logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Anak Sakit, Suami Tak Bisa Dihubungi

#POV Yania
Satria terus menangis di dalam gendonganku, mendadak suhu badannya pun tinggi. Aku tak bisa meninggalkan ketiga anakku yang lainnya di rumah tanpa pengawasanku atau orang dewasa. Tak bisa pula kutitipkan pada tetangga.
Ada memiliki rasa tak enak yang sangat besar jika harus merepotkan tetanggaku, sebab mereka juga memiliki anak kecil. Sudah barang tentu aku akan menjadi tetangga yang tak pengertian jika menitipkan anak-anakku walau hanya sebentar saja.
Tadi, suhu badannya Satria masih normal. Namun, sekarang malah mendadak tinggi lagi. Sudah pukul tiga sore, Bang Indra pun belum juga muncul. Entah masih di lokasi proyek atau bagaimana, aku tak tahu. Kuharap, dia baik-baik saja.
"A Abi, coba tolong ambilkan hape Mama, Nak!" pintaku sembari menenangkan Satria.
Aku sendiri tengah kerepotan menggendong si bungsu. Dia benar-benar rewel sekali dan tak ingin di bawa masuk ke rumah. Maunya terus menempel padaku.
"Ini, Ma." Abi menyodorkannya padaku benda pipih itu.
"Aa tolong teleponin Papa dulu, ya! Adeknya makin rewel, nih."
Satria terus menggeliat di dalam gendonganku. Mungkin rasa nyeri mendera badannya. Aku pun akan begitu juga jika diserang demam tinggi. Nyeri sekujur tubuh takkan bisa dihindari jika demam melanda.
"Gimana, A?" tanyaku penuh harap. Abi mengangkat kedua bahunya.
"Belum diangkat, Ma," jawab Abi.
"Coba telepon terus, ya, A! Mama mau siap-siap dulu," kataku sambil berlalu ke kamar.
"Mama mau ke mana memangnya? Mau nyari Papa?" tanya Abi. Dia mengekoriku ternyata.
"Enggak, A. Satria demam tinggi ini. Enggak bisa kalo cuma diem aja begini."
"Loh, bukannya kemaren Satria udah sembuh, ya, Ma?" Dia menyodorkan handphone itu padaku. Alhamdulillah mungkin sudah dijawab Bang Indra.
"Iya, ini makanya Mama mau bawa ke rumah sakit. Halo, Bang!" kataku tanpa melihat layar ponsel.
"Hape Papa enggak bisa dihubungi lagi, Ma." Abi menimpali.
Aku memejam seraya menghela napas panjang, lelah sekali rasanya seperti ini. Kugeletakkan Satria di kasur, dia masih saja menangis. Wajahnya sampai merah. Biarlah dulu. Aku hanya sebentar mempersiapkan segalanya yang akan dibawa.
"Ya, udah, Aa sama adek-adek cepet siap-siap, ya! Teh Syafa jangan lupa bilangin untuk pake kerudung, ya, A," titahku sedikit memekik karena Abi sudah berlari sebelum aku selesai bicara. Ditambah lagi suara tangisan Satria yang kencang.
Sambil mengenakan pakaian, aku memesan taksi online untuk mengantarkan kami ke rumah sakit. Cepat-cepat kugendong Satria. Kuperiksa semua sudut rumah sebelum kutinggalkan pergi. Anak-anak sudah menunggu di luar.
Tanpa menunggu lama, taksi online yang kupesan pun tiba. Segera semua kusuruh masuk. Biarlah kubawa mereka ke rumah sakit, ini darurat. Semoga saja Allah melindungi kami. Kusempatkan sebentar menitip pesan ke tetangga untuk disampaikan pada Bang Indra jika nanti dia pulang. Aku khawatir dia mencari-cari kami.
Lima belas menit waktu yang ditempuh dari kediaman kami, akhirnya kami pun tiba di salah satu rumah sakit terbesar di Cikarang. Kuminta taksinya menunggu sebentar selama aku memeriksakan Satria di dalam.
"Aa Abi, jaga adek-adek bentar, ya! Mama sebentar doang ke dalem."
Abi mengangguk. "Iya, Ma."
Aku menoleh sebentar ke arah mobil. Kepala ketiganya menyembul diantara jendela kaca yang terbuka.
Kupercayakan keselamatan dan keamanan anak-anakku pada Allah Ta'ala dan aku yakin supir taksinya juga orang yang baik.
Setelah mengambil nomor antrean, aku menunggu agak lama. Satria masih terus menangis. Sembari menenangkannya, aku mencoba menghubungi Bang Indra lagi, tetapi nihil! Nomornya benar-benar tak bisa dihubungi. Mungkin kehabisan daya, pikirku.
Akhirnya giliranku tiba, kugeletakan Satria di atas brankar sesuai perintah dokter. Stetoskop itu menyentuh kulit Satria. Kuperhatikan ekspresi dokter yang berbeda dari yang sebelumnya. Intinya membuatku tambah panik.
Kugendong kembali anakku setelah dokter selesai memeriksanya. Aku duduk di kursi seberang meja kerja dokter perempuan berkerudung instan itu.
"Bu, anaknya harus dirawat, ya! Seperti keterangan yang Ibu katakan tadi, demam sudah beberapa hari kemarin, sempet sembuh, dan sekarang mendadak demam tinggi. Saya khawatir types atau demam berdarah. Melihat bintik-bintik merah di beberapa bagian tubuh ...."
Aku meneguk liurku, tak percaya rasanya, tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan anakku, lebih baik dokter menanganinya secara intens.
"Iya, Dok." Aku merasa mataku sudah penuh air mata hingga kesulitan melihat dengan jelas.
Tak tega rasanya melihat tangan kecil Satria ditusuk jarum infuse beberapa kali karena gagal terus menemukan venanya, akhirnya dipasang di kaki oleh perawat.
"Sabar, Sayang! Maafin Mama masih belum bener ngurusin kamu, ya, Nak." Sesak sekali dadaku melihat tangisnya. Pasti dia sangat kesakitan dan tak nyaman berbaring di situ.
Aku memesan kamar VIP agar tangisan Satria tak mengganggu pasien lain. Bagaimanapun mereka butuh ketenangan juga. Biarlah, toh, uang Bang Indra banyak. Masa dia tak akan rela untuk kenyamanan anaknya sendiri.
Setelah Satria agak tenang, aku akan keluar untuk menemui anak-anakku dan membayar tagihan taksi dan menjemput mereka ke sini.
"Sus, saya nitip anak saya sebentar, ya, Sus. Saya mau keluar, tiga anak saya yang lain lagi nunggu di sana." Mataku memandangi Satria yang mulai terlelap.
"Oh, iya, Bu."
Setengah berlari aku menuju parkiran mobil. Kulihat anak-anak duduk di bantalan taman. Supirnya sedang menunggu di bawah pohon.
"Pak, berapa, ya?" tanyaku.
Pria yang menurut perkiraanku usianya hampir sama dengan Bang Indra itu menyebutkan nominalnya. Segera kubayar saja.
"Loh, enggak jadi pulang, Bu?" tanyanya ingin tahu.
"Enggak, Pak. Anak saya harus dirawat. Makasih banyak, ya, Pak." Aku memeluk ketiga anakku.
"Yang sabar, ya, Bu. semoga anaknya lekas sembuh dan Ibu beserta keluarga diliputi kebahagiaan. Terima kasih banyak juga udah melebihkan bayarannya," kata pria itu dengan tulus.
Kami melangkah bersama dengan langkah seribu, khawatir kalau Satria terbangun dan menangis, nanti malah merepotkan suster.
"Ma, Satria sakit apa?" Syafa bertanya sambil memandangku sebentar.
"Belum tau, Teh. Hasil tes lab-nya belum keluar, tapi Bu Dokter udah saranin kalo Satria harus dirawat, khawatir kalo malem malah ngedrop atau apa. Ayo, kita agak cepet! Nanti keburu Satria bangun," ujarku sambil menggandeng Bian.
Abi dan Syafa saling bergandengan tangan dan kami jalan beriringan. Akhirnya sampai juga di depan kamar rawatnya. Syukurlah belum ada suara tangisan yang kudengar.
"Assalamu'alaikum!" ucapku. Suster itu menoleh.
"Wa'alaikumsalam!" Dia tersenyum sambil memeluk berkas yang dibawanya tadi. "Saya permisi, Bu."
"Makasih banyak, Sus," kataku sambil mengangguk.
"Sama-sama, Bu." Suster itu langsung menghilang ketika pintu tertutup.
Sudah waktunya Salat Ashar. Selagi Satria masih tidur, aku meminta Abi menjaga adiknya sekejap. Kubawa Syafa ke masjid di rumah sakit ini.
"Bian di sini aja sama A Abi dulu, ya!" titahku. Anakku itu pun menurut.
Sebenarnya mereka anak yang penurut. Hanya saja terkadang aku lelah jika melihat rumah seperti kapal pecah. Lima menit kubersihkan, semenit kemudian langsung tumpah mainan sekeranjang.
Bian menatapku sedih. Kalau aku pergi bersama Satria, air mukanya takkan seperti itu. Karena aku pergi bersama Syafa makanya matanya berkaca-kaca. Mungkin dia berpikir aku akan pergi jauh ke mana.
Aku berjongkok seraya mengusap pipinya. "Mama sebentar aja, Sayang. Mama salat dulu di masjid. Aa Bian di sini sama A Abi jagain Dek Satria, ya? Nanti kalo Mama selesai salat, pasti langsung ke sini lagi, enggak ke mana-mana, kok." Aku mencoba memujuknya.
Dia hanya mengangguk.
***
Satria masih tertidur juga saat aku kembali dari masjid. Mungkin dia lelah karena menangis terus. Semalam dia juga terus menangis, makanya kupindah ke kamar Syafa agar Bang Indra bisa beristirahat.
"A Abi salat dulu sama A Bian, ya! Di sini aja," suruhku. Keduanya mengangguk.
Kupandangi terus wajah lelap Satria di balik selimut bergaris biru khas rumah sakit. Sudah seminggu belakangan dia tidak tidur senyenyak ini. Syafa meletakkan kepalanya di pangkuanku.
"Teteh kalo ngantuk, bobok aja di ranjang yang itu," tunjukku. Dia menggeleng.
Anak-anakku jarang mencari papanya. Sekalipun bertemu, ya, hanya sekadarnya saja. Tak pernah menempel layaknya anak-anak lain. Jadi, mereka tak pernah merengek atau rewel karena kecarian papanya. Mungkin mereka sudah terbiasa ditinggal oleh Bang Indra dan tak bertemu hingga berhari-hari.
Dua jam sudah berlalu, Satria belum juga bangun. Perasaanku jadi tak enak. Segera kupanggil perawat untuk memeriksanya. Kebetulan sekali dokter datang untuk membacakan hasil lab.
"Sus, segera bawa ke ruang ICU!" titah dokter itu pada perawat yang datang bersamanya.
"Hah? Apa? Kenapa?" Tak ada yang menjawabku.

Comentário do Livro (264)

  • avatar
    Abdul Rizal

    lanjut dong ceritanya

    4d

      0
  • avatar
    Bayu Erlangga

    mantapp

    15d

      0
  • avatar
    RenaldiAkbar

    Baik

    20d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes