logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 6

20.58
Begitu roda motor Juan berbelok melewati sebuah pagar rumah berwarna hitam, Luna sudah bersiap untuk turun.
“Alhamdulillah udah sampai” ucap Luna sambil menurunkan dirinya dari motor Juan.
Tampak di matanya wajah Juan yang masih terlihat kesal.
“Udah dong, masa baru ketemu aku dicemberutin” bujuk Luna sambil memasang wajah cemberut juga.
“Iya, yaudah kamu masuk. Aku pulang dulu ya” Pamit Juan dengan lesu.
Luna tersenyum.
“Kamu hati – hati ya, jangan ngebut” Kata Luna mengingatkan.
Juan lantas mengendarai motornya dan pergi setelah sebelumnya mengucap salam. Setelah motor Juan tak lagi terlihat barulah Luna masuk ke rumah. Rumah? Hmmm tak dipungkiri jauh di lubuk hatinya pun Luna sebenarnya lelah. Tapi ia lebih takut kehilangan keluarganya.
Dengan lelah yang menyelimuti tubuh kecilnya, Luna masuk kerumah yang terlihat sudah gelap sekelilingnya padahal malam belum begitu larut. Selalu ada perasaan was – was dan takut setiap Luna pulang kerumahnya. Entah karena apa.
Prangg!
Dengan suasana lampu yang remang, tanpa sengaja Luna menabrak seseorang dan menyebabkan gelas dibawa orang tersebut jatuh hingga pecah.
Luna mendongak dengan perasaan takut mencoba memastikan siapa orang tersebut, ia tambah terpaku mengetahui orang itu tak lain adalah Edi. Ayahnya.
“Ma-maaf Yah.. Luna gak sengaja, biar Luna beresin” ucap Luna dengan gelagapan mengambil pecahan beling di sekitarnya.
“Kamu memang anak yang gak berguna” Edi mengucapkan kalimat itu dengan santai dan pelan kemudian berlalu meninggal Luna yang hanya bisa memejamkan mantanya mendengar kalimat yang bukan pertama kalinya ia dengan dari mulut sang Ayah. Tapi kenapa rasa sakitnya masih saja sama, atau mungkin lebih? Entahlah, yang Luna tau hatinya hanya terasa sesak setiap saatnya.
7 TAHUN LALU (FLASHBACK ON)
“Keluar dari kamar ini dan kamu tidur di gudang” Dengan sorot mata yang terlihat menyimpan banyak dendan juga amarah, Edi menyeret tubuh kecil Luna dan melempar barang – barang gadis tak berdosa itu ke gudang belakang tanpa peduli jerit tangis malang Luna yang tanganya sedang ia cengkram.
“Saya izinkan kamu tinggal disini tapi jangan harap semuanya akan sama seperti dulu, kamu urus hidup kamu sendiri termasuk makan dan minum kamu”
Brak!!!
Suara kerasnya pintu yang dibanting Edi cukup berhasil membuat Luna tersentak takut dan kebingungan dengan situasi yang terjadi begitu tiba – tiba saat ini. Edi pergi setelah membanting pintu dengan meninggalkan banyak ketakutan dan pertanyaan dalam benak Luna.
Luna kecil memeluk kedua lututnya dan sesekali menarik nafas dalam untuk mencuri oksigen yang lebih banyak lagi dengan harapan bisa sedikit memberinya kekuatan.
Ia tertidur dalam tangis panjangnya di malam itu.
Berharap bahwa semua hanyalah sebatas mimpi buruk.
FLASHBACK OFF
Luna kini sudah berada di kamarnya, membalut luka di jari telunjuk kanannya dengan plester akibat pecahan beling yang ia bereskan tadi tak sengaja menyayat jarinya. Tapi entah kenapa, luka itu tidak juga menimbulkan rasa sakit bagi Luna.
Mungkin bukan tidak sakit, hanya saja ada rasa sakit lain yang jauh lebih besar hingga luka kecil baginya kini sudah tak berarti apa-apa. Luna akhirnya memilih tidur sambil menanti pagi yang lebih baik.
Kenapa mimpi buruk ini begitu panjang….
***
Di bawah langit yang tidak begitu terik dan gelap, ada tiga gadis yang tengah duduk berhadapan di sebuah meja santai mini market di tengah taman kota yang di kelilingi kantor-kantor dan beberapa kampus disekitarnya.
“Kalo aja loe merem dan dada loe gak naik turun, gue udah ngira loe mayat kali Lun” ucap seorang gadis bernama Vani yang merupakan salah satu dari dua sahabat terdekat Luna. Yang satunya lagi bernama Dira.
“Ada apa lagi Lun, mimpi buruk atau ada masalah lagi yang buat mata loe sembab bengkak begitu” tambah Dira yang tampaknya lebih menanggapi secara serius karena melihat Luna yang pagi ini memang terlihat sangat lesu.
“Gapapa kok, lagian ketemu loe berdua disini gue jadi bahagia lagi” ada segaris senyum sayu di bibir Luna setelahnya. Tak lama Vani yang memang tak bisa diam pun buka suara.
“Demi kepala upin ipin yang gak pernah ditumbuhi rambut-“
“Upin ada rambut kali, sotoy loe” Tiba-tiba saja suara Dira terdengar memotong kalimat Vani yang belum selesai.
“Apaan secuil doang, kalo modelan gitu sih jangankan dijambak, gue petik aja udah lepas tuh rambut” balas Vani menjawab pernyataan Dira
Kemudian sekian detik berikutnya Vani sadar dan kembali bicara.
“Ehh apaan sih malah jadi bahas itu, gue botakin juga deh loe, ishhh kan gue jadi lupa mau ngomong apa tadi” Gerutu Vani.
Dira yang tak tertarik untuk berdebat dengan Vani akhirnya kembali bicara pada Luna.
“Juan semalam kirim pesan” Dira menjeda kalimatnya sebentar dan mulai memposisikan dirinya untuk benar – benar menghadap Luna kemudian kembali melanjutkan pembicaraannya. “Gini Lun, loe denger baik- baik ya kita itu gak minta loe keluar dari rumah loe untuk ninggalin keluarga loe. Tapi untuk sedikit ngasi keleluasaan dan istirahat buat loe Lun” Dira terdengar bicara dengan pelan dan sangat penuh harapan.
Luna masih terdiam lalu matanya tampak terpejam sebentar dibarengi helaan nafas dalam dengan maksud mengumpulkan kekuatan untuk kembali tersenyum dan bersuara. Luna lalu menatap kedua sahabat di depanya.
“Gue ngerti. Tapi loe berdua juga harus ngerti bahwa semakin jauh gue dari mereka, semakin gue merasa terasingkan dan itu justru ngebunuh gue lebih dalam lagi”
Mendengar jawaban Luna, baik Dira maupun Vani spontan melemah dengan menghela nafas kasarnya sambil mengalihkan pandangan mereka dari mata Luna.
Untuk sesaat ketiga gadis ini saling membisu.
Gubrak!!!
Suara pukulan meja di depan mereka berhasil membuat Luna, Dira maupun Vani tersentak kaget dilanjutkan dengan melihat ke arah pelaku yang kini tengah duduk di hadapan mereka tanpa dosa.
“Gak ada akhlak emang loe jadi cowok, gue-“
“Sssttt” Vani pun terdiam di tengah kalimatnya yang kembali dihentikan oleh desisan seorang pria yang tadi memukul meja yaitu Juan. Setelah memastikan Vani menuruti perintahnya untuk diam, dengan wajah datar yang menyebalkan Juan tampak mendekat ke tempat duduk Vani lalu kembali berkata.
“Gue mau duduk samping pacar gue, loe jomblo duduk di kursi gue tadi aja” ucap Juan santai.
Astaga. Darah Vani rasanya tengah menguap hingga ke otak. Dengan mata dan yang membulat sempurna sambil mendongak ke arah Juan. Belum juga ia bersuara, namun perhatian mereka semua justru mendadak beralih pada Luna yang juga secara tiba – tiba beranjak dari duduknya.
“Mau kemana?” Tanya Juan singkat dengan kening sedikit mengerut.
“Gak denger adzan tuh. Kita salat aja dulu yuk, gue juga mau langsung ke resto habis ini” Jawab Luna. Dan yang lain hanya menurut tanpa suara.

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    HongaRevanda

    sangat bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Rangga Putra

    luar biasa

    02/08

      0
  • avatar
    dil666naon

    bagus

    29/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes