam orang tuamu ya! Jangan nangis terus, aku kan sudah minta maaf, nanti orang tuamu juga sedih lo!"
Leon dan Celine akhirnya melanjutkan perjalanan. Tak butuh waktu lama mereka sampai di makam kedua orang tua Celine. Gadis cantik itu sudah bersimpuh di sisi makam kedua orang tuanya yang berdampingan, sementara Leon dengan setia menemani Celine di sisinya.
Perlahan Celine menaburkan bunga di atas kedua makam orang tuanya. Gadis itu mulai menundukkan kepala sejenak dan menengadahkan kedua tangannya lalu mengucapkan sepatah dua patah kata doa untuk almarhum kedua orang tuanya.
"Pa,ma, jujur ... sampai detik ini aku belum begitu percaya kalau kalian sudah pergi meninggalkan aku. Entah ... rasanya ini seperti mimpi, terlalu cepat bagiku kalian membiarkan aku hidup sendiri."
"Sekarang aku tidak punya siapapun sebagai tempat bersandar ku. Entah ... aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan di dunia ini tanpa kalian."
"Pa, ma ... seandainya saja Tuhan mengizinkan, rasanya aku lebih baik ikut bersama kalian daripada aku di sini sendiri."
Celine mulai terisak, ia tak mampu lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis mengenang kedua orang tuanya yang sudah pergi untuk selamanya.
"Sabar ya, kamu masih punya aku, punya papa dan mama aku. Kamu tidak sendiri, ada kami yang akan selalu menemani kamu." Leon mengelus punggung Celine perlahan.
"Leon ...." Celine tiba-tiba mengalihkan pandangannya, menatap leon lekat. Nyaris membuat jantung Leon seakan berhenti berdetak saking gugupnya.
"Apa?" tanya Leon seraya beberapa kali mengedipkan matanya.
"Kamu kentut ya?" Celine sudah menutup hidungnya.
"Aku kira kamu kenapa! Ternyata cuma nanya aku kentut apa kagak. Ah ... pele ... ini kentut kenapa harus bau sih? Bikin malu saja!" Wajah Leon memerah menahan malu.
Celine sudah tertawa terbahak-bahak. Ia melupakan kesedihannya sesaat. Bahkan ia sampai tak sanggup lagi menahan sakit perutnya.
"Ganteng, tapi kentutnya bau juga!" teriak Celine, ia masih tertawa tak henti sampai menangis.
"Terus, kamu? Apa iya kentutmu harum karena kamu cantik?" tanya Leon.
"Kentutku tak berbau, Leon," jawab Celine dengan penuh percaya diri.
Keduanya memutuskan untuk bergegas pulang. Jarum jam di tangan Celine sudah menunjuk angka 12.15. Ah ... selama itu mereka berada di pemakaman. Namun, bagi Celine itu seperti hanya beberapa menit saja.
Setelah perdebatan yang sedikit menegangkan, keduanya sepakat mampir di warung bakso terlebih dahulu sebelum sampai di rumah. Wajah Celine sudah tampak ceria, begitupun dengan Leon yang terlihat lega.
"Leon? Leon kan?"
Seseorang menepuk pundak Leon yang baru saja hendak memasukkan suapan pertamanya ke dalam mulut.
Leon reflek meletakkan kembali sendoknya lalu menoleh ke arah suara. "Cinta?"
"Cinta? Idih ... lebay, manggilnya cinta, pasti dia pacar Leon," gumam Celine dalam hati.
"Aku boleh gabung ga? Eh ... dia siapa?" tanya gadis itu seraya menatap Celine dengan tatapan tak suka.
"Cin—"
Sebelum Leon menyelesaikan ucapannya gadis hitam-hitam manis itu sudah merangkul lengan Leon posesif. Leon tak bisa berkutik, kemudian melanjutkan menikmati makanannya.
Celine masih diam. Ia tidak marah, ia tidak cemburu, tidak kesal, tapi dia emosi melihat gadis yang kini dusuk di sebelah Leon.
"Dasar, gatel!" umpat Celine sedikit berbisik. Namun, masih terdengar jelas di telinga gadis itu.
"Kamu bilang apa? Coba ulangi!" Gadis itu naik pitam dan mulai memancarkan amarah pada sorot matanya.
"Celin, kita pulang!"
Leon berdiri. Ia tak menghabiskan apa yang baru saja ia makan. Leon lebih memilih cepat-cepat pergi agar tak ada keributan diantar 2 gadis itu.
Leon menarik lengan Celine cepat. Sementara, gadis hitam manis itu menatap kepergian Leon dan Celine tak suka.
"Itu pacar kamu ya?" tanya Celine saat mereka sudah berada di atas sepeda motor.
"Bukan!" jawab Leon singkat.
"Bohong!"
"Buat apa aku bohong? Nggak ada gunanya!"
"Terus ... kenapa kamu panggil dia cinta? Lebay banget! Pacaran tapi kayak ABG aja!"
"Astaga ... Celine, namanya dia itu memang Cinta. Terus aku harus panggil dia siapa? Masak iya aku panggil dia monyet?"
"Oh ... jadi namanya Cinta. Aku pikir ...." Celine menggantung ucapannya.
"Kenapa? Kamu cemburu?"
"Idih ... Nggak ada ya! Aku sudah punya pacar, pacarku itu lebih ganteng daripada kamu. Ga mungkinlah aku cemburu!"
"Mana pacarmu? Mana? Teleponan saja enggak pernah. Jangan-jangan, cuman pacar khayalan saja."
"Terus ... kalau aku telepon pacarku, masa aku harus lapor sama kamu?"
"Udah turun sana! Udah sampai! Aku mau taruh motor dulu di sana." ucap Leon yang sudah mengantarkan Celine tepat sampai depan rumah. Sementara dirinya pergi memarkirkan sepeda motor di bawah pepohonan teduh.
"Kenapa kalian lama sekali?" tanya Naya setelah anak dan calon menantunya itu masuk ke dalam rumah.
"Kita mampir beli bakso dulu, Ma," jawab Leon kemudian ia berkas masuk ke dalam kamarnya.
"Ya sudah! Kamu juga istirahat ya, Celine."
Celine juga masuk ke dalam kamarnya. Ia meletakkan tas kesayangannya pada gantungan di belakang pintu, lalu ia membersihkan diri dan mengganti pakaian.
Celine merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya memainkan ponsel yang sejak tadi tak sempat ia sentuh. Berapa hari sudah kekasihnya tak ada kabar. Bahkan, selama dia di Papua, pesannya jarang dibalas.
"Apakah kamu baik-baik saja di sana, Agung?" gumam Celine pelan.
Celine mulai mengetik di aplikasi hijau. Ia ingin kembali mencoba mengirim pesan pada kekasihnya itu.
[Sayang, kenapa kamu tidak pernah balas pesanku? Kamu baik-baik saja kan?]
[Aku baik-baik saja!] balasan dari Agung, Celine terima dengan cepat.
[Kamu ke mana saja?]
[Aku sibuk!]
[Sesibuk itu? Bahkan tak pernah meluangkan waktu sedikitpun untuk membalas pesanku!]
[Kamu kapan pulang?] Agung mengabaikan pertanyaan Celine.
[Belum tahu! Aku masih bingung ....]

Comentário do Livro (130)

  • avatar
    RahmatianiNaila

    sangat baguss👍

    20d

      0
  • avatar
    KmuuuSayang

    asli

    27d

      0
  • avatar
    CeesRa

    sangat seru

    19/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes