logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

CHAPTER 5: WILL YOU BE THERE?

Mungkin terdengar sangat tabu bagi seorang pria untuk mencurahkan isi hatinya. Tapi kali ini, izinkanlah aku melakukannya. Karena aku tidak tahu lagu apa yang harus kulakukan...
Hai, aku Devan Safaraz, 27 tahun. Aku ingin menceritakan sesuatu pada kalian semua dan semoga saja bisa menjadi pembelajaran bahwa jangan pernah sekali pun menyakiti seseorang yang sangat tulus mencintaimu. Jangan pernah...
Ada seorang wanita 10 tahun lalu yang sangat mengubah hidupku...
Sebenarnya dia adalah teman kecilku. Kami bertetangga sejak kecil. Dan selalu satu sekolah dari SD hingga SMA, dan bahkan sering satu kelas. Dengan waktu yang begitu lama kupikir aku sudah sangat mengenalnya, tapi aku salah, karena aku bahkan tidak pernah tahu bahwa diam-diam dia sudah mencintaiku selama bertahun tahun...
Aku menemukan seseorang yang lain yang dulunya kuanggap bahwa dialah cinta pertama ku. Gadis cantik dan juga populer dari sekolah sebelah. Padahal dia sangat ceria, cerdas, banyak bicara, dan memiliki banyak teman, jadi aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan memilihku menjadi pacarnya. Karena terus terang saja, percaya atau tidak, seorang Devan Safaraz di masa sekolahnya hanyalah seorang yang sangat pendiam, cuek, dan bahkan tidak memiliki banyak teman yang entah mengapa hal itu justru dianggap 'cool' oleh para anak perempuan.
Hubunganku dan pacarku berjalan sangat menyenangkan pada awalnya. Kami banyak melakukan hal norak sama seperti pasangan muda lainnya. Aku sangat mencintainya dan seakan-akan bagiku dia adalah segalanya. Aku rela melakukan apapun untuknya.
Namun di bulan bulan berikutnya, hubungan kami mulai merenggang. Kami tidak lagi sekompak dulu dan bahkan hubungan kami kerap bertengkar. Aku merasa dia bosan padaku. Aku takut. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengatasinya karena bahkan aku bukanlah tipe orang yang romantis. Hingga akhirnya secara sepihak dia memutuskanku dengan alasan yang sungguh tidak bisa kuterima.
"Hubungan kita udah nggak menarik lagi sekarang. Nggak asyik! Kita putus aja."
Aku benar-benar terluka atas berakhirnya hubungan kami, dan sulit menerima kenyataan bahwa kami sudah tidak lagi bersama. Karena itulah aku berulangkali mengajaknya rujuk. Meski dia selalu menolak. Aku bahkan sudah tidak peduli lagi meski semua teman-temanku mengatakan aku terlihat memalukan karena terlalu mengemis cinta pada seseorang yang sudah berstatus mantan.
Hingga penolakan terakhirnya membuatku memutuskan untuk benar-benar pergi darinya...
"Kau ternyata nggak sedewasa yang aku pikir! Aku bosan padamu. Bosan pada hubungan kita dulu. Karena itulah berhenti mengejar-ngejar aku lagi. Dan aku mau berbahagia tapi bukan sama kamu..."
Kalimatnya benar-benar menghujam hatiku hingga terasa sangat menyakitkan. Aku jadi merasa seperti orang yang tidak berguna. Aku jadi benar-benar berpikir bahwa aku memang orang yang tidak menarik, hingga tidak layak untuk dicintai. Karena itu kuputuskan untuk menarik dari dari orang lain, dan tidak mengizinkan siapapun mendekat. Dan seperti yang kuinginkan, semua teman-temanku menjauh, tidak ada yang berani mendekatiku.
Namun hanya ada satu. Dia. Si gadis teman sejak kecilku dulu.
Tidak peduli berapa kali pun aku menyuruhnya menjauh, dia selalu mendekat. Tidak peduli berapa kali pun aku bersikap dingin padanya, dia selalu tersenyum.. Tidak peduli berapa kali pun aku menolak bantuannya, dia selalu mengulurkan tangannya padaku. Hingga akhirnya pada suatu masa dimana aku merasa tidak tahan lagi dan pergi untuk bersembunyi, dia menemukanku. Hanya dia yang bisa menemukanku dan satu-satunya teman yang masih peduli padaku.
Aku mencurahkan segalanya dan dia hanya diam sambil mendengarkan. Aku akhirnya menangis dan dia memberikan bahunya untuk tempatku bersandar. Dia mendengarkan, memberikanku saran tanpa sedikitpun menghakimi.
"Kamu orang yang baik hati. Percayalah padaku..."
"Aku disini. Dan aku nggak akan pernah ninggalin kamu"
Dan akhirnya, untuk pertama kalinya aku tersenyum lagi.
Bersama dengannya membuat ku perlahan-lahan kembali menjadi Devan yang dulu, ah, tidak, aku bahkan lebih baik lagi. Aku juga mulai membuka diri pada teman temanku, dan juga mulai membuka hatiku. Padanya....
"Kurasa aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?"
Dia tercengang sekaligus menatapku dengan binar matanya yang paling indah yang pernah kulihat. Dia bahkan menangis.
"Aku bahkan nggak pernah mikir bahwa hari ini akan jadi nyata. Hari dimana kamu benar-benar akan bilang bahwa kamu menyukaiku. Aku nggak pernah menyangka bahwa perasaanku yang udah bertahun-tahun kusimpan untukmu akhirnya terbalas juga. Terima kasih Devan..."
Hubungan kami pun berjalan baik-baik saja. Kami bahagia. Dia sangat memahami diriku dan tidak pernah terlihat bosan padaku. Meski aku tidak memperlakukannya sama seperti yang kulakukan pada mantan pacarku di hubunganku yang sebelumnya, namun sepertinya dia tidak masalah. Kami semakin dekat tapi tidak ada kemesraan. Aku tidak pernah menggandeng tangannya saat kencan, memeluknya, menciumnya, bahkan tidak memiliki fotonya dompetku atau berfoto bersama dengannya. Entah kenapa aku menjadi sangat berhati-hati. Ada sisi diriku yang tidak ingin terluka lagi. Namun dia selalu bersabar, tenang, dan tidak pernah menuntut.
Hingga disuatu masa, mantan pacarku kembali. Selama ini aku bahkan sudah tidak mengingatnya lagi karena pacarku yang sekarang sudah membuatku nyaman. Namun air matanya saat dia menceritakan berbagai kisah sedihnya membuatku luluh. Tanpa sepengetahuan pacarku, aku sering teleponan dengan mantanku kembali. Aku bahkan jadi sering lupa untuk menelpon pacarku. Karena kupikir kami semakin tidak ketahuan , kami pun diam-diam sering bertemu tanpa sepengetahuan pacarku. Aku bahkan seringkali membatalkan janji kencan kami hanya untuk bertemu mantanku itu.
Hingga pada suatu hari dia memintaku bertemu.
"Kutunggu di Taman Flora jam 3 sore nanti. Aku nggak akan meminta banyak hal kecuali kedatangan mu, Devan. Kalau memang aku penting untukmu, kumohon datanglah meski hanya sebentar. Aku akan menunggu..."
Mendengarnya mengatakan itu entah kenapa mulai menimbulkan rasa bersalah didalam hatiku. Awalnya aku memang berniat untuk datang. Tapi tepat pada saat aku akan pergi, mantanku menelpon kembali, dan dengan suara tangisannya, memintaku datang segera. Dan meski langkah ku terasa berat, kuputuskan untuk menemuinya. Karena kupikir pacarku pasti tidak akan marah. Bukannya dia selalu memahami ku? Dia pasti tidak akan marah....
Meski firasatku mulai tidak enak....
Saat itu aku menemui mantanku di sebuah halte, tapi dengan pemandangan yang samasekali tidak kuinginkan. Dia bersama seorang mahasiswa yang tengah membawa kamera. Mereka bahkan memotret bersama. Dengan ekspresi wajah lembut dan mata berbinar yang tidak pernah dia tunjukkan padaku.
Aku merasa ini semakin tidak beres....
Selama berkencan dengan mantanku hari itu, aku sama sekali tidak konsentrasi. Dan kelihatannya dia pun begitu. Mungkin saja karena pemuda yang tadi. Entah kenapa mendadak aku tidak peduli. Entah kenapa di hari itu aku dan mantanku tidak banyak berbicara meski kami tengah bersama. Dan mata kami tidak saling menatap meski kami duduk berhadapan. Aku selalu terbayang-bayang pacarku dan firasat itu terus menghantui, bahwa dia akan pergi, tapi didalam hati aku terus bersikeras bahwa itu tidak mungkin. Bukankah selama ini dia tidak pernah meninggalkanku? Semuanya pasti baik baik saja.
Dan firasat itu menjadi nyata keesokan harinya. Ketika disekolah saat melihatku dia hanya berlalu begitu saja, tanpa tersenyum dan menyapa seperti biasanya. Ekspresi wajahnya terlihat dingin dan kecewa. Untuk pertama kalinya aku melihatnya seperti ini...
"Apa kamu masih mencintainya? Mantan pacarmu?" tanyanya dengan sinar mata penuh luka. Membuat dadaku bergemuruh dipenuhi rasa bersalah. Ternyata selama ini dia tahu semuanya.
Aku terhenyak. Dan bibirku terasa kelu untuk menjawab. Sehingga aku hanya terdiam.
"Ya sudah. Kalau begitu pergilah dengannya..."
Aku menatapnya kaget. Bagaimana bisa dia mengatakan itu dengan begitu tenangnya?
"Aku lelah. Lagipula kapal cinta memang hanya untuk dua orang. Kalau memuat beban berlebih, akan tenggelam. Dan aku memang nggak berhak ada di sana...."
Tubuhku serasa lemas dan seketika hatiku hancur mendengarnya. Hancur karena aku baru menyadari bahwa aku sudah menyakitinya begitu dalam.
"Kau boleh balas dendam padaku...."ucapku bersungguh-sungguh. Aku benar-benar berharap bahwa dia sebaiknya balas dendam saja padaku. Lakukan apa saja yang dia mau padaku...
"Tidak akan. Karena itu juga menyakiti hatiku...."
Perasaanku benar-benar seperti jatuh ke dasar. Kenapa aku sebegitu bodohnya menyakiti orang sebaik ini? Padahal apa hebatnya mantanku dibanding dirinya? Kenangan masa lalu saat dia selalu berada di sampingku kembali berputar-putar dalam kepalaku. Menyakitkan.
"Devan, aku ingin meminta tolong satu hal. Kali ini tolong kabulkanlah..."
"Apa yang kamu inginkan...? Aku janji akan mengabulkannya!"
"Menjauhlah dariku mulai sekarang. Karena rasanya benar-benar menyesakkan bagiku melihatmu. Maaf....."
Aku terperanjat. Aku tidak menyangka bahwa dia benar-benar menginginkanku pergi darinya.
"Baiklah, aku pergi dulu sekarang...."

Saat itu, aku berniat menemui mantan pacarku untuk mengakhiri semuanya. Setelah itu aku akan berusaha keras untuk memperbaiki kembali hubunganku dengan pacarku. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak akan pernah menyakiti hatinya lagi. Aku akan benar-benar membahagiakannya mulai sekarang.
Namun saat menemui mantanku, yang kulihat adalah tangisannya yang benar-benar terasa nyata. Berbeda dari biasanya. Dia menangis sejadi-jadinya tanpa mau menceritakan sebabnya padaku. Dan kuputuskan untuk menunda berbicara padanya. Dua orang gadis sudah kelihatan begitu terluka di hadapanku hari ini, aku tidak mungkin semakin memperburuknya lagi.
Besok dan besoknya sikap pacarku itu masih tetap mendingin. Aku ingin sekali mendekatinya tapi lalu takut saat melihat tatapan tajamnya yang seolah mengatakan 'jangan mendekat'. Dan karena aku tidak mau lebih menyakitinya lagi maka aku menuruti keinginannya. Selama sisa-sisa masa SMA kami aku hanya mencintainya seperti bayangan. Padahal dia begitu dekat tapi terasa begitu jauh. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan dan berjalan di belakangnya. Saat itu aku setengah mati merindukan masa-masa kami berjalan berdampingan dan tertawa bersama.
Hubungan ku dengan mantanku itu pun sudah berakhir. Terakhir kali kami berbicara akhirnya aku tahu betapa brengseknya dia. Mantan yang brengsek memang sebaiknya dibuang saja ke tong sampah.
"Saat kau berusaha merebutku lagi darinya, apa itu karena cinta, atau sekedar obsesi...?"
Dia menatapku tegas dan menjawab pasti, "opsi yang kedua!"

"Kau brengsek. Padahal dulu aku benar-benar cinta sama kamu!"
"Kau yakin itu memang cinta? Kalau memang cinta, kenapa saat itu kau terlalu cepat ngelupain aku dan langsung pacaran sama yang lain?? Kau tahu, waktu itu aku muak sama ocehan orang-orang yang bilang kalau pacarmu lebih segalanya dari aku dan dia memang lebih cocok denganmu! Aku muak! Karena itu aku mau membuktikan semua itu salah...!!"
"Haha.....benar benar.... kenapa dalam hidupku aku harus bertemu dengan orang sepertimu..??"
Gadis itu hanya membuang muka. "Lagipula yang pernah kita alami itu bukan cinta yang sesungguhnya. Jadi kau sebaiknya nggak perlu membesar-besarkan masalah ini."
"Oh ya?? Lantas apa kau tahu kayak apa cinta yang sesungguhnya itu??"
"Tentu saja!! Bersama cowok itu! Yang lebih dewasa! Dan kau merusak segalanya! Seandainya saja waktu itu kau nggak usah datang....."
"Dan seandainya aja kau nggak memintaku datang!! Seandainya saja kau nggak pernah ngajak rujuk!! Aku pasti nggak akan pernah sesakit ini!! Hubungan kami pasti nggak akan sehancur ini!! Kau ingatlah, disini bukan cuma kau yang punya cinta...!!"
Dia terperanjat dan tidak bisa berkata kata.
"Aku harap kita nggak akan pernah ketemu lagi. Atau bertemu siapapun yang sebrengsek dirimu! Pesan terakhirku, jangan lagi terbiasa menyakiti hati orang lain....!"
Dan setelah itu kami memang tidak pernah bertemu lagi....
Begitu pula dengan gadis yang kucintai....
Setelah mendapat surat kelulusan, dia tidak pernah terlihat lagi. Dia bahkan tidak ikut perpisahan terakhir disekolah. Dia dan keluarganya sudah pindah entah kemana. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Membuatku putus asa.
Di tahun-tahun berikutnya pun aku masih belum bisa menemukannya. Namun aku masih menunggu. Dan aku selalu menunggu di Taman Flora terutama di tanggal saat dulu dia memintaku datang yang ternyata hari itu adalah hari ulang tahunnya. Aku benar-benar menyesal. Dan sangat menyesal karena terlambat mengetahuinya. Aku selalu menunggu dengan sebuah kado di tanganku, dengan harapan siapa tahu dia akan datang ke sana lagi, meski kenyataannya hingga hari ini pun dia tidak pernah datang.
Dia memang tidak membalas dendam padaku. Tapi semua penyesalan selama sepuluh tahun ini, seakan akan inilah balasan dendam dari Tuhan untukku. Karena itulah aku bertekad untuk tidak lagi menyakiti hati wanita lain. Aku juga merubah diriku agar menjadi pria yang lebih menarik. Aku hampir selalu menerima cinta dari wanita yang terlihat tulus dan mengingatkanku pada wanita yang kucintai itu meski berganti-ganti berulangkali. Aku berusaha memperlakukan mereka sebaik mungkin agar mereka tidak lagi merasa tersakiti seperti wanita itu. Seperti sedang menebus kesalahan. Meski akhirnya mereka juga yang memutuskan hubungan. Karena ternyata, meski aku sudah berusaha sebaik mungkin, mereka menyadari bahwa hatiku tetap tidak bisa dimiliki, dan mereka terlalu lelah menungguku membalas perasaan mereka. Mereka juga tidak mampu mengatasi rasa kesepianku. Hingga akhirnya aku lelah, dan bertekad tidak akan lagi mencari-cari sosoknya dalam diri wanita lain. Aku ingin berhenti. Dan fokus mencintainya saja.
Maaf. Terima kasih. Aku mencintaimu. Dan selalu merindukanmu....sayangku...
Dari sekian banyak kata yang ingin kuucapkan padamu, kata-kata inilah yang paling ingin kusampaikan. Kata-kata yang seharusnya kuucapkan sepuluh tahun yang lalu...
Hai sayangku...
Dimana pun kamu berada....
Bisakah kamu mendengarku? Aku menunggumu. Selalu menunggumu.
Yang paling mencintaimu
Devan Safaraz
Dylara segera mengambil sehelai tisu untuk menghapus air matanya yang menetes setelah membaca postingan Devan yang dikirim oleh Vivian. Rasanya dia sulit percaya. Benarkah Devan sebegitu mencintainya? Dan selalu mencari-cari dirinya? Selalu menunggunya?
Ponselnyanya berdering. Dari Vivian.
"Halo Dylara. Gimana? Sudah kamu baca?"
"Sudah"
"Mirip kan? Perlukah kita menuntutnya sekarang?"
"Nggak perlu Kak."
"Hah?? Kenapa?"
'Karena itu memang bukan plagiat' batinnya.
"Biar aku yang selesaikan masalah ini sendiri."
"Gimana caranya?"
Dylara terdiam. Dia menoleh pada sebuah kalender, tepat di sebuah tanggal yang sudah dilingkari. Gala dinner di The Rinra Hotel. Besok.
Dylara akan mulai go public besok. Dan firasatnya mengatakan sesuatu yang besar akan terjadi.
"Entahlah Kak, feeling aja..."
****

Comentário do Livro (179)

  • avatar
    SelvianiEva

    cerita nya bener² seru,aku terharu dengan kisah mereka masing². Terima kasih kepada author yang sudah membuat cerita ini dengan sangat keren😍🫶🏻

    17/02

      0
  • avatar
    lyaaqt

    very good for me 🥺

    13/02

      0
  • avatar
    Rahmah Anawati

    🥰🥰🥰🥰🥰

    09/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes