logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

The Skeleton is Evolving Each Time

The Skeleton is Evolving Each Time

Tsabbit Nasrulloh


Capítulo 1 Faredya Reinhart, Kehidupan yang Telah Usai

Aku baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahku yang menumpuk di akhir pekan. Pegal rasanya jari jemariku setelah banyak mengetik. Suara sendi yang nampak kaku pun terdengar saat aku meregangkan bagian tubuhku yang terasa pegal.
Kelopak mata terasa berat.
Melirik jam yang menempel di dinding, waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Orang-orang mungkin telah bangun untuk memulai aktivitas mempersiapkan segala hal untuk menyambut matahari yang akan segera muncul di balik bukit tak jauh dari apartemenku, tapi aku malah sebaliknya.
Sungguh, hal ini telah menjadi kebiasaanku tiap akhir pekan ini. Sebenarnya tak baik untuk tubuhku, aku pun menyadarinya. Tapi, sulit rasanya mengubah kebiasaan ini yang tanpa disengaja aku melakukannya. Entah apa penyebab aku menjadi seperti ini. Yang pasti, aku ingin mengubah kebiasaan burukku.
“Ngantuk sekali. Hoam...” aku berjalan ke toilet untuk membuang hajat kecil sebelum memenuhi rasa kantukku yang telah jauh tertunda.
Saat itu, sabun bekas yang telah digunakan untuk mandi olehku sore tadi terdampar di lantai toilet. Aku yang tak terlalu memperhatikan sekitar tak menyadarinya sedikitpun.
Pada saat telapak kakiku menginjaknya, sebuah dorongan ke arah depan yang terasa kuat pada kakiku tanpa terkendali membuatku terjatuh dengan jungkir balik. Dunia dalam pandanganku nampak berputar. Tapi aku tahu, tubuhkulah yang sedang berputar itu. Hingga tiba-tiba, pandanganku gelap entah mengapa.
...
Aneh. Itulah yang pertama kali menyambut pandanganku setelah aku membuka mata. Aku mulai menggerakkan tubuhku, tapi saat itu aku baru menyadari adanya sesuatu yang sulit untuk digambarkan terjadi pada tubuhku.
Perasaan saat telapak kaki maupun tangan saat menyentuh sesuatu, rasanya seperti aku tak merasakan tekstur benda yang kusentuh. Tapi, aku dapat mengidentifikasi benda yang kusentuh ini, seperti batu yang sedang kugenggam misalnya. Bentuknya tak beraturan, akupun tahu bahwa batu itu kasar. Tapi, aku tak merasakan tekstur kasar dari batu yang sedang kugenggam ini.
Aku menelan ludah, tapi sebenarnya aku tidak melakukannya secara fisik. Seolah, aku tak memiliki organ, daging, lendir, ataupun yang lain. Aku hanya menginterpretasikan perasaanku saat sebelum aku... Sebentar!
Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku berada dalam situasi seperti ini?
Saat aku dibingungkan oleh pertanyaanku sendiri, aku ternyata sedang berjalan tanpa kusadari. Dan, aku kini baru saja keluar dari mulut gua.
Pemandangan yang kulihat adalah sesuatu yang sangat baru bagiku.
Lautan kerangka manusia yang bergerak-gerak dengan kaku berjalan pelan di atas tanah gersang. Gelagat mereka aneh, tapi memang tak perlu dikatakan lagi. Bagaimanapun, mereka hanyalah kerangka yang dapat bergerak dan itu telah cukup untuk dikatakan aneh.
Entah bagaimana mereka dapat bergerak, tak ada otot maupun cairan pada persendian, apalagi darah. Tak masuk akal memang, mekanisme geraknya tak dapat diidentifikasi disebabkan oleh apa. Yang pasti, mereka bergerak tetapi gerakan mereka acak, karena tak memiliki otak sebagai pusat instruksi bagi tubuh untuk bergerak dengan teratur.
Lalu, pandanganku beralih pada tubuhku sendiri. Aku penasaran dengan alasan perasaan aneh yang kurasakan saat ku masih menenangkan pikiranku dan mencerna situasi sebelumnya. Aku pun akhirnya terbelalak kaget.
Aku melihat tulang rusuk berderet tersusun rapi pada dada bidangku. Tangan, kaki, semua yang kulihat hanyalah kerangka manusia seperti apa yang kulihat pada lautan kerangka manusia di depanku.
Mulutku terbuka, tapi tak ada suara yang keluar darinya. Jelas, tak ada pita suara maupun paru-paru untuk memompa udara. Saluran untuk menghirup udaranyapun tak ada.
Aku terbengong cukup lama mengetahui kenyataan ini.
Aku seharusnya siap menerima kenyataan bahwa aku bukan lagi manusia normal setelah mengetahui pandangan visual yang kuterima dari mataku yang juga berbeda. Tapi, hatiku tak bisa menerima itu semua...
Seolah-olah otot-ototku lemas, aku jatuh terduduk menatap langit yang kulihat hanyalah kegelapan tanpa batas.
Saat aku mulai merasa semakin frustasi, sebuah layar yang cukup bening tiba-tiba muncul di hadapan pandanganku. Bentuknya persegi panjang dan ada motif yang pada masing-masing sudut layar terdapat bentukan tengkorak manusia yang disederhanakan.
Aku cukup familiar dengan layar seperti ini. Terbayang dalam benakku sebuah perangkat keras yang menemaniku untuk yang terakhir kalinya sebelum hal ini terjadi. Benar, layar bening ini mirip laptop atau lebih jauhnya lagi, telepon genggam. Jadi, saat kemunculannya, aku tak merasa bingung mempertanyakan hal apa itu.
Bagaimana layar seperti ini muncul?
Namun tentu saja, aku masih tak tahu layar apa itu sebenarnya dan dari mana itu. Aku tak melihat asal dari terbentuknya proyeksi dari layar bening itu. Hanya saja, aku tak memiliki minat untuk mencari tahu lebih jauh tentang asal layar bening itu dan bagaimana itu bisa muncul.
Dalam situasi normal, aku pasti akan merasa antusias mendapati hal seperti ini. Tapi, rasa frustasi menghadapi kenyataan ini lebih mendominasi.
Akupun mulai membaca tulisan yang tertera pada layar. Lalu, aku menaikkan alisku, jika memang ada. Aku hanya membayangkannya aja sebagaimana kondisi tubuhku sebelumnya.
Apa yang tertera di sana adalah sebuah informasi yang kupikir, informasi ini mengenai diriku saat melihat jenis makhluk yang bertuliskan ‘Kerangka hidup’ itu dan namaku sendiri.
Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Faredya Reinhart, dulu berumur 20 tahun, masih berkuliah, dan status pasangan jomblo. Tentunya, aku masih perjaka. Aku tak memiliki keluarga lagi semenjak kedua orang tuaku meninggal akibat pandemi yang akhir-akhir ini semakin mengganas. Sehingga, aku yang kupikir telah meninggal ini tak meninggalkan penyesalan tentang orang tuaku. Harusnya, aku meraih mimpiku dahulu. Tapi yah, takdir tak memberikan izin untukku menggapainya.
Sebenarnya, aku bisa saja mengklaim fenomena yang kualami ini sebagai mimpi. Namun, aku tahu bahwa aku hanya ingin menenangkan pikiranku yang sedang kacau ini. Lalu, aku beralih pandangan pada tulisan.
Atau bisa saja aku berpikir tentang tempat ini yang adalah Neraka atau bahkan Surga. Namun, entah bagaimana hatiku menyangkal seratus persen hal itu. Jadi, untuk saat ini, aku harus mempercayai apa yang kupercayai saat ini.
STR ini kekuatan, ya? Lalu, ada INT, AGI, dan VITjuga. Semuanya terasa familiar, sungguh. Aku merasa, apa yang kupahami tentang keempat hal itu sesuai. Tapi, meski aku tahu gambaran tubuhku secara numerik, aku belum mengetahui standar angka yang patut dimiliki. Siapa tahu, aku menjadi orang terlemah atau tanpa diduga, menjadi orang yang paling kuat sedunia. Keren sekaligus mengerikan, bukan?
Setelah aku beradaptasi dengan keadaan ini, aku mendapat kesimpulan yang masih kasar. Dunia ini pasti memiliki sihir, dan kerangka hidup itu bergerak karena adanya sihir ini.
Setelah cukup puas mengamati layar bening ini, aku beralih pandangan lagi menyisir kerangka-kerangka hidup itu. Aku melihat mereka saat ini sedang bergerak ke satu arah. Hal itu tentu membuatku penasaran. Aku telah mengesampingkan perasaan frustasiku yang takkan berguna, kupikir. Jadi, aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti arus.
Rasanya aneh berjalan beriringan dengan kerangka hidup seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, toh aku juga kerangka hidup seperti mereka.
Untuk saat ini, aku menerima kenyataan itu.
Caraku berjalan atau bergerak dengan mereka sangat berbeda. Aku memang masih bergerak dengan kaku, tapi aku semakin terbiasa karenanya. Kecepatan jalankupun sepertinya dua atau tiga kali lebih cepat daripada kecepatan jalan kerangka-kerangka hidup ini. Jadi, puluhan atau bahkan ratusan kerangka hidup telah kulewati dan kini, aku berada di beberapa barisan di lini depan sesaat sebelum akhirnya sebuah gerbang yang baru kulihat terbuka yang pada saat pertama kali aku melihatnya masih tertutup.
Gerbang itu terlihat menyeramkan dari gaya penampilannya, sebagaimana suasana yang terasa dan juga berukuran sangat besar dengan sepasang pintu menempel di dua sisi. Lalu pada kedua sudut bagian atasnya terdapat tengkorak manusia yang berukuran besar, yang sangat sesuai untuk menggambarkan sebuah kebanggaan bagi skeleton-skeleton ini.
Mereka semua memasuki gerbang itu setelah sepenuhnya terbuka, termasuk aku. Meski sebelumnya merasa ragu, tapi aku berpikir optimis tentang ini.
Karena firasatku mengatakan, sesuatu yang menarik akan terjadi nanti.

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    BdgPersib

    bagus

    11d

      0
  • avatar
    AthayaRasya

    cerita yang sangat bagus

    26d

      0
  • avatar
    abangtopi

    ternyata asik jga ya

    03/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes