logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Keputusan mengejutkan

"Nek, ini uang hasil cucian Kamila. Nenek pegang sebagian, ya. Sebagian lagi akan Mila belanjakan ke warung bu Ani. Mila akan membeli beras dan beberapa kebutuhan dapur." Kamila menyerahkan uang seratus lima puluh ribu pada neneknya.
Sedangkan seratus lima puluh ribu, sisanya, akan dibawa kewarung untuk membeli kebutuhan dapur.
"Mila sayang, kamu pegang saja semua ya, Nduk. Nenek tidak perlu uang ini. Memangnya Mila gak kepengen beli kerudung atau pakaian baru?" Nek Sumi menyerahkan uang itu kembali ke tangan Kamila.
Karna selama ini, Kamila tidak pernah membeli barang-barang pribadi untuk dirinya. Baju dan kerudung yang dipakai oleh Kamila, kebanyakan diberi oleh tetangga mereka. Yang lebih sering, bu Indri- ibu Setya yang memberi banyak baju untuk Kamila. Tak jarang juga, gamis yang diberi oleh bu Indri, adalah gamis yang masih baru. Begitupun juga dengan kerudung. Kamila kerap kali menolak dengan sopan pemberian bu Indri. Karna Kamila merasa tidak enak sudah merepotkan bu Indri. Namun, bu Indri tetap saja memaksa.
Bu Indri sangat menyayangi Kamila. Meskipun tergolong dari keluarga kaya, bu Indri sangat menginginkan Kamila menjadi menantunya. Bu Indri sangat berharap, jika Kamila kelak akan menjadi Istri dari anak tunggalnya- Setya.
"Nek, Kamila sudah punya banyak sekali pakaian. Nenekkan tahu sendiri, bu Indri sering sekali memberi gamis-gamis cantik pada Kamila. Kamila sebetulnya merasa sangat tidak enak, Nek. Bagaimana, ya, jika bu Indri memberikan pakaian lagi pada Mila. Kalau bekas, Mila masih bisa terima, Nek. Tapi bu Indri, dengan sengaja membeli gamis, kerudung, serta kaos kaki baru pada Mila." Kamila sungguh sangat merasa tidak enak pada bu Indri. Dia tak ingin, bu Indri merasa dimanfaatkan olehnya.
" Mau bagaimana lagi, Nduk. Bu Indri itu orang yang baik. Tidak mungkin kita menyakiti hatinya dengan menolak pemberiannnya. Yang nenek lihat, bu Indri sangat tulus memberikan semua itu kepada kamu. Dia tampak sangat menyayangimu." Kali ini, naluri seorang nenek yang membesarkan Kamilalah, yang berbicara.
" Halaaahhh, kamu ini, memang tidak tahu diri. Sudah untung, ada yang mau memberi kamu baju bekas. Kalau tidak, bisa-bisa jadi orang gila kamu gak pakai baju, tahu tidak? Jangan sok berlagak seperti orang kaya deh, kamu itu. Sudah susah, ya susah saja. Tidak usah sombong." Kakek Parmin tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamar nek Sumi, dan langsung menyembur Kamila dengan caci-maki yang biasa dia lontarkan.
"Kamu sudah punya uang? Sini, buatku saja. Kamu tidak usah pegang uang." Kakek Parmin yang melihat uang di tangan Kamila, langsung menyambar uang yang tadinya akan dikasi kepada nek Sumi, sekarang sudah dirampas oleh kek Parmin.
Beruntung, setengah sisa uang, sudah disimpan Kamila. Jika tidak, pasti akan diambil semua oleh kakeknya yang kejam itu.
" Kek, itu buat nenek." Bibir Kamila bergetar takut berbicara pada kakeknya.
" Kamu ini, untuk apa juga dikasi dia. Orang gak bisa ngapa-ngapain malah dikasi uang. Mending buat aku saja lah." Kakek Parmin menatap tajam pada Kamila.
" Ya sudah. Tidak apa-apa. Tapi, Kek, jangan dipakai buat mabuk dan judi, ya!" ucap Kamila pelan pada Kakeknya. Dia tak ingin, Kakeknya masuk terlalu dalam kedalam lubang dosa itu.
" Apa katamu? Kamu mau menceramahiku? Kamu berusaha mengajariku? Ha? Berani-beraninya kau ini, ya?" Kakek Parmin terlihat sangat marah atas ucapan yang dilontarkan oleh Kamila. Kehormatannya terasa terusik oleh cucunya yang sangat dibencinya itu.
Plaakk.
Telapak tangannya yang berukuran lebih besar daripada pipi Kamila, membuat tanda merah di pipi gadis itu.
" Astaghfirullah, Paakkk." Nek Sumi berteriak pada suaminya.
Rasa panas tentu saja dirasakan Kamila. Sakit. Sudah pasti. Kamila tidak menyangka jika kalimat pendek yang dilontarkannya, membuat lelaki tua itu murka.
"Maaf, Kek. Kamila tidak bermaksud membuat kakek marah. Sekali lagi, Mila minta maaf, Kek," mohon Kamila pada kakeknya, sembari mengusap pipi kanan yang terkena tamparan keras kakeknya itu.
" Makanya, jadi anak jangan durhaka sama orang tua. Jangan sok
mau menceramahi aku. Taukan kamu akibatnya." Kakek Parmin kemudian berlalu meninggalkan Kamila dan nenek Sumi.
Dia pulang, hanya ingin mengambil uang Kamila. Lalu kembali pergi ke tempat perjudian di desa itu. Menghabiskan uang, dan jika sudah habis, dia kembali untuk meminta pada Kamila. Jika tak ada, maka dia tanpa rasa iba, menyiksa cucu kandungnya itu.
"Sing sabar, yo, Nduk. Nenek tak bisa berbuat apa-apa." Nek Sumi mencium ubun-ubun cucunya yang tengah menangis sesenggukan, memeluk tubuh neneknya yang hanya bisa berbaring itu.
Setelah meluapkan kesedihannya di pelukan sang nenek, Kamila beranjak, karna terdengar suara Adzan dari Surau. Kamila mengambil Wudhu, lalu menunaikan kewajiban nya pada sang pencipta.
Selesai melaksanakan Sholat Dzuhur, dan memberi makan nek Sumi, Kamila bersiap-siap akan belanja kebutuhan dapur ke warung bu Itah, seperti yang sudah direncanakannya tadi.
" Nek, Kamila ke warung sebentar, ya. Nenek mau titip beli camilan apa? Mumpung ada rezeki." Kamila tersenyum tipis sembari menunjukkan uangnya tadi pada neneknya.
" Tidak usah, Nduk. Beli yang pokok saja. Nenek tidak mau cemilan apapun. Lagipula, gigi juga sudah rontok. Tidak kuat ngemil-ngemil." Nek Sumi menunjukkan gigi ompongnya pada Kamila. Yang membuat gadis itu tertawa.
Ya, begitulah Kamila. Luka yang belum kering di hatinya, karna perbuatan kakek Parmin, tak membuat Kamila merasa sedih berlarut-larut. Entah karna hati yang sudah ditempa sejak lama, atau pula karna nek Sumi yang menjadi penyemangatnnya.
"Kamila pergi, ya, Nek. Assalamualaikum." Kamila mencium kening nek Sumi, lalu beranjak keluar rumah, dan menutup pintu.
Dengan mata yang masih sembab, karna menangis tadi, dan pipi yang masih terlihat bekas tamparan, Kamila berjalan ke warung bu Itah yang berada di simpang jalan menuju ke luar desa ini.
Desa Sukaramai, adalah nama desa Kamila. Penduduknya lumayan banyak. Namun, suasananya masih sangat asri dan terawat. Sawah dan kebun sayuran milik warga, juga menghiasi pemandangan di pinggiran jalan desa ini. Ada juga beberapa rumah yang terbilang mewah di sini. Termasuk, rumah orang tua Setya.
Kamila berjalan menyusuri desa menuju simpang jalan, dan lagi,
Kamila bertemu dengan Setya saat melewati balai desa tempat mereka duduk pagi tadi. Terlihat Setya sedang mengobrol dengan para teman sebayanya. Lelaki itu tampak masih menggunakan baju koko, dan peci dikepalanya. Sepertinya, dia baru saja pulang dari Surau.
Balai itu, memang sering dijadikan tempat kumpul warga desa ini. Anak-anak muda di desa ini, juga kerap berkumpul di balai itu, untuk sekedar ngobrol, atau bermain catur.
Kamila sengaja mengacuhkan Setya dengan pura-pura tidak melihatnya. Tapi, tentu saja Setya menyadari bahwa Kamila berada disekitarnya.
"Kamila. Kamila. Tunggu." Benar saja, Setya langsung memanggil Kamila, dan mengejar Kamila yang sudah berjalan lumayan jauh dari balai.
Kamila berhenti mendengar teriakan Setya. Mau tidak mau, dia harus menoleh ke arah Setya.
'Padahal sudah diam-diam lewat, tetap saja dia sadar. Tadi juga sepertinya dia sedang asyik ngobrol,' batin Kamila sembari menolehkan kepalanya ke arah Setya.
"Kamu ini, lewat bukannya negur aku. Malah kayak kilat main lewat saja. Dasar ya, nakal." Setya mencubit hidung Kamila sampai merah. Namun, ketika melihat wajah Kamila, Setya menyadari sesuatu.
"Mil, itu pipi kamu, kenapa? Mata kamu juga bengkak. Kamu habis nangis?" Setya mulai mengintrogasi Kamila.
"Enggak, kok. Tadi aku kelilipan." Kamila berusaha menyembunyikan semuanya dari Setya, dan tak ingin Setya mengetahui penderitaannya.
"Jangan bohong, Mila. Lihat aku! Itu pipi kamu merah seperti bekas tamparan. Ya Allah, Mil." Setya mengangkat wajah Kamila dengan kedua tangannya yang diletakkan di kedua pipi Kamila. Hingga terlihat jelas di matanya, bekas merah di pipi Kamila.
"Kakekmu yang kejam itu pasti yang sudah melakukan ini, kan, Kamila? Aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi, padamu!" Rahang Setya mengeras ketika melihat apa yang terjadi pada wanita yang dicintainya itu. Terlebih lagi, Setya tahu, bahwa Kakek Parminlah orang yang kerap menyiksa Kamila.
"Aku tidak apa-apa, Setya. Ini sudah tidak terasa sakit. Bekasnya juga sebentar lagi akan hilang." Kamila berupaya meredam amarah Setya yang sudah terlihat sangat geram pada kakek Kamila itu.
Air mata Kamila luruh seketika melihat kepedulian dan ketulusan hati Setya. Selain nek Sumi, Setyalah orang yang selalu membela Kamila dari amukan kakeknya. Sebenarnya dia tak ingin menunjukkan kesedihannya pada Setya. Namun, air mata jatuh berderai begitu saja.
Melihat tangisan Kamila, Setya makin merasa geram. Dia tak tahan melihat wanita yang sangat dia cintai, setelah ibunya itu, merasakan penderitaan ini. Dia ingin membawa Kamila pergi dari Kakeknya yang keji itu.
"Kamila, menikahlah denganku." Mata Kamila membelalak kala mendengar pernyataan Setya.
"Aku tau, kita masih sama-sama muda. Tapi, aku sudah cukup dewasa untuk bisa menjadi imammu, Kamila. Aku juga bekerja paruh waktu di kota. Insya Allah, aku bisa menghidupimu, Kamila," ucapnya.
"Kita akan tinggal di kota. Meskipun tidak mewah, setidaknya kamu terbebas dari Kakekmu yang kejam itu. Ayah ibu juga pasti akan setuju jika aku memberi tahu alasanku menikahimu di usia ini." Setya berusaha meyakinkan Kamila, dan memberi tahu, bahwa saat ini, dia memang sudah bekerja paruh waktu di kantor notaris milik sepupu ayahnya.
"Tapi, Setya ... Nenek?" Kamila pasrah dengan apa yang dikatakan Setya. Karna gadis itu juga sudah berada di titik letih menerima siksaan kakeknya. Namun di sisi lain, Kamila memikirkan nasib neneknya.
"Setelah menikah, kita bawa nenek ke kota, tinggal bersama kita," tegas Setya mengusap air mata Kamila, diikuti anggukan setuju gadis itu.
Setya lalu mengantar Kamila ke warung bu Itah untuk berbelanja. Dia khawatir, jika Kamila bertemu dengan kakeknya di jalan, Kamila akan disiksa lagi oleh lelaki tua itu.
Setelah usai berbelanja, Setya juga mengantar Kamila ke pekarangan rumah Kamila, dan bergegas pulang. Setya sudah tak sabar ingin memberitahu niat nya untuk menikahi Kamila, pada ibu dan ayahnya.

Comentário do Livro (51)

  • avatar
    batukandreas

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    Amira Dayang

    EMTO 99KS NRDX

    16/08

      0
  • avatar
    AitanReplin

    senang biasa membaca ini🥰

    09/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes