logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Sakit

Anneke berbaring di ranjangnya setelah sarapan pagi. Anggasta tidak melihatnya.
Gadis itu merasa pusing tetapi dia hanya bergeming menatap pintu.
****
April menangis karena khawatir terhadap temannya, Anneke.
Dibawah ancaman Prima yang akan membunuh keluarganya serta neneknya dia jadi ketakutan.
Dua orang pria terkadang selalu mengikuti April dan kedua orang tuanya serta neneknya.
Wanita licik itu mendatangi apartemen kekasihnya, Fathur. Mereka menjalin hubungan terlarang sebelum Prima menikah dengan Johan.
Johan diberi tahu polisi agar mendatangi kantor untuk membicarakan petunjuk mengenai putrinya. Ada kecurigaan pada supirnya yang telah dipecat oleh Prima. Johan kaget dan baru menyadari hal tersebut yang luput dari pikirannya.
"Betul juga, dia telah mencuri uang kemudian diketahui istri saya dan langsung memecatnya. Mungkin dia dendam pada kami."
"Baiklah, kami minta alamat mantan supir, Bapak."
"Baiklah, sebentar saya hubungi Woko satpam saya agar memberikan alamat lengkapnya."
****
Arfan digelandang ke kantor polisi. Dia kaget tapi tetap berusaha tenang. Saat salah satu polisi itu memberikan surat pemanggilan dalam hal ini masih berstatus terduga.
Polisi yang bernama Andre itu menanyai sejumlah pertanyaan kepadanya.
Lelaki itu kaget saat mengetahui anak mantan majikannya telah diculik.
"Pak, saya emang kesal karena telah dituduh mencuri oleh istrinya bos saya, tetapi saya tidak menculiknya. Bahkan saya telah menghubungi dia diantar Pak Woko untuk menceritakan bahwa saya tidak mencuri."
"Dengar, kami akan mengumpulkan bukti, kami hanya memperoleh informasi tapi kamu tetap kami awasi."
"Terserah, saya siap ditanyai kembali, karena saya tidak bersalah."
Polisi itu menatap matanya lekat lalu menyuruh dia pulang.
****
Arfan duduk di dekat bantaran sungai. Dia melempar batu-batu kecil.
"Ya Allah, kenapa jadi begini! Aku curiga ini pasti ulah si wanita itu, semoga Neng Anneke segera diketemukan dengan selamat."
Pak Woko menghubungi Arfan menanyakan keberadaannya.
"Arfan, kamu di mana?"
"Aku lagi di dekat sungai, kenapa?"
"Aku baru mendengar kalau Bu Prima ngaduin kamu, ada polisi datang enggak?"
"Aku baru pulang dari kantor polisi, ditanyain doang lalu dilepas sambil diawasi kayaknya."
"Ya ampun, aku jadi curiga nih sama Bu Prima, soalnya dia kayak enggak suka gitu sama Neng Anneke."
"Ya, eh nanti sambung lagi kayaknya enggak aman, aku ke rumah dulu deh."
"Okay nanti saja deh, aku juga masih kerja lagi nunggu Bu Prima belanja."
****
Hari sudah gelap ketika lampu-lampu menyala dengan terang, Pria yang selalu menggunakan kemeja hitam itu menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Dia baru saja tiba dari luar. Setelah memarkirkan mobilnya dia bergegas ke kamar gadis yang diserapnya itu.
Perlahan dia membuka pintu. Lelaki itu menekan saklar lampu dan melihat Anneke masih terbaring. Dia menghampiri dan segera membangunkannya.
Dia menepuk-nepup pundak dengan perlahan, tetapi gadis itu tetap diam. Anggasta menyentuh keningnya dan dia terkejut karena mendapati Anneke ternyata sedang demam itu sebabnya dia terbaring.
Anggasta buru-buru keluar, tidak jauh dari kamar dia menghubungi asistennya lewat sambungan intercom untuk mengambil obat pereda panas dan membuatkan bubur.
Satu jam kemudian ....
Anneke sudah bangun, dia menyadari waktu untuk beribadah tinggal sedikit, dia buru-buru ke kamar mandi dan mengambil wudu.
Selesai salat dia menemukan semangkuk bubur ada di meja, dia segera memakannya.
****
Anggasta menghampiri kamarnya, dia melihat gadis itu tengah duduk sambil menatap jendela.
"Apa kau sudah baikan?"
Gadis itu melirik kearahnya.
"Ya." jawabnya singkat.
Rambutnya yang tergerai bebas dan sedikit acak-acakan membuat Anggasta mencari sebuah sisir yang ternyata ada di lemari baju.
"Hey, sisir rambutmu, kau seperti ayam kecebur."
"Apa urusanmu? Rambutku ini milikku jadi biarkan, lagi pula aku enggak punya ikat rambut."
"Nanti kucarikan, sekarang sisir rambutmu."
Anneke mengambil sisir itu dan menyisirkan rambutnya perlahan.
"Besok pagi aku akan membawamu kembali ke Bandung, jadi bersiaplah."
Anneke menghentikan sisirannya. Dia bergeming lalu kembali menyisir. Anneke tidak mengeluarkan kata sepatah kata pun.
Anggasta lalu keluar dan menuju kamarnya.
*****
Johan mulai sering merasakan pusing dan tidak selera makan. Setiap hari dia memikirkan putrinya yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya.
Lelaki itu memanggil Dinah, sang asisten untuk membuatkan bubur dengan sedikit irisan jahe.
"Aku juga minta dibuatkan teh saja ya, bi Dinah, aku agak lemas, ibu ke mana?"
"Keluar ada arisan katanya, ada lagi Pak?"
"Oh, ya sudah."
Prima baru pulang lalu dia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Eh, sayang sudah makan?" Tanya Prima pada Johan yang masih terlihat tidak bersemangat.
"Sudah barusan, kamu arisan ikut berapa sih kok perasaan sering keluar?"
"Cuma tiga, dikit kok, lima jutaan."
"Lebih baik kamu urus dulu kerjaanku, aku harap kamu ke kantor melihat karyawan supaya mereka tidak merasa diabaikan."
"Ah, nanti deh, lagian selama lancar gaji aku yakin mereka akan senang-senang saja."
Johan geleng-geleng kepala lalu duduk sambil menyalakan televisi. Lelaki itu memindah-mindahkan saluran karena pikirannya tetap pada Anneke yang kini masih belum ia ketahui keberadaannya.
Prima masuk ke kamar mandi lagu lalu memerikas ponselnya berharap selingkuhannya memberinya pesan. Untuk menghindari kecurigaan, wanita itu sengaja membuka kran air.
Dua menit kemudian, Prima bersandiwara lagi dihadapan suaminya itu. Rencana untuk bertemu dengan kekasihnya semakin tinggi karena memanfaatkan kesedihan Johan.
"Besok ada acara di rumah temanku sekalian nengok sepupuku yang sakit dirawat di Rumah Sakit Bunda Kasih, kemarin Anita kecelakaan belum sempat aku tengok."
"Kenapa enggak sekalian tadi sih?"
Prima sedikit kaget dengan reaksi Johan, dia tidak mengira suaminya akan berkata seperti itu, dia berupa sesegera mungkin mencari alasan.
"Aku tuh capek, meski kita cuma makan-makan doang, tetap aja belum sempat apalagi jauh."
"Ya, terserah kamu deh."
Prima menghela napas karena merasa lega karena dia berhasil meyakinkan suaminya itu. Johan kembali diam sambil matanya menatap layar televisi.

Comentário do Livro (91)

  • avatar
    Sahata Patio

    Good story :)

    7d

      0
  • avatar
    AchmadiBudi

    saya senang ini

    21d

      0
  • avatar
    SyuhadahSyuhada

    Wow

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes