logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Johara 1 (Berkenalan dengan Tristan)

.
.
.
.
- Sembilan tahun yang lalu -
.
.
.
.
Aku mengenal Tristan saat kami masih SMA. Dulu, setelah masa orientasi siswa, aku dan Tristan mendapat pembagian kelas yang sama. Pertemuan pertama kali adalah saat kami sama-sama melihat daftar nama yang tertempel di dinding luar kelas 10A. Ia hanya melihat sebentar kemudian berlalu pulang.
"Hah? Ada orang luar negri, ya, di sekolah kita?" tanyaku pada Natasha, sahabat karibku sejak kecil.
"Itu bukannya orang China, ya? Aku juga baru liat, sih," jawab Natasha.
"Orang China kan banyak ... itu Jepang, deh, kayaknya," tambahku.
"Yah, pokoknya yang sipit-sipit itulah."
"Bisa bahasa Indonesia gak, ya?"
"Bisa, sih, harusnya. Kalau gak bisa, ngapain dia sekolah di sini? Harusnya nyari sekolah internasional aja."
"Tapi gak ada yang namanya Jepang-Jepang gitu, kok, di sini." Aku kembali mencermati daftar nama anak kelas 10A yang tertempel di dinding.
"Mungkin dia di kelas lain. Liat aja besok, dia satu kelas apa nggak sama kita," jawab Natasha santai yang tak terlihat ingin begitu peduli.
°°•°°
Benar bahwa anak bermata sipit itu satu kelas dengan kami. Sebenarnya tempat duduk kami masih satu barisan. Hanya saja aku duduk di deretan bangku paling kanan dan ia duduk di deretan bangku paling kiri dari barisan nomer tiga dari depan. Tak ada yang duduk di sebelahnya. Mungkin ... anak-anak gak ada yang berani, takut diajakin ngomong pake bahasa asing, pikirku waktu itu.
"Johara Rosalind," panggil guru wali kelas kami yang sedang mengadakan absensi murid.
"Hadir," jawabku.
Tak berapa lama kemudian anak bermata sipit itu juga mengucapkan 'hadir', ketika guru kami memanggil nama 'Tristan Bhaskara'. Pfft, gak seperti mata sipitnya, ternyata namanya Indonesia banget, malah bisa dibilang sedikit kejawen. Aku tertawa dalam hati.
"Katanya kamu dari Jepang, ya?" tanya Bu Guru pada Tristan.
Ia menggeleng. "Bukan, saya asli Indonesia. Tapi ayah saya orang Jepang," jawab Tristan dengan wajah apa adanya yang tak mengindikasikan kesan ramah.
"Woooo." Anak-anak kelas menyoraki, tapi anak yang disoraki tak menunjukkan reaksi apa-apa. Mungkin ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
Dengan wajah yang mencolok di antara yang lain, seharusnya Tristan sudah punya banyak teman. Namun, hingga sebulan berlalu, ia masih saja sendiri sepanjang hari. Padahal, kelihatannya ia juga sangat pintar dan jago dalam semua mata pelajaran.
°°•°°
"Kalau aku ngajakin Tristan ngobrol, bakal canggung gak, ya? Dia jarang ngomong, sih," tanyaku pada Natasha saat kami tengah makan di kantin. "Kasian deh liatnya, dia sendirian terus gitu."
"Mungkin dia memang nyaman kayak gitu," jawab Natasha enteng.
"Masa, sih?" Aku tak setuju.
"Kata Randy, dia orangnya sombong banget. Jadi gak ada yang mau deketin," jawab Natasha lagi.
"Hah, tau dari mana Si Randy kalau anak itu sombong? Dia aja gak sekelas sama kita?" tanyaku heran.
"Dia temen sekolahnya Tristan dari SD sama SMP. Katanya, anak itu memang gak pernah punya temen," jelas Natasha.
Aku sampai melotot karena saking tak percayanya mendengar penjelasan Natasha. "Jahat banget, sih, Randy bilang gitu?" ujarku kesal. Natasha cuma mengangkat bahu.
"Hei, Ran!" Aku langsung menegur Randy yang kebetulan juga makan satu meja dengan kami, tapi di bagian paling ujung. Selisih tiga orang di samping kiriku. "Kamu temen sekolahnya Tristan, ya, dari SD?" tanyaku yang masih menyembunyikan rasa sebalku padanya. 
"Tristan anak sipit dari kelasmu itu?" Randy memastikan, ia kemudian mengangguk-angguk mengiyakan. Membuatku sudah tak ingin lagi menyembunyikan rasa sebalku padanya yang selama ini tak pernah terlihat berbicara pada Tristan. 
"Kebangetan, sih, kamu?? Orangnya tiap hari sendirian kayak gitu, lho? Kenapa gak kamu ajakin main bareng ke sini?" todongku pada Randy.
"Hah? Ogah, ah, orangnya sombong banget tau. Sombongnya gak ketulungan," jawab Randy dengan raut tak suka.
"Ooh, apa jangan-jangan dia gak punya temen gara-gara kamu nyebarin gosip kayak gitu, ya, soal dia?" Aku mengambil kesimpulan secara sepihak.
"Enak aja, nggak, ya! Dia itu anak orkay, orang menengah kayak kita mah cuma dianggep remah-remah roti sama dia," tampik Randy.
"Dih, coba contohin ...? Kayak gimana sombongnya ...?" tagihku.
"Kalo aku ngasih contoh, justru aku malah jadi nyebarin gosip aib dia, dong? Kayak omonganmu tadi," tolak Rendy.
"Ya kan harus ada bukti fakta kalau kamu bilang dia sombong?"
"Buktinya ya itu, dia gak punya temen. Kalau dia gak sombong, dengan kekayaan sama mukanya yang kayak gitu, dia pasti udah punya banyak temen sekarang." Randy kemudian berwajah 'hayo' menggodaku. "Ooh ... kamu naksir sama dia ya, Jo?" Randy ikut mengambil kesimpulan secara sepihak.
"Gak gitu ...." Aku merendahkan nada suaraku. "Kasian tau liat dia sendirian terus kayak gitu."
"Ya udah sana, coba deketin aja kalau gak percaya." Randy tersenyum menantang yang setengah menggodaku dan masih ingin mempercayai bahwa aku sedang 'naksir' dengan Tristan.
°°•°°
Keesokannya, aku pun mencoba untuk mendekati Tristan. Benar seperti yang Randy katakan, ia memang terkesan sombong.
Saat jam istirahat pagi aku mendekatinya yang masih duduk di bangkunya. Ia memang selalu seperti itu setiap hari. "Hei ... namaku Johara," sapaku dengan senyum. 
Ia cuma mengangkat kepalanya untuk melihatku ketika mendengar teguranku. 
"Makan di kantin, yuk?" ajakku.
Untuk sesaat, ia memandangku dengan raut datar yang seperti mempertanyakan kenapa aku merasa perlu untuk mendatanginya. "Nggak ada yang bisa dimakan di kantin," jawabnya dengan masih berwajah datar.
"Ada, kook!" jawabku bersemangat. "Ada bakso, soto, sama mie ayam kalau kamu mau makanan berat," tambahku dengan ekspresi menggebu. Kupikir, Tristan pasti belum pernah mengunjungi kantin dan ia tak tahu menu apa saja yang tersajikan di sana. Aku belum memahami maksud dari perkataannya padaku tadi dan mengiranya sudah pasti begitu.
Ia memalingkan wajah ke arah mejanya, tepatnya pada buku bacaan di tangannya yang sedari tadi tengah ia baca dengan ekspresi 'cih!', menunjukkan bahwa ia tak tertarik. "Aku gak bisa makan makanan kayak gitu."
-------

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    S.Fahrudin

    Ceritanya tentang seni dan perjuangan dari titik terendah sampai berhasil meski jatuh bangun

    23/07/2022

      0
  • avatar
    SeutuhnyaManusia

    Tentang seni dan lukisan. bagus

    13/07/2022

      0
  • avatar
    Yourbeutyeyes

    Suka banget ini penuh lika liku perjuangan

    13/07/2022

      2
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes