logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Johara 1 (Tristan dan Aku di Masa Lalu (2))

"Sampe gang aja, ya. Jangan sampe depan rumah. Aku gak mau dikira pacarmu kalau ada keluargamu yang lihat," ucap Tristan tiba-tiba.
Dih! Iyee-iyee! Kalau sampe ada yang ngira kita pacaran juga pasti bakal langsung kujawab enggak! "Iya ... nanti aku kasih tau kalo udah mau sampai." Di luar aku tak menunjukkan kekesalan hatiku yang sebenarnya. "Biasanya kamu dijemput papamu kan?" tanyaku.
"Bukan. Itu sopir," jawab Tristan.
"Ooh. Trus sekarang kenapa naik motor?" tanyaku lagi yang jadi penasaran.
"Bosen aja naik mobil."
"Ooh." Aku cuma menganggut lagi. Memang jawaban yang masuk akal untuk seorang Tristan, batinku.
Hal itu terus berlanjut. Hingga seminggu berlalu, aku masih pulang diantar Tristan dengan motornya seusai mengerjakan ilustrasi untuk buletin. Namun, hari itu, Tristan membawa motornya melenceng dari jalan yang biasanya kami gunakan.
"Lho? Kok, lewat sini, sih, Tris?" tanyaku pada Tristan ketika ia tak menggunakan jalur yang biasanya kami lewati untuk menuju ke rumahku. Apa dia tahu jalan lain? "Kamu tahu jalan lain, ya?"
"Nggak, aku cuma lagi laper. Jadi sebelum pulang, kita makan dulu," jawab Tristan yang menurutku itu adalah jawaban yang seenak jidatnya.
"Ha? Makan di mana??" Aku mulai kaget dan juga ... sekaligus khawatir.
"Hokben," jawab Tristan lagi yang menurutku semakin seenaknya sendiri. Ia sama sekali tidak meminta persetujuanku atau meminta pendapatku setidaknya?
"Ehh?? Tapi aku gak laper, kok. Aku mau pulang aja," tolakku.
"Udah terlanjur," ucapnya tanpa kelihatan berat atau merasa bersalah sama sekali.
"Dih? Kamu kok maksa, sih?!" Huft. Kali ini aku tak bisa menutupi kekesalanku lagi karena aku memang sedang berhemat. Namun, motor Tristan memang sudah melenceng jauh dari jalan menuju ke rumahku.
Sesampainya di lokasi, aku semakin kaget dan kesal ketika melihat menu dan harga sebuah jus jeruk saja sama dengan full uang sakuku selama sehari. Sungguh tak masuk akal! Tristan nyebeliin! Ini, sih, bisa buat beli bakso dua kali di kantin!
"Kamu pesen apa?" Tristan menoleh ke arahku dan bertanya.
"Orange juice," jawabku. Jus Jeruk adalah satu-satunya menu termurah yang aku tahu rasanya 99% tidak akan mengecawakan untuk lidahku.
"Makannya?"
"Udah kubilang kan? Aku gak laper," jawabku ketus yang setengah menunjukkan kekesalanku padanya.
Tristan mengangkat satu alisnya dengan raut wajah sok heran. "Oya?? Padahal tadi aku denger suara perutmu kenceng banget waktu kita lagi gambar?"
Duh! Emang minta ditimpuk ini orang! "Haha?? Itu bukan karena laper kok, perutku memang lagi agak bermasalah." Aku tertawa menahan hati yang gemas.
Tristan tak memedulikanku dan langsung memesan. "Bento spesial 4 dua, takoyaki satu, sukiyaki satu, shumai furai satu, soft puding taro dua, orange juice satu sama cold ocha satu."
What?! Ini sih kayaknya isi dompetku bakal keluar semua?? Tristan kemudian membuka dompetnya dan langsung membayar dengan kartu. Hatiku sedikit lega, setidaknya, aku tidak harus sampai malu ketika tidak membawa cukup uang untuk membayarnya dan bisa membayar nanti pada Tristan.
Aku mengikuti Tristan ke mana ia ingin duduk. Kami tak mengobrolkan apapun selama menunggu makanan datang. Aku merasa canggung dan mulai diserang sedikit rasa grogi karena biasanya kami hanya berinteraksi jika ada keperluan dan menurutku kami saat ini sedang berinteraksi di luar keperluan. 
Akan tetapi, Tristan malah justru terlihat nyaman-nyaman saja, aneh. Mengingat aku adalah tipe orang yang supel dan Tristan adalah orang yang anti sosial, seharusnya kondisi kami berkebalikan sekarang.
Akhirnya pramusaji menghidangkan makanan pesanan Tristan tadi.
"Aku udah pesen double, jadi, dimakan." Tristan terdengar seperti sedang mempersilakanku dengan sopan.
"Itu tadi berapa habisnya?" tanyaku.
"Udah, tinggal dimakan aja."
"Aku juga mau ikutan bayar, kan aku ikutan makan?" ujarku.
Tristan tak memedulikanku dan mulai memakan paket bentonya. Dengan segala keanehan sikapnya, entah kenapa Tristan terlihat tenang dan baik-baik saja dengan itu. Justru aku yang kini merasa menjadi 'orang kaku' di hadapannya.
Kukeluarkan uang lima puluh ribu, sebenarnya ... hanya itu yang ada di dompetku. Kusodorkan selembar uang kertas itu padanya. "Aku tahu ini belum setengahnya ... tapi aku juga mau ikut bayar," tegasku yang ingin mengakhiri 'rasa kaku'ku.
Tristan mendorong tanganku. "Gak perlu. Aku traktir. Anggep aja ini ucapan terima kasihku karena kamu mau nemenin aku makan."
Aku tertawa sedikit, menarik tanganku. "Ya udah kalo kamu bilang gitu ...." Tak kusangka seorang Tristan akan membahas soal 'terima kasih' padahal aku tak benar-benar melakukan kebaikan untuknya.
Aku pun ikut menyuap makanan di depanku. Kami makan bersama dalam diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami ketika makan.
"Habis juga kan walaupun gak laper?" Ia menertawaiku setelah makanan kami habis. Untung saja, ia mengatakannya setelah makananku habis. Kalau sejak tadi ia mengatakannya, aku pasti tak akan mau makan sesuap makanan pun.
"Masa udah dibeli trus gak dihabisin?!" protesku kesal yang langsung bernada tinggi. Padahal, aku dikenal sebagai orang yang tidak bisa marah, tapi Tristan benar-benar memancing emosiku.
Tristan kembali tertawa menanggapi kemarahanku. 
Ugh! Kurasa aku benci melihat mata sipitnya ketika tertawa. Ia jadi terlihat manis dan aku tak mau mengakuinya. Aku bahkan jadi tak berminat untuk mengucapkan terima kasih. Ya, sebaiknya memang tak usah mengucapkan terima kasih. Lagi pula, ia mengajakku kemari secara paksa dan aku tak pernah memintanya untuk mentraktirku.
Kami kemudian pulang dan seperti biasa, Tristan mengantarku hingga gang sebelum memasuki kompleks rumahku.
"Makasi, ya, buat traktirannya tadi," ucapku sebelum ia memutar handle gas motornya untuk pergi. Ternyata, aku tetap tak bisa untuk tidak mengucapkan terima kasih. Aku mungkin memang tidak bisa marah. Untuk orang menjengkelkan seperti Tristan saja aku sudah langsung bisa melupakan rasa sebalku padanya tadi.
"Nggak. Aku yang makasih," ungkapnya tanpa memandang mataku meski ia menoleh ke arahku. "Udah, aku pulang." Ia pun pergi.
"Hati-hatii!" ucapku sedikit teriak sambil melambai padanya. Kurasa ... Tristan orang yang cukup baik. Tidak sesombong seperti yang selama ini kulihat darinya.
°°•°°

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    S.Fahrudin

    Ceritanya tentang seni dan perjuangan dari titik terendah sampai berhasil meski jatuh bangun

    23/07/2022

      0
  • avatar
    SeutuhnyaManusia

    Tentang seni dan lukisan. bagus

    13/07/2022

      0
  • avatar
    Yourbeutyeyes

    Suka banget ini penuh lika liku perjuangan

    13/07/2022

      2
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes