logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Johara 1 (Berkenalan dengan Tristan (2))

Ia memalingkan wajah ke arah mejanya, tepatnya pada buku bacaan di tangannya yang sedari tadi tengah ia baca dengan ekspresi 'cih!' menunjukkan bahwa ia tak tertarik. "Aku gak bisa makan makanan kayak gitu."
Mataku mengerjap beberapa kali karena kebingungan dengan maksud kalimat penolakannya. "Oh ... kamu gak suka, ya?" tanyaku setelah mencerna situasi.
"Bukan gak suka, tapi kalau liat dapur tempat masaknya, aku pasti jadi gak nafsu makan," jawab Tristan dengan tanpa memandang ke arahku sama sekali.
Aku jadi salah tingkah mendengar jawabannya. Benar-benar tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti yang barusan ia katakan itu. "Eh? Hehe ...? Jadi gitu, ya? Trus masa seharian kamu gak makan apa-apa?"
"Aku bawa bekal. Buat ntar siang," jawabnya masih dengan wajah datar tanpa mengalihkan pandangannya dari buku bacaanya.
Aku lega. "Ooh, gitu ... ya udah, ntar siang ... makan bekalmu bareng kita-kita, ya di kantin?" tawarku dengan kembali tersenyum.
Kali ini Tristan mau mengalihkan pandangannya dari buku bacaannya dan menatapku. Namun, ekspresi wajah dan kalimat jawabannya setelahnya hanya semakin menunjukkan ketidakacuhannya padaku. "Nggak. Gak usah. Aku gak mau bikin kalian ngiler liat bekalku. Padahal, menurutku, kalian gak bakal bisa makan makanan kayak gitu."
Aku tambah salah tingkah lagi mendengar jawabannya. Emang kotak bekalnya isi apa??? Emas dan perak???
"Ooh, gitu, ya ...." Aku jadi menganggut dengan cengengesan dan menampakkan wajah 'sayang sekali'. "Ya udah deh kalo kamu gak mau. Kalo gitu ... aku mau ke kantin dulu, ya," pamitku.
Ia cuma diam saja dan tak menjawab apa-apa, kembali menyorotkan pandangannya pada buku yang ia pegang. Aku pun berbalik badan dan melangkahkan kakiku menuju keluar kelas. Namun, sebelum kakiku sampai hingga luar kelas, aku berbalik untuk mengucapkan sesuatu lagi pada Tristan, karena mungkin saja ... aku berharap ... ia sebenarnya tidak ingin bersikap seperti itu pada teman-teman, termasuk aku. Bagaimana pun ia menyukai kesendirian ... menurutku, pasti tetap akan ada masanya ia merasa kesepian dengan kondisi itu.
"Oya, Tris ... kalau suatu saat nanti ... tiba-tiba kamu jadi pengen makan bareng kita, gak apa-apa kok. Aku janji, kita gak bakal ngiler liat isi kotak bekalmu," ucapku dengan senyum. "Jadi, gak usah ngerasa terbebani sama apapun dan dateng aja, oke?"
Tristan hanya memandangku dan tak merespon apa-apa. Ia lalu mengembalikan pandangannya pada buku dengan menghela napas malas. Aku pun melanjutkan langkahku untuk pergi menuju kantin. Bagiku, tugasku sudah selesai. Aku sudah tak merasa gemas dan terganggu lagi melihat kondisi Tristan yang selalu sendirian.
Siangnya, Randy langsung menodongku atas kebenaran ucapannya kemarin ketika kami bertemu di kantin. "Gimana, Jo? Kamu udah nyoba belum buat deketin dia? Sengak banget kan orangnya? Haha." Ia tertawa seraya ikut duduk di sisa bangku panjang yang kududuki, di sampingku.
Aku cuma menyeruput minumanku. Menunjukkan kekalahanku hanya lewat ekspresi muka karena malas mengakuinya.
"Haha, makanya ... dibilangin juga apa ..." Randy tersenyum penuh kemenangan untuk menggodaku. "Kamu, sih ... asal suudzon aja sama aku."
"Iyaa ... maap ...," jawabku dengan sedikit merasa sebal.
Yah, aku mungkin memang salah soal ucapanku kemarin. Setelah kejadian itu aku sudah tak pernah lagi menegur Tristan atau merasa kasihan padanya karena sendirian. Benar seperti yang Natasha katakan, ia mungkin memang lebih nyaman dengan selalu menyendiri.
Akan tetapi, karena setiap siang aku melihatnya sedang mewarnai sebuah gambar dengan kuas dan cat air, aku merasa tak tahan untuk hanya diam saja. Aku senang sekali karena akhirnya menemukan seseorang yang mungkin punya kesamaan minat denganku dan kembali tergoda untuk mengajaknya mengobrol.
Meski ternyata, itu tetap berakhir dengan kejadian yang sama. Tristan masih saja bersikap sombong dan tak mau membuka diri. Semoga, aku sudah tak akan tergoda lagi untuk mengajaknya bicara.
°°•°°
Aku terus-terusan mengucek mataku agar tidak mengantuk. Suara Pak Mahmud siang itu benar-benar terdengar seperti lagu lullaby pengantar tidur. Kutepuk-tepuk pipiku agar pikiranku lebih segar. Namun, setelahnya, masih saja aku terkantuk-kantuk dan tertidur walau hanya untuk sedetik-dua detik dan kemudian kaget karena kepalaku sedikit oleng.
Tiba-tiba pintu kelas kami diketuk. "Maaf, Pak, boleh saya pinjam Tristan dan Johara?" ujar Pak Ardhi membuyarkan suasana belajar dan mengajar kami untuk sementara. Pinjam? Emang dikira aku barang apa?
"Oh, iya, Pak, silakan," jawab Pak Mahmud. Ia pun mencari-cari kami yang tadi namanya disebut oleh Pak Ardhi. "Tristan, Johara, kalian ikut Pak Ardhi," perintahnya.
Aku dan Tristan sama-sama bangkit dari kursi untuk pergi menuju keluar kelas dan menemui Pak Ardhi.
Tanpa menjelaskan apa-apa, Pak Ardhi langsung memberikan perintah. "Kalian ikut saya," perintah Pak Ardhi yang kemudian berbalik badan dan berjalan. Kami cuma mengikutinya.
"Heh, kenapa kita dipanggil?" Tristan bertanya dengan suara berbisik. Aku cuma mengangkat bahu karena memang benar-benar tidak tahu.
Pak Ardhi membawa kami ke ruang jurnalistik, tempat anak-anak buletin sekolah bekerja. "Saya dengar dari Bu Reni kalau gambar kalian sangat bagus. Buletin sekolah kita sampai saat ini belum punya ilustrator. Apa kalian mau? Jadi ilustrator buat majalah sekolah? Majalah kita sudah semakin membosankan sekarang, butuh sesuatu yang fresh. Saya rasa, gambar kalian bisa jadi penambah minat baca anak-anak. Tentu saja gak cuma-cuma, kalian akan dapat fee untuk hasil kerja kalian," jelas Pak Ardhi panjang. "Gimana?"
Aku berbinar-binar mendengarnya, "Boleh, Pak!" ucapku bersemangat. Selain bisa menambah uang jajan, aku memang sangat suka menggambar. Tristan melirikku. Ia masih belum memberikan jawaban.
"Kalau kamu gimana, Tristan?" Pak Ardhi sampai mengulangi pertanyaannya.
"Bilang aja iya," ucapku pada Tristan hanya dengan gerakan mulut tanpa mengeluarkan suara.
"Iya, Pak," jawab Tristan pada Pak Ardhi.
"Baguss." Pak Ardhi tampak lega. "Kalian duduk dulu, biar saya ambilkan file-file-nya," arahnya pada kami.
Aku dan Tristan duduk pada tempat yang diinstruksikan. Pak Ardhi mengotak-atik komputer di ruangan itu dan mencetak berlembar-lembar kertas. Ia lalu mencermati kertas-kertas tersebut dan beberapa ada yang disatukan dengan stapler.
"Ini. Kalian bagi dua, ya. Nanti kalau sudah selesai bilang bapak, bapak kasih artikel yang lain lagi." Pak Ardhi menyerahkan kumpulan kertas berisi artikel tadi pada kami. Ia juga memberi kami setumpuk kertas kosong dan satu kotak berisi alat gambar berupa beberapa jenis pensil dengan tingkat ketebalan warna hitam yang berbeda, penyerut pensil, dan penghapus. "Sementara ini gambarnya hitam putih dulu."
"Lho? Kita ngerjain ini sekarang, Pak?" tanya Tristan dengan raut kaget.
"Iya," jawab Pak Ardhi dengan antusias.
"Tapi sekarang kita kan masih ada pelajaran?" tanya Tristan lagi.
"Tiga hari dalam seminggu, anak buletin punya dispensasi satu jam mata pelajaran untuk kerja. Jadi, nggak papa sekarang kalian nggak masuk kelas," jelas Pak Ardhi.
"Yang bener, Pak??" Aku langsung menegakkan dudukku saking senangnya. Rasanya bagaikan melihat oase segar di tengah padang pasir gurun yang panas.
"Beneran, dong," jawab Pak Ardhi dengan tertawa sumringah melihat reaksi senangku.
"Tapi kita bisa ketinggalan pelajaran, dong, Pak, kalau kayak gitu?" ujar Tristan dengan raut memprotes.
"Mm ...." Pak Ardhi terlihat sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaan Tristan. Dalam hatinya, mungkin ia sedang berkata demikian: ya, itu ... itu kan urusan kalian? Belajar yang bener, dong, jangan sampe ketinggalan ...? Meski ia tak akan sampai hati untuk mengucapkan itu di luar hatinya.
"Gimana kalau nanti waktu pulang sekolah aja, Pak, kita ngerjainnya?" tawar Tristan.
Aku menoleh kaget dengan wajah 'tidak terima' ke arah Tristan. Setidaknya, ia kan tak perlu membawa-bawa aku juga dalam penolakannya mendapat dispensasi tidak masuk kelas saat jam pelajaran??
"Oh?? Boleh-boleh-boleh!" jawab Pak Ardhi bersemangat.
Aku baru akan mengajukan protes atas usulan Tristan. Namun, Pak Ardhi sudah menarik kembali kertas-kertas yang tadi diserahkannya. Ia tampak sangat bangga sekali melihat anak rajin seperti Tristan.
°°•°°
Sepanjang perjalanan pulang kami ke kelas, aku menekuk wajahku kecewa. "Gara-gara kamu ... aku jadi gak bisa bolos kelasnya Pak Mahmud. Huh! Padahal aku udah seneng banget tadi dengernya." Aku mengomel.
"Emangnya kamu mau kita jadi ketinggalan pelajaran?" tanya Tristan yang terlihat menghela napas dalam batinnya.
"Bukannya kamu udah pinter, ya, di kelas? Perasaan nilaimu bagus-bagus, deh," tuturku dengan raut penuh selidik yang memprotes.
"Lha, ya, justru itu, aku yang nilainya bagus-bagus aja gak mau ketinggalan pelajaran, kok? Masa kamu yang nilai-nilainya anjlok gak takut tambah anjlok?" tanyanya.
Aku menoleh kesal tak habis pikir dengan ucapan orang di sampingku. Memandanginya yang kemudian justru berwajah santai tanpa rasa bersalah, dengan perasaan sebal di hatiku yang semakin memanas. Memang aku tak bisa menyangkal ucapannya, tapi setidaknya, apa ia tak memikirkan perasaanku ketika mengatakannya??
°°•°°

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    S.Fahrudin

    Ceritanya tentang seni dan perjuangan dari titik terendah sampai berhasil meski jatuh bangun

    23/07/2022

      0
  • avatar
    SeutuhnyaManusia

    Tentang seni dan lukisan. bagus

    13/07/2022

      0
  • avatar
    Yourbeutyeyes

    Suka banget ini penuh lika liku perjuangan

    13/07/2022

      2
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes