logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Setelah Bahagia

Sepulangnya aku dari pasar malam, keadaan rumah terasa menambah luka di dalam hati. Aku hanya bisa membungkam tangis dengan bantal. Pertengkaran antara ayah dan ibu di ruang tamu, membuatku ingin mengakhiri hidup.
"Kenapa harus malam ini?" ucapku bertanya sambil terisak. Bantal yang kupeluk telah basah oleh derai air mata. Aku sudah tidak sanggup menjalani hidup jika terus seperti itu. Kenapa aku tidak mati saja malam itu?
Aku mengangkat wajah, lalu berdiri menghadap cermin besar di depanku. Tanganku mulai menggores tinta di permukaan benda datar itu. Sebuah gambaran orang yang sedang tersenyum berhasil terselesaikan.
"Aku udah gak tahan lagi dengan semua ini." Air mataku kembali berlinang. "Kapan aku bahagia seutuhnya?"
"Saya gak butuh suami yang punya penghasilan kurang kayak kamu!" Suara berintonasi tinggi itu terdengar hingga ke kamarku. Aku melupakan satu hal ketika kembali di masa lalu. Namun, semuanya terlambat untuk disadari.
Aku membuka laci, dan menemukan gunting kecil di sana. "Ternyata, gak ada bahagia yang benar-benar permanen di dunia ini." Aku pun mengambil benda itu dengan tatapan sayu.
Tidak ada teman bercerita, karena Angelic telah mengkhianatiku. Bahkan, sangat tidak mungkin untuk berbaikan lagi dengannya. Aku sudah terlanjur kecewa.
"Apakah ini pantas kamu ucapkan, hah? Kamu ini istri macam apa?" Suara bariton ayah membuatku bergidik ketakutan. Aku berlari pelan ke pojokan kamar, mendekap kedua kakiku dengan erat.
Prang!
"Mana janji kamu selama ini, Robert?" Ibu sepertinya telah membanting vas bunga ke lantai. "Saya kenyang makan janji manismu. Kalo tahu kayak gini, mending aku nikah sama Jerremy daripada sama kamu."
"Kamu cuma bisa menilai orang dari gajinya doang, Jane. Saya kerja keras buat kalian."
Aku menutup telinga dengan tanganku. Kenapa kamarku harus berada di dekat ruang tengah? Aku menyesal memilih kamar dengan posisi strategis seperti itu.
"Kapan aku bisa tidur dengan tenang?" Aku menggores tangan dengan ujung gunting. Membuat semacam bar kode—garis memanjang seperti pagar yang bersusun rapi, di sana. Hal itu telah menjadi makanan sehari-hari, sebelum akhirnya ibu memilih pergi di hari itu.
Aku tahu, kehilangan terbesar akan membuat hidup berantakan. Namun, takdir sepertinya memang tidak akan berubah. Sejauh apa pun usaha yang kukorbankan, hasilnya seakan selalu sia-sia. Bagaimana aku bisa menunda perceraian mereka?
Aku juga ingin memiliki keluarga lengkap, dan merasakan hangatnya kebersamaan. Bukan pertengkaran itu yang kuharapkan. Apakah para orang tua memang tidak akan pernah sadar? Saat pertengkaran itu terjadi ... yang tersakiti bukan hanya mereka.
Di luar sana, mungkin banyak yang mengalami hal yang sama denganku. Tidak ada hak untuk bicara, ataupun membela diri. Sebagai seorang anak, mentalku merasa sangat tertekan ketika ucapan tajam itu terdengar.
Ponselku berdering. Aku melihatnya sekilas, lalu menekan tombol matikan daya. "Ma ... maafkan aku, Ze."
Kepalaku bersandar di dinding. Ruangan itu terasa sangat dingin, dan perlahan membuatku menggigil. Aku berusaha menyemangati diri untuk percaya, bahwa pertengahan itu akan berakhir. Namun, dua jam setelahnya, tidak ada yang berubah—perdebatan itu masih terus berjalan seakan tiada jalan buntu.
"Hei, Sel!" Suara dari balik gorden kamar terdengar pelan. Aku menatap penuh selidik pada sesosok bayangan di depan sana. Siapa itu?
"Jangan takut! Gue cuma mau mastiin keadaan lo doang." Suara itu terdengar lagi tapi sedikit lebih keras.
"Ze?" Aku membuka pintu loteng dengan senyuman yang terukir di wajah.
Pria yang mengenakan hoddie cokelat itu tersenyum hangat. "Gue tau, lo lagi gak baik-baik aja, Sel." Zeo memberikan sebuah paper bag padaku.
Aku membukanya. Paper bag itu berisi hoddie yang sama persis dengan miliknya. Zeo sepertinya orang yang peka dan romantis.
"Camer gue lagi berantem, ya? Lo gak usah terlalu dengerin mereka." Zeo berkata dengan nada lembut, tidak seperti biasanya. Bahkan, aku masih tidak percaya. Apakah itu memang pria yang selama ini kukenal?
"Gue gak apa-apa kok," jawabku dengan nada datar.
"Jangan ngomong gak apa-apa, kalo hati lo lagi kenapa-kenapa, Sel! Gak usah membohongi diri kamu sendiri." Zeo memberikan plester luka bermotif bunga middlemist red. Dia mengobati, dan menutupi setiap goresan itu dengan sangat hati-hati.
"Kok kamu bisa manjat sampe setinggi ini?" Aku bertanya dengan wajah heran. "Kamu beneran manjat, Ze?"
"Gue takut lo kenapa-kenapa, makanya gue rela gini." Zeo menatapku dengan sorot khawatir.
"Makasih, Ze. Makasih banyak ...." Saat mengucapkan kalimat itu, aku kembali menangis.
"Cantiknya Ze, gak usah nangis. Sela yang gue kenal adalah wanita terkuat di dunia." Zeo mencoba menghiburku. Meski, itu sama sekali tidak membuatku bersemangat.
"Hidupku telah hancur. Tidak ada bahagia lagi di sana." Aku berkata sambil menyeka air mata yang terus berjatuhan.
"Aku tahu apa yang kamu rasakan. Mending bobo, ya?" Zeo mengusap air mataku dengan telapak tangannya yang terasa hangat. "COS besok mengadakan ujian. Kamu gak belajar?"
Aku menggeleng. "Gak bisa fokus belajar di tengah perdebatan itu." Saat itu, aku tidak memiliki tempat cerita lagi, selain Zeo.
"Gue kirim kisi-kisinya, ya? Kebetulan, gue kenal ama kepsek." Zeo mengambil ponsel di saku kanannya. Kemudian, membuka layar itu di depanku. Wallpaper Zeo adalah foto kami di pasar malam tadi.
Aku membatin, "Dia ternyata lelaki yang baik."
"Ini gue udah kirim ke lo." Zeo menunjukkan chat yang berisi tiga dokumen. "Oh iya, jangan nangis lagi, ya, Cantik."
"Aku hanya bisa berterima kasih padamu, Ze. Aku gak tahu harus melakukan hal apa lagi, untuk membalas semua kebaikan kamu." Aku membungkuk 90°.
"Apa yang gue lakuin hari ini, gak sama sekali bisa balas perlakuan gue di masa lalu." Zeo mengangkat wajahku. "Maafin gue karena gue pernah jahat ke lo, Sel."
"Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, Ze." Aku mengulurkan tangan padanya. "Mulai hari ini, kita akan berbaikan. Aku bakal maafin kesalahan kamu."
Zeo menunjukkan jari kelingking. "Gue janji gak bakal bully lo atau siapa pun lagi."
Malam yang dipenuhi dengan bintang-bintang, yang indah itu seakan menjadi saksi bisu. Kami telah mengikat janji satu sama lain, dan tidak akan pernah melakukan kesalahan lagi di masa depan.
Ketika pria itu berpamitan untuk pulang, karena hari telah terlampau larut. Aku mencekal lengannya, lalu berbisik, "Aku datang dari masa depan."
"Aku sudah tau," timpalnya. Aku sontak melepaskan lengannya. Kemudian, menatapnya dengan keterkejutan di wajahku.
Tidak lama setelahnya, pria itu turun perlahan dari atap rumah. Zeo tampak tersenyum, sebelum akhirnya berlari ke seberang jalan.
"Sela, kamu ngapain belum tidur?" Suara ibu menyita perhatianku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu, lalu memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan sayu.
"Sela lagi cari angin segar, setelah panas mendengar kalian bertengkar semalaman." Aku pun menutup pintu loteng, lalu beranjak tidur.
"Maafin, Mommy. Ya udah, selamat tidur, My Beautiful Princess." Ibu mengecup keningku.

Comentário do Livro (27)

  • avatar
    Resti Adila

    👍🏻👍🏻

    16/06

      0
  • avatar
    krocofalzz

    bagus

    13/06

      0
  • avatar
    HilaliyahLeli

    keren

    11/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes