logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Tristan 1 (Johara dan Aku di Masa Lalu)

Aku tercekat mendengar cerita Natasha. Tak bisa berkomentar apa-apa.
"Duh, maaf, ya, kenapa aku malah jadi cerita begini ke kamu." Natasha menunjukkan wajah penyesalan.
"Gak papa, kok. Aku turut berduka soal suaminya Johara." Aku berbasa-basi.
Natasha mengangguk-angguk. "Menurutku kamu memang perlu tahu soal ini. Jadi ... tolong jangan benci sama dia, ya? Karena apa yang dia alami di hidupnya juga bukan sesuatu yang dia inginkan." Ia tampak tak enak hati, tapi juga sekaligus tampak merasa tetap harus mengatakannya.
Aku hanya memanggut, meski pikiranku jadi bergelayut.
Johara ... dia adalah orang yang sangat berarti bagiku. Jika ia tidak mengajakku untuk terjun lebih jauh dalam dunia seni ... mungkin aku tak akan menemukan jati diriku di dunia seni.
Aku dulu hanyalah anak yang anti sosial dan sombong. Aku tak pernah punya teman sejak kecil. Selain karena sifatku yang selalu mengangggap rendah orang lain, aku juga selalu sibuk dengan berbagai macam les dan tak punya waktu untuk bermain.
Sebenarnya aku tak pernah berniat merendahkan orang lain. Namun, karena aku dibesarkan dalam kemewahan dan lingkungan elite di luar sekolah, aku merasa ada jurang pemisah yang cukup menggangguku ketika bergaul dengan teman-teman di sekolah yang keseluruhannya berasal dari keluarga menengah.
Awalnya aku banyak didekati karena dianggap 'paling menarik' lantaran gaya hidupku yang berbeda sekaligus karena aku juga keturunan Jepang, hal yang mungkin mereka anggap jarang. Namun, aku mungkin memang telah banyak melakukan sesuatu yang membuat teman-temanku berpikir bahwa aku sudah bersikap sombong. Seperti menganggap sepele barang-barang mahal yang kuberikan untuk teman-teman, atau menganggap kecil hal-hal yang menurut mereka luar biasa.
Mulanya aku melakukan itu karena tidak sengaja. Hanya karena kepolosanku yang benar-benar tidak memahami kalau apa yang spesial bagi mereka itu sama sekali tidak spesial bagiku. Akan tetapi, lama-kelamaan aku benar-benar melakukan itu dengan sengaja karena mereka mulai menghindariku dan meremehkanku untuk ungkapan rasa iri hati mereka. Kalau ada yang mendekatiku, mereka hanya akan memanfaatkanku dan aku tak mau mendapatkan teman seperti itu.
Aku selalu mengeluhkan hal itu pada ayahku dan ia pun semakin memprovokasiku dengan mengatakan 'tak usah pedulikan orang rendahan. Mereka melakukan hal itu karena mereka adalah orang rendahan'. Sejak awal, ayahku menginginkanku untuk melakukan home scholling dengan memanggil guru privat sebagaimana anak-anak dari rekan-rekannya bersekolah. Namun, ibuku tak menyetujui hal itu. Ibukulah yang bersikeras untuk menyekolahkanku di sekolah biasa.
Dulu aku tak suka pada ibuku dan lebih memihak pada ayahku karena ia memberikanku kebebasan dan membenarkan apa pun yang kulakukan. Sedangkan ibuku, ia kutub yang sangat berseberangan dengan ayahku. Ia banyak mengatur-ngaturku dan selalu menjadi oposisi dari pendapat-pendapatku.
Setelah dewasa, aku baru bisa melihat sisi positif dari pertentangan mereka itu. Syukurlah aku bisa menyeimbangkan diri dengan dua macam pendidikan yang kudapatkan.
Itulah kenapa aku sudah terbiasa bersikap sombong dan hidup sendirian sejak kecil, dan aku pun terus melanjutkan sekolahku di sekolah biasa. Hingga saat SMA, aku menemukan seseorang yang tak bereaksi apa pun dengan sikap sombongku. Namun, ia juga tidak terpukau dengan gaya hidup mewahku.
Aku sudah mulai menggambar sejak kecil, tapi itu memang karena aku mengikuti les menggambar. Aku baru benar-benar mulai menyukai seni sejak seseorang itu mendekatiku. Tak pernah ada yang mengajakku bicara, jadi mungkin ia merasa itu adalah tugasnya untuk mengajakku bicara.
"Gambarmu bagus. Kamu suka gambar?" tanya Johara yang memulai pembicaraan dengan antusias.
Aku memang selalu menghabiskan waktu luangku di sekolah untuk menggambar. Agar aku tak terlihat 'kasihan' di mata 'orang-orang rendahan' itu walaupun selalu sendirian.
"Nggak, tuh. Ini cuma tugas dari guru lesku. Buatmu ini udah bagus ya? Padahal ini pasti bakal diomelin sama guruku karena dianggap jelek." Aku sedang berniat sombong dengan menyebut gambarku jelek dan membuatnya merasa akan lebih rendah dari itu.
"Oya?" Ia tampak kecewa. 
Nah, wajah itulah yang ingin aku lihat. Wajah orang rendahan yang tidak paham dengan gambar bagus yang sesungguhnya, batinku.
"Menurutku gurumu salah. Sesuatu yang berhubungan dengan seni itu gak bisa dinilai dengan kaku dan objektif. Banyak hal yang harus dipertimbangkan buat menilai karya seni.
"Seperti ... pengalaman atau tingkat kesukaan si pembuat karya seni itu sama karya seni yang dibuatnya. 
"Kalau ada anak kecil yang menggambar, kita gak mungkin mengharapkan karyanya bakal selevel lukisan pro dan baru bilang bagus kalau dia bisa ngegambar kayak lukisan pro, kan? Jadi, kalau kamu yang gak suka gambar aja bisa menghasilkan karya sebagus ini, seharusnya nilai gambar ini bagus pake banget," ucap Johara dengan nada dan ekspresi yang memuji.
Aku hanya memasang wajah yang tak menggubrisnya. Padahal, di dalam hati, aku sedang menganggut dalam dan merenungkan kalimatnya dengan baik-baik.
"Liat betapa bagusnya gambarmu ... aku kira kamu itu suka gambar. Kalau aku, aku suka banget ngegambar walaupun aku gak pernah ikut les. Jadi ... karya kita gak boleh dibandingin karena kita gak satu level dalam ketertarikan," pungkas Johara.
Cih, jelas aja kita gak selevel! Gambar kayak gini aja dibilang bagus, ejekku dalam hati.
Melalui kalimatnya, aku menyimpulkan kalau ia sangat suka menggambar, tapi ia tak pernah bisa menggambar sebagus seperti karyaku. Namun, dugaanku meleset jauh. Ternyata, ia sangat luar biasa dalam menggambar. Nilai keseniannya berada jauh di atasku.
"Apa maksudnya ini?? Kenapa waktu itu kamu bilang gambarku bagus?! Kamu pengen bikin aku malu, ya?!" labrakku pada Johara di hari pertama kami mendapatkan nilai gambar dari guru kesenian yang sangat jarang pergi ke sekolah itu.
"Gambar-gambarmu memang bagus, kok. Aku belum pernah liat ada anak yang bisa gambar kayak kamu," jawab Johara dengan tenang yang sama sekali tak terpengaruh dengan nada tinggiku.
"Tapi ternyata gambarmu lebih bagus dari gambarku, kan?! Secara gak langsung kamu lagi pengen muji dirimu sendiri, ya?!" todongku.
"Aku kan udah bilang ... kalau karya kita itu gak boleh dibandingin. Aku ngegambar dalam kondisi itu adalah sesuatu yang paling aku utamakan dari semua mata pelajaran, tapi kamu, kamu pasti ngegambar cuma buat ngelakuin itu sebagai tugas. Apalagi kamu kan gak suka ngegambar? Aku curang kalau bandingin gambarku sama gambarmu," jawab Johara ringan yang langsung membuatku terbungkam.
Itulah kenapa Johara tidak pernah mau menilai karya seni orang lain. Ia menyukai semua karya seni dan tidak mau membatasinya dengan nilai. Ia mungkin mampu dan mau jika diminta untuk memberikan kritik. Namun, untuk memberikan nilai satu sampai sembilan, menurutnya, hanya diri sendiri sang pembuat karyalah yang mampu memberikan nilai itu secara objektif.
Di hari itu, diam-diam aku sudah merasa kagum padanya. Sampai kemudian, kami berdua terpilih menjadi crew ilustrasi dalam buletin sekolah dan mau tak mau kami jadi semakin dekat. Kami pun semakin akrab dan cocok dalam membicarakan soal seni dan itu sudah tak terbatas lagi pada kewajiban sekolah, kami benar-benar sudah akrab di luar itu.
Kami memang tak pernah saling mengungkapkan perasaan suka. Namun, hubungan kami justru sudah di atas itu. Tak perlu lagi bagi kami saling mengungkapkan perasaan untuk memahami bahwa kami sebenarnya saling menyukai.
°°•°°

Comentário do Livro (73)

  • avatar
    S.Fahrudin

    Ceritanya tentang seni dan perjuangan dari titik terendah sampai berhasil meski jatuh bangun

    23/07/2022

      0
  • avatar
    SeutuhnyaManusia

    Tentang seni dan lukisan. bagus

    13/07/2022

      0
  • avatar
    Yourbeutyeyes

    Suka banget ini penuh lika liku perjuangan

    13/07/2022

      2
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes