logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Sembilan Tahun Sebelumnya

"Ayo bangun, Sela! Ini sudah jam berapa? Kamu gak berangkat ke sekolahkah?" Suara orang yang sangat kurindukan terdengar jelas di telingaku. Apakah semua itu adalah kilas balik, sebelum pindah server ke alam lain?
Aku sontak membeliak, karena mendapati diriku berada di kamar interior klasik—kamar yang dulu kutempati sebelum pindah ke Kota Candace. Tempat itu tampak rapi sama seperti dulu. Namun, sedikit sempit karena ruang yang berukuran minimalis.
Berulangkali aku memastikannya; apakah itu semua mimpi atau real? Boneka gurita biru di sampingku, ternyata benar-benar nyata. Aku bisa menyentuh, bahkan memeluknya.
"Ternyata, aku gak sedang berhalusinasi," gumamku.
"Aduh, Sela! Kamu kesiangan lagi?" Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamarku. Ia terlihat berkacak pinggang.
"Mommy ...." Mataku membulat, mungkin juga memerah saat itu. "Aku sangat merindukanmu, Mom."
Ibuku berjalan mendekat dengan keterkejutan di wajahnya mungkin panik, karena aku tiba-tiba mengucapkan kalimat, yang tidak pernah kuucapkan selama ini.
"Sela, kamu baik-baik aja, kan?" Mata berwarna biru gelap itu memandangku dengan sorot kekhawatiran.
Aku diam seribu bahasa. Berat rasanya bertemu kembali dengan orang, yang telah meninggalkanku selama ini. Ya, keluarga kami bukanlah keluarga yang harmonis. Tepat saat aku berusia dua puluh tahun, ayah dan ibu memilih untuk mengakhiri pernikahan mereka.
"Kamu kayaknya gak enak badan, ya? Kamu istirahat aja dulu ya, Nak." Ibu tersenyum hangat padaku.
"Tidak ada yang berubah dari sosok Ibu," ucapku dalam hati.
*
Aku membongkar seluruh isi lemari di dekat ranjang. Hampir tiga jam, tetapi tidak kunjung menemukan foto itu. Di mana terakhir kali aku menyimpannya?
Tanganku bergetar, setelah tidak sengaja menemukan sebuah kalender. Bagaimana bisa aku kembali ke masa sembilan tahun sebelumnya? Apakah itu berarti aku masih memiliki kesempatan, untuk mengubah takdir kematian di masa depan?
Sebuah bingkai foto terjatuh, setelah aku mencoba menarik telinga boneka kelinci—pemberian dari Angelic. Mataku tidak dapat menampung kesedihan itu lagi, perlahan air mata mulai mengalir di sudut pipi. Kudekap foto itu dengan sangat erat.
Aku menyandarkan tubuh di dinding samping lemari. Terkadang, bahagia memang tidak bisa bertahan lama. Kesedihan sepertinya selalu mendominasi hidupku. Bukankah tidak adil, jika aku selalu berhadapan dengan realita, yang tidak sesuai ekspektasi?
Entah bagaimana aku kembali di usia sembilan belas tahun—setahun sebelum aku bertemu dengan Satria. Apa yang sebenarnya telah terjadi di malam pengkhianatan itu?
Aku memandang foto itu dengan tatapan sayu. Keluarga yang masih lengkap, sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Sepasang suami istri yang ada di sana tampak bahagia. Lagi, fotoku yang selalu menampilkan senyum palsu terlihat lagi.
Kenapa aku selalu membohongi diri sendiri? Aku melempar sembarang bingkai foto yang berukuran sedang itu. Kebahagiaan sepertinya adalah hal yang sementara. Ketika kembali ke masa lalu, sakit rasanya ketika mengingat hal yang akan terjadi, di masa yang akan datang.
Aku menyeka air mata dengan tisu. Kemudian, membuangnya ke kotak sampah. Dulu, aku merasa hidup akan selalu berjalan mulus. Namun, ternyata tidak semuanya akan berjalan sesuai rencana yang dibangun.
"Jika aku adalah Sela yang sekarang berusia 19 tahun. Itu berarti aku masih duduk di bangku putih abu." Aku mencoret-coret cermin dengan bolpen. "Sepuluh tahun lagi, aku akan mati di tangan Zeo."
Aku menghapus tulisan itu dengan sobekan kertas dari buku diaryku. Kemudian, menyilangkan tangan sambil menggenggam erat bolpen di tangan kiri. Aku mencoba berpikir keras untuk mencari solusi dari masalah itu.
"Mulai sekarang aku harus menjaga jarak dengan Angelic." Aku menghela napas. "Tapi, dia satu-satunya sahabatku di SMA. Lagi pula, kalo bukan karena dia mungkin aku masih dibully oleh Zeo."
Aku mengacak-acak rambut panjangku dengan sedikit frustasi. Bagaimana bisa aku tetap menjalani hidup sebagai seorang "Kutu buku" di sekolah elite itu?
Jika bukan karena pertolongan Angelic saat itu, aku mungkin masih menjadi siswi yang ketinggalan zaman. Aku terlalu berambisi untuk menjadi nomor satu di akademi; menghabiskan waktu hanya untuk belajar. Karena ayah pernah berpesan, "Jika kamu berhasil mendapatkan top one tiga kali berturut-turut. Kamu boleh ambil jurusan manajemen bisnis di Candace."
Kota Candace adalah tempat impian—akademi favoritku ada di sana. Ujian penentuan kelulusan sepertinya sangat berpengaruh untuk masuk ke akademi itu. Ya, satu tahun yang akan datang, di sanalah semuanya akan di mulai; pertemuan romantis dengan cinta pertama sekaligus cinta terakhir.
Aku tersenyum sambil terus memutar kenangan itu dipikiran. Wajah tampan yang selalu menjadi penyemangatku. Namun, jika dipikir-pikir, ibu mengatakan hal yang benar tentangnya. Ya, Satria bukanlah lelaki yang cukup dengan satu wanita.
"Aku bukanlah mainan. Meksipun, kamu adalah pemain yang selalu menamatkan setiap permainan." Aku tersenyum sinis pada bayangan di dalam cermin. "Lihat aja, aku gak akan tinggal diam."
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu yang terdengar pelan, membuyarkan lamunanku. Buru-buru aku menghapus coretan di kaca, lalu secepatnya merapikan barang-barang yang berantakan; memasukkannya kembali ke dalam lemari secara acak.
"Ya, siapa?" Tanganku meraih handle pintu, dan mendapati seorang gadis—yang membawa buket bunga mawar putih di tangan kirinya. Ia berdiri dengan senyuman yang terukir di wajah ovalnya. Rambut kecoklatannya tampak digerai dengan hiasan pita sebagai aksesoris pelengkap.
"Dia selalu saja bersikap manis di depanku," ucapku dalam hati. Tanganku mengepal erat, ingin rasanya menampar pipi mulus gadis itu.
"Aku pikir cuma aku yang izin gak sekolah." Angelic memulai percakapan. Namun, aku tidak berselera untuk menanggapinya.
"Ya." Aku menjawab dengan nada dingin. Kemudian, mempersilahkannya masuk ke dalam.
"Aku dengar SMA kita akan mengadakan pemilihan ratu kecantikan." Angelic duduk di sofa berbentuk bunga matahari. "Kamu, kan, cantik. Kenapa gak ikut, Sel?"
Aku menyembunyikan bingkai foto ke bawah ranjang. Angelic mungkin melihatnya, tetapi aku tidak peduli sama sekali. Toh, jika dia menanyakan hal itu, aku tidak akan pernah menjawabnya.
"Aku lagi sibuk, dan gak punya waktu buat itu," timpalku dengan nada kesal.
"Kok kamu tiba-tiba berubah. Kenapa?" Gadis itu memasang wajah khawatir. Aku benci sandiwara yang dia perankan.
"Bahas yang lain aja. Aku lagi gak mood denger tentang kecantikan atau apalah itu." Aku mendengkus kesal.
"Kamu akan masuk universitas mana? Kalo kamu jadi berangkat ke Kota Candace, aku ikut kamu, ya?"
Jantung terasa berdetak kencang. Seketika tubuhku mematung. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Jika menjawab "Ya", itu adalah awal dari kehancuran di masa depan. Bagaimana? Apa yang harus dilakukan?
Dulu, Angelic memohon untuk ikut tinggal bersamaku di Candace. Setelah orang tuaku bercerai, kami berdua memutuskan untuk meninggalkan Kota Annora. Saat itu, aku berpikir akan selalu bahagia bersamanya. Huh, benar-benar keputusan ternaif dalam hidup!
"Jangan banyak ngelamun, Sel! Jadi, bagaimana?" Wanita bermata merah muda itu bertanya lagi. "Aku boleh ikut kamu, kan?"

Comentário do Livro (27)

  • avatar
    Resti Adila

    👍🏻👍🏻

    16/06

      0
  • avatar
    krocofalzz

    bagus

    13/06

      0
  • avatar
    HilaliyahLeli

    keren

    11/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes