logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Antara Istri dan Selingkuhan

#POV Indra
Aku terpental karena suara empasan pintu yang menabrak dinding. Sepasang mataku yang masih buram terhalang sisa-sisa kabut tidur menangkap wajah perempuan yang penuh kemarahan di ambang pintu.
Dadanya naik turun, otot-otot wajahnya seperti ditarik ke titik tengah, sehingga banyak tumpukan kerutan di sana. Yania berdiri dengan tegak. Kenapa dia? Tak pernah dia semarah ini, bahkan dia tak pernah seperti ini selama kami bersama. Mengempas pintu bukanlah kebiasaannya.
Jika tak sengaja, tentu tak mungkin, dia pasti akan langsung minta maaf. Air mukanya benar-benar menunjukkan kemurkaan.
"Ayo, jawab! Siapa Bala-bala kadut ini?" Yania membentakku.
Ini pertama kalinya dia begini. Kenapa? Aku jelas kebingungan. Selama ini kami baik-baik saja dan semalam juga kami saling bercengkerama seperti biasanya. Jakunku sampai naik turun. Sesekali kujilat bibirku sendiri yang sedari tadi menganga karena Yania.
"Kamu ngagetin aku aja, Yan," kataku.
"Oh, sedang mimpi indah dililit Bala kadut, ya," ledeknya dengan senyum yang dipaksakan.
Hah? Apa, sih? Bangun tidur karena dikagetkan, sekarang dikasih teka-teki tentang hal yang aku tak mengerti begini.
"Bala kadut apa, sih? Mimpi indah apa? Aku 'kan, baru pulang dinas, Yan. Jam dua dini hari baru bisa mejamin mata ini. Jelas aja aku kaget." Kuusap wajahku dengan kasar.
"Kamu jangan main api di belakangku, Bang!" tekannya. "Di rumah ini udah banyak bara api berantakan yang belum bisa kusingkirkan," terangnya lagi.
Main api? Apa jangan-jangan ....
"Tolong katakan dengan jujur, Bang. Siapa ini?" tanya Yania dengan sedikit menurunkan nada suaranya.
Dia menunjukkan ponsel khusus yang sengaja kubeli untuk berhubungan dengan Siska. Habislah sudah! Yania mengetahuinya. Dari mana dia mendapatkannya? Kok, bisa?
Aku bingung harus menjawab apa padanya. Otakku memdadak jadi lambat bekerja gara-gara kaget dan terpojokkan seperti ini.
"Itu istrinya Dika, Yan. Hape dan dompetnya enggak sengaja ketinggalan pas kemarin dia ngunjungin aku di tempat proyek. Jadi, ya, kubawa pulang aja. Besok baru kukembalikan," kilahku. Tiba-tiba saja aku teringat dengan Dika yang seminggu lalu ke tempat proyekku.
Maafkan aku, Dik! Dika saja masih lajang. Syukurnya Yania tak tahu tentang itu. Semoga ini bisa membantuku untuk menyelamatkan diri.
"Yang betul, Bang?" tanyanya lagi. Dia seperti tak yakin dan masih mencurigaiku. Aku mengangguk saja dengan cepat.
"Iya, kapan aku bohong sama kamu, Yan? Selama ini semuanya kukasih sama kamu," kataku. Aku sudah mulai agak tenang, tak gugup seperti tadi.
Yania memandangi lekat wajahku diam-diam, aku sadar itu. Kurampas lembut ponsel itu dari tangan Yania seraya menghela napas lega.
"Kenapa kayak gitu Abang buang napasnya? Kayak yang lega gitu." Dia memandangiku penuh selidik.
Astaga! Aku sampai kewalahan begini. Bahkan helaan napasku saja bisa membuatnya curiga.
"Loh 'kan, enggak salah kalo aku bersyukur. Kalo tadi hape ini sampe kerendem, bisa gawat. Ini hape orang, kalo ada data-data penting gimana?" Kuangkat daguku.
Yania masih memandangiku dengan tatapan curiga. Aku paham kalau dia tak akan semudah itu percaya dengan perkataanku. Insting wanita jika sudah curiga maka akan tajam seperti belati.
Aku bangkit saja dan kugeletakkan benda pipih itu di atas nakas. Biar Yania tak curiga, biar dia mengira bahwa handphone itu milik Dika.
Kuraih handuk yang tergantung di balik pintu. Kuputuskan untuk mandi saja, sudah kepalang tanggung. Rasa kantuk pun sudah merayap entah ke mana.
"Lain kali, tanya aku baik-baik, Yan. Kalo tadi aku kena serangan jantung, terus mati, gimana?" Kucolek ujung dagunya seraya tersenyum simpul.
Langkahku jadi terasa berat, seperti ada beban yang menggantung. Seperti inikah rasanya ketahuan walau masih kulitnya saja?
Baru saja kusampirkan handuk dan kututup pintu kamar mandi, sudah terdengar gedoran dari luar. Ini benar-benar bukan Yania-ku.
"Buka, Bang!" pintanya memaksa.
"Apa lagi, Yan?" tanyaku lesu dengan kepala yang muncul dari celah pintu.
Kuambil kertas yang Yania sodorkan, lalu pintu kamar mandi yang berwarna biru langit itu kubuka lebar.
Lagi-lagi jejakku tertangkap. Padahal seingatku kertas bukti pembelian emas ini sudah kuremas dan kubuang. Kutenggak liur basiku yang rasanya jelas tak enak. Kusodorkan kembali kertas itu pada Yania. Kulihat dia kebingungan.
"Tolong letakkan di deket hape tadi, ini punya Dika." Aku menyunggingkan senyum. Perasaanku kacau balau, tak tahu harus apa. Otakku buntu seketika.
"Kamu enggak lagi bohong 'kan, sama aku, Bang?" tanyanya penuh selidik.
"Bohong apa, sih? Ini kalo aku emang beli kalung, pasti udah nyangkut dilehermu, Yan. Tapi kenyataannya, kan, kamu enggak suka pake perhiasan." Kuusap lembut leher jenjang Yania.
"Kamu jangan macem-macem, Bang!" ancamnya.
"Aku mandi dulu, Yan. Enggak ada yang lagi macem-macem sama kamu," tandasku, lalu pintunya kututup.
Kuhirup banyak-banyak udara di dalam sini. Sejak di kamar tadi aku sudah kehilangan banyak kesempatan untuk bernapas.
Padahal aku berniat untuk memberitahu Yania, tetapi ketahuan seperti ini sudah membuatku ketar-ketir. Oh, Siska! Entah ini akan seperti apa nanti.
***
Usai mandi dan berpakaian, diam-diam aku mengamati sekeliling. Kuketik password ponsel itu ketika kutahu Siska mengirimiku chat.
[Kutunggu, ya, Bang. Aku udah di Tangerang. Aku mau ketemu sama Abang hari ini. Pengen ngasih liat ke Abang kalung yang menggantung di leherku ini.] My Hunny Bala-bala.
Aihs! Dia sudah tiba saja. Padahal semalam baru bertemu dan hari ini dia sudah rindu saja padaku. Aku tergelak senyum seraya menggeleng. Aku pun rindu pada Siska jika harus berkata jujur!
Kemeja cokelat muda lengan pendek dan celana jeans hitam sudah melekat di tubuhku. Rambut cepak kuoles pomade. Tak lupa kusemprotkan parfume di setiap sudut tubuhku. Usia sudah kepala empat, wajahku terlihat semakin matang.
"Ehm! Ehm!" Kaget aku dibuat Yania yang mengendus tubuhku.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil menariknya masuk ke dalam ketiakku. Dia memukulku dan melepaskan diri.
"Kenapa, sih? Biasanya seneng banget ada di sini," kataku sambil menujuk bagian ketiak.
"Harummu terlalu nyengat, Bang. Ini enggak kayak kamu yang biasanya." Dia masih mencurigaiku ternyata.
Aku mengusap-usap hidungku dengan kasar. "Masa, sih? Apa karena aku flu, ya, sampe enggak kecium?" Aku berpura-pura.
"Mau kemana? Pulang, enggak?" Dia mencecarku dengan nada ketus.
Aku mencebik manja sambil merangkulnya dengan paksa, tak akan kulepaskan meski dia terus memberontak.
"Aku mau kerja, Sayang. Ada proyek baru di Tangerang. Nanti kalo ini sukses, kita liburan biar stres kamu hilang." Aku berbohong lagi.
"Serius?" tanyanya.
"Iya, aku serius bakal ajak kamu dan anak-anak liburan ...,"
"Enggak! Bukan itu! Serius ada kerjaan baru?" Masih saja dia tak percaya. Ya, aku juga berbohong, sih.
Kupikir tadi dia sudah mulai luluh, ternyata belum. "Serius, Sayang. Nanti aku transfer uang untuk kamu belanja-belanja, deh. Terserah mau belanja apa. Kamu juga enggak suka pake perhiasan 'kan? Kalo kamu suka ... udah kubelanjai berlian," ujarku. Aku berusaha membuatnya tenang.
"Aku cuma butuh kamu jujur, Bang." Dia berucap lirih. Ada cairan yang menetes ke lenganku. Dia menangis. Aku membuatnya menangis untuk pertama kalinya.
"Sayang, ini karena kamu terlalu capek, jadi bawaannya curiga terus. Aku pulang, kok, hari ini." Kuputar tubuhnya ke arahku dan kudekap dia erat. Kuhujani pucuk kepalanya dengan kecupan hangat penuh cinta.
Maafkan aku, Yan! Aku tak bisa menghindar dari perasaan ini. Aku merasa bersalah sama kamu, tetapi aku juga tak bisa menafik kenyataan yang ada sekarang.
Kukecup lama dahinya setelah kusapu air mata yang menitik di pipi mulusnya. "Aku berangkat dulu! Jangan nangis lagi!" Aku melipat bibir.
Yania hanya menunduk setelah kujauhkan bibirku darinya. Tak enak hati sebenarnya meninggalkan Yania dalam keadaan seperti ini, tetapi Siska sudah menungguku.
Aku jadi bingung, antara menemani istri menangis atau menemui Siska yang menanti.

Comentário do Livro (264)

  • avatar
    PlayerRugbyy

    penceritaan yang sangat menarik

    1h

      0
  • avatar
    Abdul Rizal

    lanjut dong ceritanya

    4d

      0
  • avatar
    Bayu Erlangga

    mantapp

    15d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes