logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Kau Jual, Aku Beli

Kau Jual, Aku Beli

Emya


1. Marahnya Orang Diam

Braakk!!!
Aku mendobrak pagar yang lalu membantingnya dengan kasar.
Hesti dan ibunya yang sedang duduk santai di teras pun terkejut bukan kepalang.
"Hesti! Sini kamu!" Aku berjalan dengan mata nyalang, napasku tersengal menahan gejolak di dada yang siap meledak.
"Apa-apan, sih? Mabuk kamu, ya?! Dateng-dateng langsung marah," sungut Hesti segera berdiri.
"Kamu yang mabuk! Ngapain kamu fitnah mamaku, hah?!" Aku menatap tajam pada Hesti.
"Fitnah apaan? Jangan ngaco, aku nggak punya waktu buat ngomongin orang kayak kamu," ejeknya sambil bersedekap.
"Trus ngapain kamu fitnah mamaku ada main sama Pak Lurah? Maksudnya apa?!" Gigiku sampai gemeretak saking geramnya.
"Mana ada! Jangan asal ngomong kalau nggak punya bukti," elak Hesti dengan sedikit gelagapan.
"Bukti? Oke. Aku nggak kayak kamu yang asal ngomong. Jono, keluar!" Aku memanggil Jono yang sedari tadi bersembunyi di balik tembok pagar.
Kemunculan Jono tak ayal membuat Hesti semakin gelagapan.
"Benar apa yang kamu bilang tadi? Hesti menyebar fitnah kalau mamaku ada hubungan dengan Pak Lurah," tanyaku pada Jono.
"Iya, bener. Kemaren dia bilangnya, waktu lagi di warung Mpok Iyah," jelas Jono.
"Masih mau ngelak? Sekarang jawab, apa maksudnya, hah?!" Kudorong tubuh Hesti hingga hampir terjerembab jika saja tidak ditahan ibunya.
"Aaww! Jangan kasar, dong! Lagian memang kenyataan, kan? Kalau nggak, mana mungkin mamamu terus yang dipanggil jadi instruktur senam di kelurahan. Artinya mamamu memang ada main sama Pak Lurah."  Hesti menjawab dengan setengah berteriak.
Aku maju beberapa langkah, tatapan berapiku membuat Hesti perlahan mundur dengan raut ketakutan.
"Ka-kamu mau apa?" tanyanya dengan suara tersendat.
"Selama ini aku berusaha untuk sabar dengan semua sikap kamu, Hes. Kali ini, hanya karena Jono sukanya sama aku, lalu kamu dengan kejamnya memfitnah mamaku. Padahal kami nggak pernah mengganggumu bahkan sedari dulu. Sekarang katakan apa maumu?!" Kutarik rambutnya dengan kuat hingga membuatnya menjerit.
"Aduh! Lepasin, Hil. Sakit!" Hesti mulai terisak sambil berusaha melepaskan tanganku dari rambutnya.
"Heh! Nggak pernah diajarin sopan-santun sama mamamu, ya? Lepasin!" Bu Dahlia, ibunya Hesti dengan sigap mencekal tanganku supaya tidak menjambak rambut anaknya lebih kuat.
"Nggak salah Ibu nanya gitu ke saya? Emangnya anak Ibu udah diajarin sopan-santun? Fitnah orang seenaknya," sungutku seraya menyentak rambut Hesti dengan kuat, sebelum kemudian dilepaskan.
Hesti menangis sesegukan sambil memegang kepalanya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya kini. Aku beralih menatap Bu Dahlia yang sedang mengusap-usap rambut anaknya.
"Dan untuk Ibu, kalau nggak tau apa-apa mending diam, jangan anak salah malah didukung. Atau perlu saya kasih tau ke Hesti gimana sepak terjang ibunya sampai bisa menikahi bapaknya? Kami memang bukan asli orang sini, tapi bukan berarti nggak tau gimana pinternya Ibu dalam mengambil suami orang." Seringai sinis kuhadiah padanya yang terkinjat.
Skakmat!
Bu Dahlia membelalakkan matanya kala mendengar bisikanku. "Kamu …."
"Kenapa? Kaget saya bisa tahu?" ejekku, "Oh, iya Hesti, kalau rekaman ini aku kasih ke Pak Lurah gimana, ya?" Aku mengayun-ayunkan ponselku, mengisyaratkan bahwa ucapan Hesti tentang Pak Lurah sudah direkam.
"Hilma! Kurang ajar banget, sih! Siniin ponselnya!" Sambil berlinang air mata Hesti berusaha merebut paksa ponselku, tapi tubuhnya yang lebih pendek membuatnya kesulitan.
"Dahlah, lain kali jangan suka fitnah kalau nggak mau masuk penjara. Inget! Sewaktu-waktu aku bisa melaporkan ini ke Pak Lurah. Oke!" Aku menyeringai puas melihat mereka tak berkutik.
Aku mengajak Jono pergi dari rumah Hesti, lalu kami berpisah di persimpangan jalan dekat rumahku.
Oh, iya, namaku Hilma, anak Mama Ratna. Kami tinggal di kampung Gaduh. Iya, kamu nggak salah baca, nama kampung kami adalah kampung Gaduh. Konon kenapa dinamakan demikian karena hampir setiap hari selalu saja ada warga yang ribut sehingga membuat gaduh satu kampung.
Aku tipikal orang yang tidak mau ambil pusing omongan orang lain, tapi jika itu sudah menyangkut soal harga diriku dan Mama, maka tiada ampun. Siapapun pelakunya. Ya … seperti Hesti tadi misalnya. Dia pasti terkejut melihat keganasaku tadi. Ckckck … tidak bisa kubayangkan bagaima pusingnya itu kepala, jangan-jangan rambutnya ada yang botak? Makanya, jangan membangunkan singa tidur kalau tidak mau kena gigit. 
Saat ini aku mahasiswi semester awal pada Universitas Terbuka. Bukan tanpa sebab aku memutuskan kuliah di sana, melihat Mama yang berjuang sendiri aku tidak tega. Untuk membantu Mama aku bekerja di sebuah toko elektronik dan furniture besar di kotaku, awalnya Mama tidak setuju, Mama menginginkan aku kuliah saja. Akan tetapi, bukan Hilma namanya kalau tidak bisa mengambil hati Mama.
Kebetulan pemilik toko tempatku bekerja orangnya sangat baik, beliau memberi keringanan bagi kami —para pegawainya— untuk kerja sambil kuliah.
Mamaku merupakan single parent sedari aku kecil. Untuk menyambung hidup Mama menekuni profesinya sebagai instruktur senam. Karena keseriusan Mama dalam bidang tersebut, tak jarang Mama diundang untuk menjadi instruktur saat ada acara di instansi-instansi pemerintah setempat. Selain itu, mamaku juga sangat pintar dalam hal masak, ini juga menjadi salah satu sumber keuangan kami pada momen-momen tertentu.
Nah, Bu Dahlia adalah anak dari tetua kampung Gaduh. Dulu dia yang sering ditunjuk sebagai instruktur senam hingga tingkat kelurahan. Alasannya karena dia salah satu member di sebuah tempat gym.
Semenjak ada Mama yang jam terbangnya dianggap lebih berpengalaman, Bu Dahlia dilupakan. Dari sanalah semua bermula, semua tindak-tanduk Mama tak ada benarnya. Semuanya salah. Padahal Mama tidak pernah mengindahkan setiap kelakuan ajaibnya, tapi rupanya hal itu menjadikannya semakin panas.
Hesti adalah anak tunggal Bu Dahlia. Kebucinannya pada Jono menyebabkan ia memusuhi siapa saja yang disukai laki-laki itu. Jono menurutku tak lebih dari playboy kampung Gaduh dan saat ini sedang berusaha mendekatiku. Itulah sebabnya mulut lemes Hesti kambuh.
Iya, Hesti terkenal dengan mulut lemes binti nyinyirnya, 50% warga kampung Gaduh seusia kami sudah pernah bermasalah dengannya. Terlebih sekarang dia kuliah di Universitas Bangsa, salah satu perguruan tinggi swasta yang terkenal dengan biaya fantastis. Hal tersebut dia jadikan alat untuk memperolok kami yang dianggapnya tidak satu level.
Aarrghh! Mengingat fitnahnya pada Mama membuat aku menyesal mengapa tidak sekalian aku cabut saja bulu mata extensionnya tadi. Pasti dia akan semakin histeris. Hesti yang selalu ingin tampil modis dan sempurna kehilangan bulu matanya. Sepertinya menarik. Oke, lain kali kalau dia berulah lagi akan aku ingat untuk mencabut bulu mata buatannya itu.
Apa? Papa? Jangan tanyakan padaku. Aku malas. Bagaimana bisa aku bercerita tentangnya kalau rupanya saja aku tak tahu. Dia hanyalah laki-laki pecundang yang lari dari tanggungjawabnya sebagai seorang suami dan ayah. Apakah aku sedih? Tidak. Aku sudah terbiasa berdua dengan Mama, eh, bertiga dengan Nenek juga.
Konon laki-laki itu meninggalkanku saat berusia tiga bulan. Bukan. Bukan usia tiga bulan saat dilahirkan ke dunia, tapi tiga bulan dalam kandungan. Apakah aku tak merindukannya? Iya, kadang-kadang aku rindu, tapi lebih sering tidak. Merindukan seseorang yang bahkan tak pernah menganggap kita ada adalah sesuatu yang sangat menyakitkan, kawan. Untuk mewaspadai rasa itu lebih baik melupakan bahwa aku punya Papa. Selesai.
"Kamu dari mana, Hil? Pergi kok nggak pamit," tegur Mama saat aku melewati ruang senam.
"Dari jajan, Ma. Ditraktir Jono," kekehku.
"Dih, beneran suka sama kamu tu anak rupanya," kata Mama sambil membenarkan posisi timbangan badan bekas peserta senam harian.
"Nggak tahu. Emang Hilma pikirin," balasku berlalu. Tawa Mama terdengar pelan di belakangku.
Baru saja merebahkan badan di kasur dan mengutak-atik ponsel, Jono yang sedang bucin itu menelepon.
"Halo, kenapa, Jon?" tanyaku dengan malas.
"Kamu udah baca story Hesti belum?" tanya Jono balik.
"Yang mana? Barusan aku liat nggak ada," jawabku sedikit heran.
"Wah, berarti diprivat sama dia, aku kirim, ya?" kata Jono, lalu mematikan telepon.
Klunting!
Sebuah foto kiriman Jono masuk.
Mataku terbelalak kala melihat apa yang ditulis Hesti pada storynya. Dasar pecundang! Beraninya kalau di belakangku saja, buktinya story terbaru dia setting privasi biar aku tak bisa melihat.
"Awas kau, Hesti! Kita lihat sampai dimana kamu kuat menghadapi aku. Kau jual, aku beli." 

Comentário do Livro (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    13h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    6d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    17d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes