logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 BAGIAN EMPAT

Pagi yang indah diawali oleh Ayra yang berjalan kaki menuju kampusnya. Maklum saja, jarak kost-annya dengan kampus bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Terik matahari pagi ditambah dengan semilir angin yang menemani langkah kakinya. Beberapa orang lewat dan menyapanya, terutama mahasiswa baru yang mengenalinya saat PKK tempo hari. Seulas senyum ia berikan untuk membalas sapaan itu.
Menjadi mahasiswa yang aktif dalam organisasi sejak menjadi mahasiswa baru, setahun lalu, membuatnya dibenturkan dengan banyak masalah yang berujung menjadi pengalaman berharga. Selain itu, dia juga banyak mengenali orang-orang dari jurusan yang berbeda, fakultas yang berbeda, bahkan dengan orang-orang yang disebut organisator dari kampus yang berbeda. Namun, selalu ada konsekuensi untuk semua hal yang dia lakukan.
Ayra menjadi lebih sibuk dibandingkan dengan mahasiswa regular lain yang lebih memilih untuk kuliah dan pulang saja. Selain itu, dia juga akan dihadapkan dengan banyak deadline yang harus disegerakan. Ayra juga dipaksa untuk bisa mengatur waktunya dengan tepat dan cermat, sehingga akan ada banyak hal yang bisa dia lakukan. Dan itu menyenangkan, ia bersyukur atas semua kesibukkan yang selama ini diterimanya.
“Ay!” seru Lana. “Bareng, yuk!” ajaknya dari dalam mobil.
Ayra mengernyit, “Bareng? Dua langkah lagi saya sudah sampai ke gedung, Lan, ngaco kamu!” serunya.
Lana tertawa riang, “Maksud gue bareng ke kelas. Gila aja gue tahan di lift sendirian tanpa teman menuju lantai sepuluh,” ucapnya. Kemudian memajukan mobilnya dan memarkirkan dengan sebagaimana mestinya.
“Huh, kenapa juga kampus ini tingginya sampai sebelas lantai, ya? Kalo runtuh gimana, tuh?” tanya Lana.
Ayra menoleh, “Ya, semoga tidak runtuh lah! Ada-ada saja khayalan kamu tuh,” jawabnya. “Lagian, kapasitas gedung ini tuh sejajar dengan mahasiswanya. Masa mahasiswanya belasan ribu, tapi gedung kampusnya cuma sampai tiga lantai? Jubel-jubelan dong kita,” ucapnya. “Mampus nanti kamu kecium banyak bau ketek.”
“Ih, Ay!” seru Lana, dia adalah pembenci manusia-manusia yang aroma ketiaknya semerbak untuk membuat hidungnya lupa cara berfungsi.
“Lho?” sahut Ayra. “Iya, ‘kan?”
Lana mengangguk, “Iya … iya … percaya gue sama Ibu Sekretaris KPU. Gila lo, Ay, enggak pusing apa ya kepala lo jadi sekretaris KPU, masih dalam anggota BEM yang sering ikut kajian, apalagi semester tiga ini laporan praktikum kita lagi banyak-banyaknya. Meledak entar kepala lo!” ingatnya.
Ayra menekan tombol lift untuk menunjukkan lantai yang mereka tuju, pintu lift tertutup dan hanya mereka berdua yang ada di dalam kotak kubus tersebut. “Buktinya kepala saya enggak meledak, ‘kan?” tanyanya.
“Iya-iya,” jawab Lana. “Gue tahu kapasistas kepala lo ribu ribu tera tera tera teraaaa … byte!” serunya seraya membuat tangannya menjadi bola yang besar. “Byte teraaaa byte.”
Ayra mengulas senyumnya, “Tapi saya dinonaktifkan sementara dari anggota BEM kok, makanya saya jadi sekretaris, hehe,” jelasnya. “Tapi maunya saya, sih, tetap, tapi saya harus tetap ikutin alur dan administrasi yang benar.”
“Kenapa bisa dinonaktifkan?” tanya Lana. “Enggak rugi lo kalau enggak dapat sertifikat dari BEM misalkan?” tanyanya lagi.
Ayra menggeleng, “Yang penting itu ilmunya dan ilmunya sudah saya dapatkan, saatnya saya mengembangkan ilmu itu di KPU,” jawabnya lagi. “Lagipula saya sudah dapat banyak sertifikat dari BEM, kok, sampai yang terakhir kemarin jadi panitia PKK,” sambungnya.
“Kak Ditya bakal kehilangan lo dari BEM dong?” tanya Lana ambigu. “Tapi padahal dia enggak sedinas sama lo, dinas dia juga korelasinya enggak ada apa-apa sama dinas lo, tapi kok kalian bisa lengket gitu, ya? Dan asumsi gue bakal benar, Kak Ditya bakal kehilangan lo banget, sih!”
Ayra mengernyit, “Kenapa juga?” tanyanya. Bingung juga dia, kenapa akhir-akhir ini telinganya sering mendapat kabar mengenai kedekatan dia dan Ditya. Padahal kedekatan yang mereka sebutkan itu tidak pernah ada.
“Ya, lo enggak sadar apa kalo Kak Ditya itu notice lo? Dia naksir sama lo, Bego!” umpat Lana. “Dih, kesal gue kalo lo jadi sebego ini, Ay!”
Ayra mengedikkan bahunya, “Dia enggak pernah bilang, tuh,” ujarnya.
“Ya, masa dia harus bilang, Ay gue notice lo nih.” Lana mengembuskan napasnya kasar karena dia geregetan. “Enggak lah, dia mah mainnya pelan-pelan, paham gue.”
“Cuma kamu memang yang paling paham.”
“Ya, ‘kan memang?”
“Ah, udah, ngapain juga bahas Kak Ditya?”
“Ya … ya … ya …,” balas Lana. “By the way, siapa yang jadi ketua KPU?” tanyanya.
“Kak Annas,” jawab Ayra singkat.
“HAH!?” seru Lana seraya membelalakkan matanya. “Are you fucking kidding me? Kak Annasyia maksud lo?” konfirmasinya.
Ayra mengangguk, “Iya, anak tingkat tiga fisika, kenapa?”
“Dia yang udah bikin maba-maba nangis pas zaman kita, ‘kan? Barengan sama Kak Hanum?” konfirmasi Lana lagi.
“Yap. Dia tegas, makanya DPM milih dia jadi ketua KPU,” terang Ayra.
Lana bergidik, “Enggak kebayang gue gimana kalian rapat-rapat kalo dipimpin sama Kak Annas, tegang banget pasti!”
“Hahahahaha.” Ayra menggeleng-geleng, “Ada saya, ‘kan?” tanyanya.
“Dih.” Lana bergidik lagi. “Apalagi sekretarisnya lo, kaku begitu, dahlah yang jadi anggota KPU sama Bawaslu bisa tegang semua ototnya tuh,” jawabnya. “Pulang-pulang bakal keram, terus pingsan.”
“Sudah sampai, yuk ke kelas,” ajak Ayra saat pintu lift sudah terbuka. “Kamu enggak mungkin jadi penunggu lift, ‘kan?” tanyanya pada Lana yang mematung.
“Lo …,” jawab Lana. “Lo lagi mens, ya?” tanyanya.
Ayra membelalakkan matanya pias, “Hah? Kenapa?”
“Itu …,” tunjuk Lana. “Celana lo merah-merah kayak darah,” sambungnya.
Ayra menoleh ke belakang dan mencoba melihat celananya, “Mampus!” serunya. “Iya, aduh saya lupa tanggal period saya. Saya harus apa, Lan?” tanyanya panik, kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Mana lima menit lagi masuk, enggak mungkin saya pulang dan ganti.”
Lana menggigit bibirnya ikut panik, apalagi banyak mahasiswa lain yang menyoroti mereka. “Gue enggak bawa jaket atau pakaian ganti juga, Ay,” adunya prihatin.
Tanpa disadari mereka berdua, ternyata ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Mata itu juga menyadari bercak darah di celana Ayra. Dia mendekat seraya melepaskan jaketnya dan menutupi tubuh Ayra dengan jaket tersebut.
“Pakai jaket gue aja, Ay,” ucapnya.
Ayra menoleh karena ia juga kaget, “Eh, Kak Ditya,” panggilnya.
Ditya mengangguk, “Bentar lagi lo masuk, ‘kan? Pakai jaket gue aja, ikat ke pinggang lo. Dijamin enggak tembus … eh maksud gue …,” sambungnya tergagap. “Jaket gue hitam, jadi enggak bakal kelihatan. Gue duluan, Ay!” pamitnya. “Dan temannya Ay!” sambungnya lagi saat melihat Lana yang menatapnya penuh kagum.
Lana menggigit bibirnya dengan sensual, “Romantis banget, Ay …, itu lo enggak nyadar kalau dia notice lo?” tanyanya.
Ayra mengedikkan bahunya lagi, “Itu karena dia peduli, enggak mungkin juga dia mau gue malu, ‘kan? Dia manusia dan dia punya empati. Pikiran kamu jangan travelling ke mana-mana,” ingatnya. “Sudah, ah, yuk masuk! Nanti kita disemprot Bu Ghusty kalau terlambat,” ajaknya seraya menyeret tangan Lana karena perempuan itu tidak berhenti menatap kagum ke arah perginya Ditya.
***
Genta menatap kedatangan Ayra dari jauh dan dia sudah siap untuk menampilkan keahliannya. Ia mengambil gitar yang sudah dia siapkan dan mulai memetik intro untuk lagu yang ingin ia bawakan.
Jreng jreng jreng … jreng jreng jreng ….
“Kau boleh acuhkan diriku … dan anggap ku tak ada …. Tapi takkan merubah perasaanku kepadamu ….”
Suara merdu Genta langsung bergema seantero gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) saat langkah Ayra memasuki gedung tersebut. Ditambah dengan petikkan gitar dan didukung oleh teman-temannya, maka semakin absurdlah keadaan PKM sekarang.
“Kuyakin pasti suatu saat ….” Genta memberikan seringai manisnya saat Ayra mulai mendekat ke arah kerumunan mereka, anggota bawaslu. Namun, yang teriak-teriak justru perempuan lain yang ada di gedung PKM. “Semua ‘kan terjadi … kau ‘kan mencintaiku … dan tak akan pernah melepasku ….”
Saat Ayra semakin mendekat, maka semakin lebar seringai yang ditunjukkan oleh Genta. “Ini lagu buat seorang wanita yang baru saja datang, yang menatap dalam ke arah gue berdiri,” ungkapnya di sela-sela lagu.
“Kak Ayra?” tanya salah seorang penontonnya. “Iiih, beruntung banget!” serunya.
“Iya,” jawab temannya menimpali. “Kak Ayra memang sudah jadi incarannya si Genta sejak awal.
“Wajar, sih, Kak Ayra sosoknya misterius bergitu, terus si Genta petakilan dan bikin mumet kepala.”
“Hush, mending kita nikmatin aja tuh penampilannya si Genta.”
Sementara Ayra hanya menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya kencang-kencang hingga membuat dadanya kembang kempis. Dia terus berjalan mendekat ke arah Genta dengan kekesalan yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubunnya.
“A … ku mau mendampingi dirimu … aku mau cintai kekuranganmu … slalu bersedia bahagiakanmu … apapun terjadi … kujanjikan aku ad- ….”
“Kampung!” bisik Ayra ke telinga Genta, yang menghentikan laki-laki itu bernyanyi dengan tangannya menahan petikan gitar Genta agar tidak berbunyi. “Berhenti bernyanyi seperti ini karena kita mau rapat. Atau, kamu saya usir,” desisnya. Berharap tidak ada yang mendengar apa yang barusan dia bicarakan.
Genta tersenyum untuk membalas tatapan mata Ayra, “I did it, I became the person that ‘kampungan’ it was for you, just for you,” bisiknya tanpa memedulikan tatapan Ayra yang sewaktu-waktu bisa saja menguliti tubuhnya.
Genta merapikan gitar yang dibawanya tadi dan memasukkannya kembali ke dalam tas diiringi sorak-sorai penontonnya yang kecewa. “Be calm, guys!” serunya mencoba menenangkan. “Gue bakal selalu nyanyi buat kalian, kok, tapi sekarang karena Kak Ayranya sudah datang dan Kak Annas dikabarkan enggak datang, jadi kita bisa mulai rapat. Nanti pas pulang gue janji bakal nyanyiin kalian lagi, deh …,” janjinya seraya melirik ke arah Ayra.
Ayra yang menyadari lirikan itu mendengkus, “Kenapa lihat-lihat saya?” tanyanya sinis.
“Asal Kak Ayra juga denger gue nyanyi,” sambung Genta.
“ENGGAK!” tegas Ayra.
“Yaaahhhhhh,” keluh semua orang yang ada di sekitar mereka, didominasi dengan suara perempuan.
“Ayolah, Kak, kita nyanyi bareng.”
Ayra menggeleng, “Enggak,” putusnya.
“Kak Ayra ….”
“Kita mulai rapatnya, silakan duduk melingkar,” titah Ayra yang juga ikut duduk. “Berhubung Kak Annas ada praktikum yang tidak bisa ditinggalkan.”
“Sama kayak gue enggak bisa meninggalkan lo,” timpal Genta.
Ayra menoleh, “Bisa diam sebentar? Saya sedang memimpin rapat,” ingatnya.
“Anything for you,” jawab Genta seraya mengedipkan sebelah matanya. Sebuah keberuntungan juga dia bisa duduk tepat disamping Ayra.
“Jadi, untuk rapat perdana kita ini sayalah yang menjadi pemimpinnya, paham?” tanya Ayra.
“Paham …,” jawab mereka semua.
“Baik, sebelumnya saya ucapkan selamat kepada teman-teman yang sudah lolos seleksi menjadi bawaslu, semoga teman-teman bisa saling bekerja sama dan selalu menjaga koordinasi agar acara pemilihan umum kita nanti berjalan dengan lancar. Tidak ada yang salah paham apalagi sampai menimbulkan keributan,” harap Ayra.
“Aamiin.”
***
“Kak!” panggil Genta saat mereka sudah ada di luar gedung PKM.
Ayra diam.
“Kak Ayra!” seru Genta lagi.
Ayra teguh pendirian untuk tetap diam, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menanggapi laki-laki pengganggu itu. Karena orang-orang seperti itu kalau ditanggapi pasti akan semakin jadi. Maka, keputusan paling bijak adalah dengan mengabaikannya.
“Ayra!” Genta tetap memanggil seraya mengejar Ayra yang berjalan cepat. Sementara gadis itu tetap saja tidak mengindahkan panggilannya.
“Ayra Adreena Kairin!” seru Genta lagi dengan tidak menyerah. Kali ini suaranya lebih kencang hingga menarik perhatian mahasiswa lain yang sedang berkumpul, berdiskusi, atau hanya sekadar mengistirahatkan lelah di bawah pohon sekitar PKM.
Ayra mendengkus, tetapi dia tidak berhenti berjalan. “Jalan terus, Ay, anggap saja tidak mendengarkan apapun,” sugestinya.
“SAYANG!” seru Genta lagi. Kali ini seruannya lebih kencang hingga membuatnya nyaris ditimpuk dengan batu oleh salah satu mahasiswa yang memimpin rapat.
“LO BISA DIAM, ENGGAK!” seru pemimpin rapat tersebut.
“AMAN, BRO!” balas Genta seraya mengacungkan jempolnya.
Ayra berhenti karena sudah sangat malu, ia menoleh dan sudah mendapati Genta ada di hadapannya. Berjarak dua kasta. Laki-laki itu menyeringai dan terlihat sangat mengerikan. Apalagi dia harus mendongak demi melihat seringan Genta.
“Mau kamu apa, sih!?” tanya Ayra kesal. Ia mundur beberapa langkah.
“Mau memastikan kalau gue manggil lo sayang apa lo bakal berhenti, Kak?” tanya Genta tanpa rasa bersalah. “Dan ternyata iya, lo berhenti pas gue manggil lo sayang. Baiklah, mulai saat ini Genta akan memaggil Kak Ayra dengan panggilan sayang,” putusnya.
Ayra menganga, kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah berapa kali. Lalu, membuka wajahnya dan menggembungkan pipinya. Sial sekali rasanya harus bertemu laki-laki ini.
“Ini ekspresi kalau Sayang merasa bahagia, ya?”
Ayra memutar bola matanya, “Kamu maunya apa, sih? Ini enggak jelas sekali. Kamu kurang kerjaan?” tanyanya kesal. “Saya sebal loh!” rengeknya. “Capek, tahu!”
Genta menggelengkan kepalanya pelan, “Selain cantik banget, ternyata lo juga imut banget, Sayang,” ungkapnya
Ayra membelalakkan matanya sekaligus menjambak rambutnya. “Kenapa juga kamu jadi memanggil saya dengan panggilan sayang, sih?” tanyanya.
“Supaya lo dengar panggilan gue,” jawab Genta.
“Gila!” seru Ayra. “Terserah!” sungutnya. Memutar badan, lalu dia tinggalkan Genta dengan berlari kencang. Seperti laki-laki itu adalah seorang monster.
“Ck ck ck.” Genta menggelengkan kepalanya dengan tatapan mata kagum ke arah punggung Ayra yang mengecil. “Dia cantik dan imut banget,” pujinya. Kemudian, ia menutup wajahnya malu-malu.
***

Comentário do Livro (16)

  • avatar
    MaulanaArfan

    bagus skli

    19d

      0
  • avatar
    gielgalih

    good

    14/06

      0
  • avatar
    ShajoCatur

    ketegasan yg harus ditunjukkan oleh ayra,biar gak dianggap murahan pada genta yg lg bucin

    10/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes