logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Our Destiny Lies Above Us

Our Destiny Lies Above Us

rumytashann


Capítulo 1 PROLOG

“Eh … eh … aduh!” keluh Genta saat beberapa barang bawaannya berhamburan ke lantai karena dia menabrak seseorang. Ia buru-buru memungut dan menyusun kembali barang bawaannya tadi, sehingga lupa dengan orang yang tadi dia tabrak.
“Enggak mau minta maaf?”
Pertanyaan dengan nada sengit itu masuk ke telingan Genta dan cukup manjur untuk menciutkan nyalinya. Harusnya, dia bisa mengingat bagaimana pesan kakak kelasnya dulu agar bisa santun dan baik sebagai mahasiswa baru, dia justru membuat masalah di hari pertama pra-orientasi. Mampuslah dia!
“Budek?”
Genta mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian memberanikan diri untuk mendongak. Terlihat di depannya sekarang adalah seorang perempuan dengan wajah yang sudah memerah dan mata yang menatap tajam. Persis seperti Kak Ros saat memarahi Upin dan Ipin yang terlambat pulang, mengerikan, dia jadi ingat saat ibunya sedang marah-marah. Genta jadi teringat akan kakanya, mereka sudah tidak seakrab sebelum kakaknya itu menikah.
“Sumpah? Lo budek beneran!”
Genta menggeleng patah-patah, “Eng- enggak, Kak,” jawabnya.
Perempuan tersebut mendelik, “Tapi gagu, ya?” tanyanya.
“Siap, enggak juga, Kak!” seru Genta dengan segera berdiri. Dia sudah tidak memedulikan lagi barangnya yang masih berserakan. Nasibnya sebagai mahasiswa baru dipertaruhkan di sini.
“Masih belum mau meminta maaf?”
Genta mengangguk, “Maafkan saya karena sudah menabrak Kakak!” serunya tegas.
Perempuan tersebut menaikan alisnya, “Tahu nama saya?” tanyanya.
Genta menggeleng, “Siap, tidak, Kak!”
“Sudah membaca pesan di grup whatsapp supaya kalian mengenali semua kakak tingkat yang akan melakukan kegiatan perkenalan, ‘kan?”
“Siap, sudah, Kak!”
Perempuan tersebut berdecih, “Kenapa enggak kenal gue?”
“Siap, karena kita belum kenalan, Kak!”
Perempuan tersebut berdecih sekali lagi, “Ngelunjak!” desisnya.
Genta menarik dan menahan napasnya hingga keringat sebesar butiran jagung memenuhi keningnya. Perempuan di hadapannya ini lebih kecil dan mungkin bisa dia taklukan dengan melakukan smackdown satu kali. Namun, apa dia punya nyali sebesar itu? Tentu saja tidak, Genta tidak punya.
Genta menenggak air ludahnya sesering mungkin untuk menetralisir rasa cemasnya. Apalagi sekarang perempuan di depannya ini sedang menatapnya dengan lebih intens. Dia merasa bahwa dirinya seorang terdakwa yang kedapatan mencuri pohon rambutan dengan mencabut dari tanah. Hal yang tidak mungkin, tapi Genta tetap panik.
“Diam saja?”
“Siap, tid-.”
“Kak, pelaksaan ospeknya masih dua hari lagi, belum sekarang,” potong seorang perempuan.
Genta menoleh dan melihat perempuan tersebut menatap teduh pada wanita yang daritadi sudah mempermainkan mentalnya. Wajah perempuan yang baru sampai tersebut terlihat tegas, tetapi lembut sekali waktu. Ia memperhatikan lekat-lekat supaya nanti tetap ingat. Dan ketika Genta sudah melewati semua proses orientasi, maka dia akan mencari wanita tersebut.
“Lo ganggu!”
“Kita siapin energi untuk hari H saja, Kak.”
Perempuan pertama menoleh lagi pada Genta, “Saya beri tanda sama muka kamu!” serunya. Kemudian, berlalu pergi menuju ruang perkumpulan untuk semua panitia orientasi dan disusul dengan perempuan satunya tanpa berpamitan dengan Genta.
Genta memegangi dada di bagian jantungnya yang saat ini berdegub kencang. Deguban bukan karena panik dimarahi oleh kakak tingkat, melainkan deguban yang lebih membahagiakan dan menghasilkan ribuan kupu-kupu terbang di perutnya. Deguban seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta.
***
Genta memandangi lilin yang masih hidup dan menerangi kamar kost sepetak yang dia sewa ini. Jam delapan malam mati lampu, saat dia sedang hectic mempersiapkan perlengkapan orientasi mahasiswa baru yang kurang. Sepertinya nasibnya sebagai mahasiswa baru sangat naas. Siang tadi sudah ditandai oleh kakak tingkat dan rumornya orientasi yang akan dilaksanakan nanti menjadi ladang balas dendam dan mencari tumbal oleh kakak tingkatnya.
Belum saja Genta tenang dengan masalah tersebut, malamnya ia baru saja ingat akan sesuatu. Ada perlengkapan dan atribut ospeknya esok hari yang kurang dan dia harus segera membuatnya. Sedang asyik-asyik membuat, tiba-tiba token listriknya berbunyi dan dalam hitungan menit langsung mati. Genta merutuki kesialan bertubi yang dia hadapi hari ini, tetapi ia tetap harus menyelesaikannya, bukan?
Genta menoleh pada laki-laki paruh baya yang sedang terlelap di kasur tipis sebagai fasilitas dari kostannya. Itu bapaknya yang memang diminta oleh ibunya untuk menemaninya melewati masa orientasi. Tadi bapaknya memang membantunya, tetapi Genta meminta bapaknya untuk beristirahat karena terlihat sangat lelah. Akhirnya, dia harus mengerjakan semuanya sendirian.
Genta mengembuskan napasnya, “Pak, kalau nanti Bapak menjenguk aku di kostan, aku pastikan Bapak enggak pakai kasur tipis itu lagi,” ucapnya dengan pelan karena takut mengganggu. Terbersit kekesalan di hatinya karena mendapatkan kasur yang sangat tipis. Namun, segera ia enyahkan setiap keluhan itu. Karena dia harus bersyukur mendapatkan kostan dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan sekitar dan ia harus menjaga hatinya, takut nanti malah jadi sial lagi.
Genta lantas kembali mengerjakan pekerjaannya agar lekas selesai dan dia tidak perlu tidur terlalu larut. Takut besok jadi susah bangun dan dia terlambat mengikuti orientasi. Setelah semuanya selesai dan sudah dirapikan, Genta beranjak untuk mencuci kaki dan tangannya. Kemudian, ia berbaring di samping bapaknya. Dan dalam hitungan menit … Genta sudah terlelap.

Comentário do Livro (16)

  • avatar
    MaulanaArfan

    bagus skli

    19d

      0
  • avatar
    gielgalih

    good

    14/06

      0
  • avatar
    ShajoCatur

    ketegasan yg harus ditunjukkan oleh ayra,biar gak dianggap murahan pada genta yg lg bucin

    10/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes